"Siapa yang
benci kepada suatu (tindakan) pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar. Karena
sesungguhnya tiada seorangpun dari manusia yang keluar sejengkal saja dari
pemimpinnya kemudian ia mati dalam keadaan demikian melainkan ia mati dalam
keadaan jahiliyah." (HR. Muslim)
Ketika berbicara mengenai pemimpin dalam Islam, maka
yang terlintas dalam benak adalah sosok Amirul Mu’minin yang mampu menaungi
umatnya dengan segala hukum Islam. Bayangan pemerintahan di zaman Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam beserta para
sahabat yang begitu memesona dengan segala pahit manisnya.
Sesungguhnya dalam Islam ada banyak sekali kegiatan
yang diatur hanya dapat dilaksanakan berjama’ah. Dalam konsep jama’ah ini, ada seorang
yang dipercaya sebagai imam, dapat pula diartikan pemimpin atau orang yang
berada di depan (dari kata dasar amaama
yang dalam bahasa Arab berarti di depan)
sedangkan yang lainnya menjadi ma’mum (orang yang dipimpin). Dengan kata lain,
Islam mengharuskan umatnya untuk memilih seorang pemimpin (amir) dari mereka
agar dapat menggabungkan perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Seorang amir
patutnya adalah seseorang yang lebih baik dari ma’mum baik agama maupun ilmunya, lebih banyak
mengetahui, lebih mampu menyampaikan, serta lebih mampu mempengaruhi untuk
tujuan kebaikan. Praktisnya, seorang amir dalam Islam adalah seseorang yang
dengan sukarela diikuti oleh umatnya tanpa mereka berniat membelot tapi tetap
memiliki hak dan kewajiban untuk menegur ketika amir mereka salah. Dalam sholat
contohnya, ketika imam salah gerakan maka ma’mum yang dibelakangnya akan
melafalkan “Subhanallah, subhanallah,
subhanallah.” Imam yang sadar seharusnya akan langsung memperbaiki
kesalahannya karena tujuan dalam Islam adalah melakukan yang tebaik untuk
mendapatkan ridho Allah swt.
Sesungguhnya Al Qur-an adalah sumber dari segala
ilmu yang diturunkan Allah sebagai rahmat bagi semesta alam. Apabila pemimpin
di suatu negara yang rakyatnya diatur untuk menjadi monotheis meski dengan
kepercayaan berbeda benar-benar menerapkan pemerintahan berbasis Qur-an maka
seharusnya negara yang dipimpinnya akan berjalan menuju kebaikan. Lain halnya
jika pemimpin itu sendiri yang salah menafsirkan lalu salah pula
mengerjakannya, atau rakyat di negara itu yang menolak apa yang dibawa
pemimpinnya seperti yang telah terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Seorang
pemimpin tentunya tidak dapat bergerak sendirian tanpa dukungan dari rakyatnya.
Pemimpin ada untuk memimpin umatnya agar bergerak bersama mencapai tujuan negara,
bukan untuk menjalankan sendiri programnya tanpa bantuan.
Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia.
Negara yang dibangun oleh beragam suku, agama, dan ras. Bersatu padu dalam
Bhineka Tunggal Ika sejak hampir 69 tahun silam. Negara yang disebut-sebut
negara Islam namun tampak sekuler inilah tempat kita tinggal berdiam dan lalu
beranak-pinak. Negara Islam satu-satunya yang masih bersikukuh mengikuti
kompetisi putri kecantikan kelas dunia, negara Islam yang memiliki Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah, negara Islam dengan tingkat korupsi yang masih sangat
tinggi.
Negara kita tercinta ini memang belum menerapkan
sistem pemerintahan Islam, mengingat bukan hanya kaum muslim yang mengisi
kepulauan ini. Kepulauan besar kita merupakan negara yang menganut sistem
pemerintahan demokrasi Pancasila yang sangat jelas tidak termasuk dalam hukum
Islam, karena Islam mengajarkan sistem musyawarah mufakat dan pemerintahan
berbasis khilafah. Hal ini membuat beberapa penganut Islam yang fanatik buta
menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolerir sehingga mereka
memilih untuk menjadi “golongan putih” setiap kali dilaksanakan pemilihan umum.
Keputusan yang sangat tidak beralasan jika kita mempertimbangkan apa yang akan
terjadi saat kita menyerahkan hak suara begitu saja tanpa peduli apa yang akan
terjadi pada kertas suara kita. Pemilu Legislatif yang dilaksanakan 9 April
silam masih dinodai oleh jejak golput. Seandainya memang orang-orang Islam yang
seharusnya pintar ini tidak mau terlibat, mau jadi apa negara ini?
Saat ini sudah menjadi rahasia umum bahwa borok
Indonesia hampir tidak dapat lagi disembunyikan. Beberapa orang hanya mencibir
di belakang, berkomatkamit mencaci pemegang pemerintahan saat ini tanpa cukup
peduli untuk sekadar datang ke bilik kecil mencoblos satu lambang partai. Bukankah
ada banyak partai yang juga membawa nama Islam? Seperti kata pepatah, “Suatu
kaum tidak akan berubah sampai kaum itu sendiri yang merubahnya.” Bagaimana
Islam mau berkembang lagi di Nusantara kalau pegiat muslim sendiri
terpecah-pecah dan terlalu malas untuk mencoba berubah? Padahal dengan
berikhtiar, mungkin saja Allah akan membawa suara kita untuk dapat mengubah
hasil yang pastinya sudah diprediksi bahkan sebelum Pemilu digelar.
Kepada para pemuda penerus bangsa: Tunjukkan
eksistensimu, buktikan pada dunia bahwa keberadaanmu dapat membantu memperbaiki
Indonesia. Kalianlah para calon pemimpin, maka pilihlah pula pemimpin yang
setidaknya paling baik dari semua calon yang ada agar kalian dapat meneruskan
perjuangannya kelak.
opini ini telah dipublikasikan pada Buletin Galaxy BPPM Ibnu Sina FK Unsri Edisi April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar