Rabu, 22 Februari 2012

COLORFUL HOLIDAY (short story by JHS-me)


                   Suntuk, bete, boring. Gila, hari ini tidak ada bagus-bagusnya. Padahal sedang liburan, tapi sama sekali tidak ada hal menarik yang bisa aku kerjakan. Ditambah lagi, Michiru, sahabat terbaikku sedang ke desa neneknya bersama keluarganya. Terpaksa aku harus melewati minggu terakhir liburan kenaikan kelas ini tanpa hal yang mengasyikkan.
                   Minggu lalu aku masih bisa jalan-jalan bersama kakak lelakiku, tapi sekarang ia harus mengurus pendaftaran sekolah barunya. Sedangkan aku, tak ada lagi yang menemaniku. Ayahku tetap sibuk dengan pekerjaannya dan ibu harus mengurus rumah. Dan diriku hanya bisa tiduran di kamar yang kudekorasi sendiri, sambil memandangi langit-langit kamarku yang mirip langit sungguhan.
                   Sebenarnya, saat rumah baru selesai dibangun orang tuaku berniat mengecat bagian dalamnya dengan warna ‘full bright orange’, kata mereka supaya isi rumah jadi semangat terus. Oranye kan mencerminkan cheerful. Tapi karena I Blue, jadi aku minta mereka mengkhususkan warna cat kamarku dengan warna biru. Secara, kehidupanku itu terkadang bisa memboankan dan menyebalkan. Makanya, dengan dominasi warna biru di ruang istirahatku, aku bisa lebih calm. Bukankah biru warna ketenangan? Dan orang tuaku menyetujui ide itu. Bahkan kakakku pun mendukungku, karena ia juga ingin kamarnya berwarna hijau. Jadi deh, seluruh ruangan di rumahku warnanya beda-beda. Kami menyebutnya “Colorful House”.
                   Tapi sekarang aku ingin keluar dari Colorful House, kurasa selain warna-warna ini aku juga butuh warna lain. Kupikir jalan-jalan mungkin bisa menyegarkan pikiranku. Dan saat aku keluar dari ‘Blue Room’, aku disambut Ibu di ‘Orange Room’orang tuaku memutuskan warna oranye dipakai di ruang makan.
                   “Sacchan sudah mau makan?” tanyanya lembut.
                   “Belum, Sachie belum lapar. Umm, Sachie mau jalan-jalan, Bu.”
                   “Kamu mau kemana Sacchan?”
                   “Mall. Oh ya, Sachie boleh bawa motor Kak Seiji kan, Bu?”
                   “Ya sudah, bawa saja. Tapi hati-hati, jangan lupa pakai helm dan jangan pulang telalu sore.”
                   “Makasih, Bu. Sachie pergi dulu,” pamitku sambil mencium tangan Ibu.
                   Aku pun pergi dengan membawa motor kakakku. Jalanan lumayan sepi hari ini. Semoga mall juga tidak terlalu ramai. Soalnya aku kurang suka berjalan di keramaian sendiri.
                   Dan Tuhan mengabulkan permintaanku, mall cukup sepi. Begitu pula saat aku memasuki toko buku, suasana begitu lenggang. Di salah satu rak, terlihat puluhan komik dan novel berjajar rapi. Segera kuhampiri dan tanpa sengaja aku melihat komik Jepang yang sejak lama kucari-cari. Oh God, I’m really excited! Tapi saat aku memegang komik yang tinggal satu-satunya itu, seonggok tangan memegang tanganku. Spontan aku terkejut. Dan ketika aku menoleh, tampakah sebuah wajah dengan ekspresi yang menurutku sama dengan ekspresiku saat itu.
