Senin, 20 Agustus 2018

Preferences

Let's talk about your favorite genre.

No, let me just talk about mine, because I know you can't respond to my rambling.

Now, and since long before, I always enjoy stories with at least minimal portion of angst. Like a sensitive, tad bit negative main character with inferior complex being in love with a complete opposite person. Their dynamics were one of a kind. All the insecurities, unconfidence, ignorancy, and self pitying are the spices that I looked for in each stories. I waited for the resolution, for how the other one comforted the main character by managing their self-confidence, self-loving, and self-believing by all the love and reassurance they shared constantly. Uncountable amount of love should come from both side to make the negative ones being positive.

Maybe my liking to angst was triggered by my own personalities (?) I don't understand it either. Stories about jealousy, possessiveness, affairs, always had a place in my reading list. Maybe it affected me as well, I do realize that most of my writings are based on these traits.

So why did I felt this urgency to write these nonsense here? I don't know. I just had this feeling to share, to tell, to make a conversation with some imaginary friends, like I always did in my childhood. Crying by my pillow while hugging my teddy after I told him all my struggles with human interractions that day.

Cause baby what I show on the outside maybe a lot different with things that happened inside my bubblyhead.

And this is what you got when listening to me rambling about genre. It's all around the place. I told you before that I was weird, you never listened. I talked nonsense, exept for the part about angst. And I loved how you just sat there with your black ball eyes wide open and some of your reddish tongue out, thatww gave me nothing but the silence I needed the most.

Senin, 02 Juli 2018

Tes Kepribadian

Malam ini setelah masuk kamar aku menyibukkan diri dengan tes-tes kepribadian daring. Sejak dulu aku memang tertarik dengan hal-hal seperti ini dan sejak aku mulai mengikuti akun-akun yang senantiasa mengingatkan kepada masa depan, aku semakin bersemangat untuk mengetahui karakter dan kepribadianku.

Jadi ceritanya... awalnya aku mencoba tes temperamen. Ituloh yang semua orang pernah denger. Empat kepribadian sanguin, melankolis, koleris, dan plegmatis. Selama ini aku mengira ini adalah pembagian kepribadian, ternyata eh ternyata setelah aku berselancar lagi akhirnya terungkap bahwa ini adalah tipe temperamen yang kita miliki. Aku mencoba masuk ke situs pertama yang direkomendasikan mesin pencari, untuk mendapati fakta bahwa aku ternyata seorang PLEGMATIS murni. Dengan persentase temperamen lain yang tidak cukup mendekati hasil pertama. Tentu saja aku terkejut. Selama ini aku selalu merasa diriku memiliki sedikit aura melow sehingga meyakini bahwa aku termasuk golongan melankolis.

Oleh karena itu, aku mencoba situs lain yang memiliki user interface lebih menarik dibandingkan sebelumnya. Dimulai dengan membaca penjelasan mengenai temperamen plegmatis di situs itu, aku makin sering mengangguk setuju. ASLI SESUAI BANGET. Akhirnya aku mencicipi tes yang disediakan disana. Dan ternyata beneran menarik. Beberapa kali aku mengikuti tes kepribadian daring, kebanyakan pilihan jawaban adalah agree or disagree dengan beberapa tingkatan termasuk pilihan netral, tetapi situs ini berbeda, pilihan yang disajikan adalah definitely true, somewhat true, somewhat false, and definitely false. Come on. Look how creative the developer are! Diksi yang mereka pilih terkesan informal tapi menarik dan unik, menurutku. Setelah mengisi 40 pilihan, sampailah aku pada akhir perjalanan..... didapatilah aku sebagai seorang PHLEGMATIC/MELANCHOLIC. Terpuaskanlah daku. Penjelasan di situs ini juga sangat ensuring and empowering terasa banget cara penulisnya bikin setiap kepribadian itu indah, lengkap dengan kekuatan dan kelemahan kombinasi temperamen ini dan saran untuk menjadi seorang plegmatis-melankolis yang bermanfaat bagi masyarakat.

