Broken promises, the promises you don't want to deal with, the promises you'd rather not to have, the promises you have to make. Anything, actually, it's up to you as a writer to interpret the theme! Be creative as much as you like!
Aku menghirup napas dalam, menikmati udara pegunungan yang penuh oksigen, merasakan semilir aroma pepohonan melewati hidungku. Aku mengatupkan kedua kelopak mataku, mencoba menghayati keindahan desa yang lama tak kutinggali.
Aku baru saja tiba di rumahku. Sebuah rumah tua separuh kayu separuh beton yang tampak nyaman. Atap genting merah bata tampak berlumut di beberapa sisi, sepasang tiang kayu penyangga atap teras terlihat kokoh, dinding kayu yang dicat coklat sesuai aslinya tampak sedikit kusam, aku harus mengecatnya ulang. Dua buah kursi rotan dipajang berdampingan di salah satu sisi teras, ditengahi sebuah meja bundar berbahan rotan pula. Pantas saja orang tuaku tak pernah mau kuajak pindah ke kota. Aku kecil sepertinya tak pernah benar-benar menikmati rasa "rumah" ini.
Lalu aku membayangkan ia duduk menyesap lemon hangat di salah satu kursi itu sambil membaca koran pagi. Aku rindu istriku. Segera aku menapakkan kaki ke teras, membuka pintu depan perlahan, kemudian masuk untuk membuka jendela-jendela yang menghadap ke teras. Hal yang pertama kucari di rumah ini adalah telepon. Tidak memiliki ponsel saat ini sangat tidak menyenangkan. Dasar copet sialan! Aku kehilangan benda berharga itu di stasiun saat baru akan memulai perjalananku kemari. Membuatku menahan rindu padahal biasanya aku mengobrol dengannya setiap hari. Untungnya daerah ini sudah mendapatkan aliran listrik 24 jam sehingga aku bisa langsung menghubunginya.
"Halo, Sayang," ucapku segera setelah mendengar kresek suaranya di seberang.
"Hai, Sayang. Mengapa baru memberi kabar?" Ah, ia terdengar sangat khawatir.
"Maafkan aku. Aku baru sampai di rumah. Aku kecopetan ketika akan berangkat--tenang, hanya ponselku yang diambilnya. Aku baik-baik saja," cerocosku, tak memberikan kesempatan untuknya menjadi lebih khawatir lagi.
"Haa... baiklah jika itu katamu." Aku seperti bisa melihatnya tersenyum, sudut bibirnya tertarik manis setelah ia menghela napas. "Bagaimana rumah?"
"Bagus. Bagus sekali. Aku bernostalgia dan berangan-angan andai kau ada di sini sekarang menikmati kenangan ini."
"Kamu..," Ah, ekspresinya berubah. Aku yakin saat ini ia merengut, mendengar kalimat ajakanku selalu kuulang setiap hari. "Kamu yang paling tahu bagaimana aku, tolong jangan bahas ini lagi."
"Haha. Baiklah, Sayang. Aku akan beres-beres dulu supaya kamu senang tinggal di sini, nanti aku telepon lagi. Aku merindukanmu."
"Aku juga. Sampai jumpa."
Cinta memang tak kenal usia. Kami sudah menikah selama 15 tahun dan aku masih sangat mencintainya.
Malam itu aku mencoba
becak menuju terminal dan sejak
Tahukah kalian apa yang paling aku sukai? Menyeka air mata yang menetes dari sudut matanya dengan ibu jariku.
Tahukah kalian apa yang paling aku sukai? Menyeka air mata yang menetes dari sudut matanya dengan ibu jariku.
______________________________
Soulscape is a 31 days online writing project. To join please contact to stardust-glitteryhoe or rainbowsmoke16
Soulscape is a 31 days online writing project. To join please contact to stardust-glitteryhoe or rainbowsmoke16
#SoulscapeDecember2017 #SoulscapeDay03 #Promises
Tidak ada komentar:
Posting Komentar