                   “Maaf, aku tidak sopan. Silakan, meskipun aku juga menginginkannya,” mulut yang ada pada wajah itu berkata padaku. Barukah kutahu bahwa ia seorang anak laki-laki. Nadanya berat, berarti ia cowok yang beranjak dewasa.
                   “Tentu saja! Terimakasih. Sudah lama aku mencari komik ini,” jawabku. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan, komik itu tinggal satu-satunya. Tapi aku juga tak melupakannya. “Hmm, kau boleh meminjamnya nanti, setelah aku selesai membacanya,” kataku padanya.
                   “Terimakasih banyak. Tapi, bagaimana mungkin? Bahkan aku tak tahu namamu,” jawabnya bingung.
                   “Mudah, kita tinggal bertemu lagi saja disini. Namaku Sachie. Namamu?”
                   “Aku Ryo. Ide bagus, tapi bagaimana bisa, kita kan tidak bisa membuat perjanjian.”
                   “Aku akan menghubungimu jika aku sudah selesai.”
                   “Tentu, berikan aku nomor teleponmu,” ucapnya seraya mengeluarkan handphone-nya.
                   “0814571550. Nomormu?” tanyaku. Tapi ia tak menjawab, malah sibuk menekan-nekan tombol HP-nya.
                   “Tiit..tiit..tuliiliit..” HP-ku berdering. Segera kurogoh kantogku untuk mengeluarkannya. Begitu keluar, deringnya berhenti.
                   “Itu nomorku, Sacchan. Boleh kan kupanggil begitu?” katanya.
                   “Boleh,” jawabku, ”Sudah dulu, ya. Aku mau membayar komik ini. Sampai jumpa.”
                   “Dah, Sacchan.”
                   Aku pun berjalan meninggalkannya. Nice meet! Setidaknya hariku tak terlalu membosankan, kelihatannya Ryo orang yang baik. Lagipula wajahnya tampan, cara bicaranya halus, penampilannya juga menarik. Hari ini aku dapat teman baru.
                   Setelah keluar dari toko buku, aku melangkah ke supermarket. Akan kubelikan beberapa bungkus snack untuk Kak Seiji sebagai tanda terimakasih telah merelakan motornya kupakai jalan-jalan. Dan tentunya makanan-makanan lain untuk persediaan cemilanku.
               Fuwaaa..ceritanya mengharukan. Tidak rugi aku membeli komik serial ini. Ketika membacanya, aku merasa terhanyut dalam jalan ceritanya. Tapi ending-nya menyebalkan, membuat penasaran! Terpaksa aku harus menunggu jilid berikutnya terbit!
                   “Oh iya, aku kan sudah janji pada Ryo untuk menghubunginya.” Aku pun langsung meraih HP-ku dan mencari nama Ryo di kontakku. Lebih baik aku mengirim SMS saja padanya.
To               : Ryo_Chan
Text           : Hei, Ryo! Ryo, aq sdah slse bca_na. Law kmu mo pnjam, q tnggu d_bookstore jm 3 nnti y.. Reply.. Sachie ^_^