Selanjutnyaa.... aku masih belum selesai. Seperti biasa tak lupa aku mengunjungi 16personalities.com , laman tes MBTI yang paling aku yakini hasilnya. Selama menjadi mahasiswa, beberapa kali mengikuti tes ini dan aku benar-benar tampak sebagai seorang ambivert, persentase ekstrovert-introvertku tidak jauh dari 50:50, entah itu 45:55 atau sebaliknya, dengan empat huruf buntut yang tetap sama. Hasil hari ini masih sama dengan hasil tes terakhir, aku masih seorang INFP, a Mediator (No one can stop me from dreaming--  as the website said). Seorang dengan pemikiran intuitif (56%), yang mengambil keputusan dan menyikapi emosi dengan perasaan (63%), yang lebih menggantungkan diri dengan harapan (74%) daripada keputusan tetap. Yang cukup berbeda adalah bagaimana aku berinteraksi dengan lingkungan, aku yang selama ini telah menisbatkan diri sebagai ambivert akhirnya menemukan titik terang..... tes kali ini membuktikan bahwa aku 71% seorang introvert. Akhirnya aku memiliki jati diri.

Sebagai penutup, malam ini aku menyatakan diri sebagai seorang INFP dengan temperamen plegmatis-melankolis.
Terima kasih.

Rabu, 27 Juni 2018

Hujan, Selimut, dan Kamu

Pagi ini aku masih berkemul. Hangatnya dekapan selimut membuatku makin enggan meninggalkan tempat tidur. Rintik hujan yang perlahan dan stabil masih terdengar di luar jendela. Gelapnya langit dan basahnya tetumbuhan melengkapi simfoni manis hujan di bulan Juni.

Seketika aku berpikir tentang bagaimana menatap wajah mengantukmu yang berusaha mengucapkan selamat pagi membuatku tersenyum. Aku tahu, kau tak kalah lelahnya dariku. Untung saja ini hari libur, kau tak perlu segera bersibuk ke kantor dan aku tak perlu bergegas menyiapkan mandi air hangat dan sarapan untukmu. Sesekali bolehlah kita bermanja barang sebentar.

Rutinitas harian kita mungkin terkadang menjemukan. Apalagi ketika aku harus pulang pagi dari shift malam yang melelahkan tanpa sempat mendapat kecupan di kening sebelum kau berangkat kerja. Sesampai rumah kuhanya disambut oleh lantai yang dingin. Menyiapkan air hangat untukku sendiri mungkin tak semenyenangkan menghangatkannya untukmu.

Mungkin semalam kita bercerita. Panjang sekali mengenai hariku dan harimu yang sibuk. Pekerjaan yang berbeda membuat kita tak pernah bosan saling berbagi. Kisahku selalu membuatmu tercengang, mendengar tentang seorang calon ibu yang baru saja bertahan hidup dari kecelakaan besar atau anak kecil yang berusaha dibakar ibunya, kau tak bisa menahan rahang bawahmu terbuka lemas. Ah, betapa aku sungguh mencintaimu dan reaksi berlebihanmu. Sementara aku hanya mengangguk semu mendengar tentang kamu dan rekan kerjamu berusaha menyelamatkan proyek yang kalian usahakan sejak berbulan lalu, dan bertepuk pelan saat dengan bangganya kau menepuk dada memberikan apresiasi pada dirimu setelah memenangkannya.

Kau tahu? Dinginnya pagi ini membuatku banyak berimajinasi. Tentang hujan, selimut, dan kamu. Kamu yang masih belum kutemui. Kamu yang kudo'akan dari sini di setiap akhir sholatku. Kamu yang semoga saja disana sedang mendo'akanku. Sembari diiringi derai hujan, ketika para malaikat turun untuk memeluk do'a-do'a kita.

(Rumah, 28 Juni 2018 ketika matahari belum mampu menembus awan)

Selasa, 26 Juni 2018

Seperti

Seperti gelap yang siap mendekap.
Seperti malam yang tak ingin menjadi kelam.
Seperti kita yang sedang menatap senja.
Seperti gemerisik dedaunan dan suara jangkrik menemani lamunan.
Sementara.
Beberapa saat saja.
Lalu ia lenyap.
Berganti senyap.

Sabtu, 02 Desember 2017

Iring-iringan

Pagi ini aku tersentak. Suara rebana bersahut-sahutan membuyarkan konsentrasiku saat sedang menonton ulang Flipped, one of the cutest teenage drama ever!
Lalu aku berlari ke ruang tamu, mengintip dari sela-sela kaca nako yang membatasi ruang tamu dan teras ibu kosku. Disana kulihat sepasang pengantin dalam pakaian adat Palembang berjalan perlahan melewati lorong sempit ini. Di belakangnya tampak barisan keluarga, penabuh rebana, dan gadis-gadis dalam pakaian adat lainnya yang kemungkinan besar adalah para penari untuk acara pembukaan. Aku tak bisa melepaskan senyum dari bibirku hingga akhirnya iring-iringan itu hilang dari pandanganku.