                   Umm, Ryo bisa datang tidak, ya? Sepertinya aku jadi kangen padanya.
                   “Riing..riing..” ringtone SMS-ku terdengar.
From          : Ryo_Chan
Text           : Hei jg, Sacchan. OK, jm 3 ya. CU diż evening..

                   Asyiik, Ryo Chan mau datang! Aku harus terlihat lebih dari biasanya meskipun Ryo belum pernah melihatku, aku harus tetap cantik kan? didepannya.
                   Kubongkar lemariku. Kalau biasanya aku hanya memakai kaos oblong plus jeans selutut seperti kemarin saat bertemu Ryo Chan, sekarang aku memilih untuk memekai kemeja kotak-kotak dengan blue jeans panjang. Kurasa itu akan membuatku terlihat sedikit lebih baik. Aku juga memutuskan membawa tas ransel kecil tempat menaruh komik yang akan dipinjam Ryo Chan.
                   Begitu kulihat diriku di cermin. Hmm, aku jadi terlihat cool. Tapi aku butuh sedikit semprotan parfum. Dimana aku bisa mendapatkannya ya? Aku kan sama sekali tidak punya barang seperti itu. Aha! Kak Seiji pasti punya, kakakku yang satu itu kan sudah punya pacar. Ia pasti ingin selalu wangi di dekat pacarnya.
                   Aku pun keluar dari Blue Room menuju Jungle Roomdinamai begitu karena warnanya dominasi hijau sehingga mirip hutanmilik kakakku. Tapi sialnya, the owner sedang mengetik di ruangannya. Begitu ia menoleh, aku langsung tahu bahwa ia heran dengan penampilanku ini dari raut wajahnya.
                   “Sacchan, kau mau kemana? Pakaianmu aneh sekali. Mau bertemu pacarmu ya?”
                   “Kakak! Aku hanya akan bertemu teman baruku saja kok! Kak, aku minta parfum kakak ya..”
                   “Apa-apaan kau ini! Masa anak perempuan tidak punya parfum? Tapi sudahlah, ambil saja di atas lemariku.”
                   “Trims, Kak. Kak Seiji memang kakakku yang paling baik, deh!” sahutku sambil melangkah ke lemarinya.
                   “Tentu saja, aku kan kakakmu satu-satunya!”
                   “Aku pergi dulu, ya. Dah, Kakak!” seruku sambil mengecup pipi kakakku tersayang. Yang dicium hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku.
                   Nah, sekarang aku siap bertemu Ryo Chan!
                   Sejak hari itu, setiap hari selama liburan aku selalu pergi bersama Ryo Chan. Dia mengajakku ke banyak tempat. Saking seringnya kami pergi berdua, Kak Seiji jadi semakin menuduh bahwa aku sudah jadian dengan Ryo. Padahal, hubungan kami tetap saja sebagai teman biasa, atau bisa kubilang ‘sahabat’.
                   Karena pertemuanku dengan Ryo, liburanku jadi tak semembosankan biasanya. Meskipun Kak Seiji tak menemaniku, aku masih punya Ryo. Aku sayang padanya. Kami sering tukar-menukar komik. Tak kusangka, cowok seperti dia, ternyata maniak komik. Tak biasanya kan, cowok membaca komik remaja ber-genre ‘love’. Kebanyakan hanya menyukai komik komedi atau aksi. Tapi Ryo lain, dia orangnya romantis, cool, cute, interesting pula. Tidak rugi aku mengenalnya.
                   Tak terasa, sekarang aku sudah masuk ke sekolah lagi. Suasana sekolah setelah liburan agak berbaeda. Mungkin karena ada penghuni baru yang bergabung bersama kami. Saat ini aku bukan junior lagi, aku sudah pra-senior. Tapi, Micchan mana ya? Kok tidak kelihatan?
                   “Sacchaaan! Apa kabar?? Kita sekelas lagi lho!” seseorang berteiak keras, lalu kurasa ada yang memelukku dari samping.
                   “Micchan, benarkah? Bagaimana liburanmu? Desa nenekmu asyik tidak?”
                   “Iya. Asyik banget! Disana banyak hal yang tidak ada disini. Kau sendiri bagaimana?”
                   “Penuh warna!” jawabku bangga.
                   “Anak-anak, harap tenang! Kalian kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan dirimu.” Bu Yumi, wali kelas baru kami mengumumkan sesuatu. Awalnya aku tidak perduli, namun Micchan menyadarkanku.
                   “Sacchan, lihat! Murid baru itu keren sekali!” katanya antusias.
                   “Mana?” aku menoleh malas, tapi ketika aku melihat orang itu..
                   “Perkenalkan, namaku Ryo Nugraha. Aku pindahan dari kota sebelah. Salam kenal!”
                   “Waah, keren sekali! Wajahnya imut-imut!” gadis-gadis di kelasku semuanya ribut. Sebenarnya aku terkejut. Saking terkejutnya, aku sampai tidak bisa berkata apa-apa.
                   “Ryo, kau duduk di sudut sana. Bersama Sachie,” kata Bu Yumi. Cowok itu tersenyum melihatku, dan saat ia sudah duduk di sebelahku.
                   “Hai, kita bertemu lagi, ya!” ucapnya sambil tersenyum melihatku.
                   Ya Tuhan, aku bertemu lagi dengannya! Saat ini ia jadi teman sekelasku, dan duduk di sampingku!
                   Terimakasih, Tuhan! Setelah memberiku liburan yang penuh warna, kini Kau juga memberikanku hidup yang akan penuh warna-warni dengan Ryo di sisiku.

——THE END——

"Love talk"

(27-08-11) 
believe this or not, it happened at the past...

Dissappear (Kebodohan Cinta Seorang Pemimpi)

(18-08-11)

Sekarang aku hilang tak berbekas.
Haha.
aku tak tampak lagi dimatanya
tak ada lagi intan chairrany yang biasa
yang (dulunya) dianggapnya orang paling spesial dihidupnya
dia tak pernah bisa mengerti aku
selalu membuatku sedih, gelisah, berprasangka buruk dan kecewa
berkali-kali dia menyakitiku
tapi kennapa aku menjadi begitu bodoh untuk menyadarinya
aku terlanjur terlalu mencintainya
wah, beraninya aku mengucapkan kata cinta
siapakah aku ini?
lancang sekali
tapi yang aku tau, cinta adalah rasa memiliki
dan aku sudah sangat merasa memilikinya
walau sesungguhnya aku sangat rela jika ia bersama yang lain
toh dia bukan siapa-siapa untukku
tapi setidaknya aku ingin ia mendapatkan yang lebih baik dariku
bukan yang akan lebih menyesatkannya
cukuplah aku saja yang begitu
tak usah gadis lain

"Maaf"

Ma, aku minta maaf
aku minta maaf yang sebesar2nya sama mama
aku sayang mama
aku bener2 engga mau bikin mama kecewa
aku takut, ma
tapi sekarang aku terlanjur salah
aku terlanjur menyakiti hati mama
sampai sekarang aku masih belum mampu ngomong apa-apa ke mama
aku engga kuat, ma
aku takut mama kecewa, tapi aku terlanjur mengecewakan mama
maafin aku yang engga pernah bisa jujur
aku bohong karena aku takut mama tau
aku takut, maa
aku benar2 takut
tapi sekarang aku janji
aku benar2 janji
aku engga akan menyakiti hati mama lagi
aku akan menjadi anak kebanggaan mama
yang bisa jadi panutan untuk zidan
aku sayang mama

"aku 14.17/22-06-11"

ini teks story-telling-ku utk English Practice Test :)