Aah, manisnya. A wedding ceremony doesn't have anything to do with location. A giant hall is not necesscary 'cause sometimes a mere houseyard is enough for the delight. Wish the Couple a happy ever after, a thorough life with each other where only death can set them apart.

Madang, 3 Desember 2017
11.00 (di tengah terik matahari Palembang)

Jumat, 01 Desember 2017

Bukan Dering yang Kutunggu

Tik tok tik tok. Aku mematung di hadapan jam tua ini. Menunggu. Menunggu apa? Entah. Aku pun lupa. Sudah berapa lama? Tak bisa lagi rasanya kugunakan jemari untuk menghitungnya. Yang kutahu sekarang aku menyadari gagahnya jam tua ini. Sepertinya ia dipahat dari kayu jati kemudian di cat dengan warna lebih gelap dari kayu aslinya, sapuan tiner di akhir memendarkan cahaya jingga dari satu-satunya lampu yang menyala di ruangan berisikan sepasang kursi dan meja sama tinggi di tengahnya. Seakan didesain untuk duduk berdua menikmati apapun yang bisa dinikmati.

Aku merapikan dudukku. Kudongakkan kepala sekali lagi. Menatap lingkaran kaca dengan bingkai berwarna emas kusam berisi angka-angka Arab dan gerakan pelan jarum detik. Menyadari bahwa sudah lebih dari dua kali jarum pendek itu menunjuk ke masing-masing angka di sekitarnya. Sudah lewat satu hari sejak dia bilang akan meneleponku lagi.

Ya, dia. Laki-laki itu meneleponku dua hari lalu. Dengan nada yang terdengar lebih rendah dari biasanya, mengabarkan bahwa dia baru sampai di kampung halamannya, sebuah desa pertanian di lereng gunung. Katanya Dia pamit seminggu lalu, memelukku erat sembari membisikkan bujuk rayu yang entah sudah yang keberapa kalinya ditiupkan ke telingaku. Dia mengajakku untuk ikut mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan kota yang sesak dan penuh asap. Dia mengajakku pindah bersamanya, untuk tinggal di rumah yang baru saja ditinggalkan kedua orang tuanya karena kecelakaan. Aku menolak. Tentu saja. Kehidupanku berada di jantung kota ini. Aku masih memiliki akal sehat untuk mempertahankan karirku yang telah kubangun dengan susah payah. Aku tak cukup percaya diri dengan kemampuanku bertahan hidup di pedesaan.

Ah, dia benar-benar menyisakan kesan yang mendalam untukku. Satu dari sekian banyak lelaki yang mendekatiku. Dia punya cara yang berbeda, yang membuatku takluk -tapi tidak sampai membuatku mau menyusulnya ke lereng gunung.

Kring kring. Aku tersentak. Tersenyum lebar. Akhirnya telepon putih di sudut ruangan ini mengeluarkan suara. Aku segera beranjak dari tempat dudukku, menggapai gagang telepon itu untuk menghentikan deringnya.

"Halo." Ketika kuangkat, terdengar suara lembut seorang perempuan di seberang sana. Aku mengerenyit menerka-nerka. Namun, kebingunganku sirna seketika saat perempuan itu melanjutkan kalimatnya.

"Apakah benar ini Bu Indah? Keluarga Pak Adi?"

"Ya, benar. Siapa ini?"

"Saya perawat, Bu. Mohon maaf, orang yang sebelumnya mengantar beliau kemari baru saja menemukan nomor telepon Anda di saku celananya dan meminta kami untuk menghubungi Anda. Kami ingin memberitahu bahwa Pak Adi dirawat di rumah sakit kami dan belum sadarkan diri sejak dua hari lalu. Dia menderita luka bakar yang cukup parah. Meskipun masih belum sadar, saat ini keadaan beliau sudah mulai membaik dan bisa dibesuk. Maaf, Bu? Bu? Bu?"

Telingaku pengang. Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi.
______________________________
Soulscape is a 30 days online writing project. To join please contact to stardust-glitteryhoe or rainbowsmoke16

#SoulscapeDecember2017 #SoulscapeDay02 #PhoneCalls