The Matsuyama Mirror

A long, long time ago there lived in a quiet spot a young man and his wife. They had one child, a little daughter, whom they both loved with all their hearts. I cannot tell you their names, for they have long since been forgotten; but the name of the place where they lived was Matsuyama, in the Province of Echigo.
It happened once, while the little girl was still a baby, that the father was obliged to go to the great city, the capital of Japan, upon some business. It was too far for the mother and her little baby to go, so he set out alone, after bidding them goodbye and promising to bring them home some pretty present.
The mother had never been farther from home than the next village, and she could not help being a little frightened at the thought of her husband taking such a long journey; and yet she was a little proud too, for he was the first man in all that country-side who had been to the big town where the king and his great lords lived, and where there were so many beautiful and curious things to be seen.
At last the time came when she might expect her husband back, so she dressed the baby in its best clothes, and herself put on a pretty blue dress which she knew her husband liked.
You may fancy how glad this good wife was to see him come home safe and sound, and how the little girl clapped her hands, and laughed with delight when she saw the pretty toys her father had brought for her. He had much to tell of all the wonderful things he had seen upon the journey, and in the town itself.
“I have brought you a very pretty thing,” said he to his wife; “it is called a mirror. Look and tell me what you see inside.” He gave to her a plain white wooden box, in which, when she had opened it, she found a round piece of metal. One side was white, like frosted silver, and ornamented with raised figures of birds and flowers; the other was bright as the clearest crystal. Into it the young mother looked with delight and astonishment, for, from its depths was looking at her with parted lips and bright eyes, a smiling happy face.
“What do you see?” again asked the husband, pleased at her astonishment and glad to show that he had learned something while he had been away.
“I see a pretty woman looking at me, and she moves her lips as if she was speaking, and—dear me, how odd, she has on a blue dress just like mine!”
“Why, you silly woman, it is your own face that you see!” said the husband, proud of knowing something that his wife didn’t know. “That round piece of metal is called a mirror. In the town everybody has one, although we have not seen them in this country-place before.”
The wife was charmed with her present, and for a few days could not look into the mirror often enough; for you must remember that as this was the first time she had seen a mirror, so, of course, it was the first time she had ever seen the reflection of her own pretty face. But she considered such a wonderful thing far too precious for everyday use, and soon shut it up in its box again and put it away carefully among her most valued treasures.
Years passed on, and the husband and wife still lived happily. The joy of their life was their little daughter, who grew up the very image of her mother, and who was so dutiful and affectionate that everybody loved her. Mindful of her own little passing vanity on finding herself so lovely, the mother kept the mirror carefully hidden away, fearing that the use of it might breed a spirit of pride in her little girl.
She never spoke of it, and as for the father he had forgotten all about it. So it happened that the daughter grew up as simple as the mother had been, and knew nothing of her own good looks, or of the mirror which would have reflected them.
But by-and-by a terrible misfortune happened to this happy little family. The good, kind mother fell sick; and, although her daughter waited upon her, day and night, with loving care, she got worse and worse, until at last there was no doubt but that she must die.
When she found that she must so soon leave her husband and child, the poor woman felt very sorrowful, grieving for those she was going to leave behind, and most of all for her little daughter.
She called the girl to her and said, “My darling child, you know that I am very sick; soon I must die and leave your dear father and you alone. When I am gone, promise me that you will look into this mirror every night and every morning; there you will see me, and know that I am still watching over you.” With these words she took the mirror from its hiding-place and gave it to her daughter. The child promised, with many tears, and so the mother, seeming now calm and resigned, died a short time after.
Now this obedient and dutiful daughter never forgot her mother’s last request, but each morning and evening took the mirror from its hiding-place, and looked in it long and earnestly. There she saw the bright and smiling vision of her lost mother. Not pale and sickly as in her last days, but the beautiful young mother of long ago. To her at night she told the story of the trials and difficulties of the day; to her in the morning she looked for sympathy and encouragement in whatever might be in store for her.
So day by day she lived as in her mother’s sight, striving still to please her as she had done in her lifetime, and careful always to avoid whatever might pain or grieve her. Her greatest joy was to be able to look in the mirror and say, “Mother, I have been to-day what you would have me to be.”
Seeing her look into the mirror every night and morning without fail, and seem to hold converse with it, her father at length asked her the reason of her strange behaviour. “Father,” she said, “I look in the mirror every day to see my dear mother and to talk with her.” Then she told him of her mother’s dying wish, and how she had never failed to fulfil it. Touched by so much simplicity, and such faithful, loving obedience, the father shed tears of pity and affection. Nor could he find it in his heart to tell the child that the image she saw in the mirror was but the reflection of her own sweet face, becoming by constant sympathy and association more and more like her dead mother’s day by day.

Minggu, 19 Februari 2012

Janji Pagi Antara Aku dan Dia :)

Dia : Love u
Aku : Love u too. Why?
Dia : Cause i love u :)
Aku : Thanks :)
Dia : U?
Aku : So do i.. Till now, i have no reason to love u. I just love u :)
Dia : Just wait me.. :*
Aku : I'll try..
Dia : Ok.. I will come for u.
Aku : I've locked ur words.

(B/15-04-2011)