Tampilkan postingan dengan label ceritacerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ceritacerita. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Mei 2019

Paket dari Pak Sukab

Halo, Langit.
Sudah lama aku tidak bercerita.

Hari ini ada cerita menarik yang harus segera kusampaikan padamu. Sepulang dari rumah sakit tadi aku menerima kiriman paket berwarna cokelat dari Bapak Kosku. Bingunglah aku, kurasa sudah dua bulan lamanya aku tak pernah lagi belanja daring. Dan lagi, ada kepala kuda menyapaku di bagian depannya. Apakah kuda itu berkorban demi mengantarkan paket ini padaku? Hampir lima bulan lamanya sejak orang itu menulis surat yang terlampir didalamnya hingga akhirnya sampai kepadaku hari ini. Apakah mungkin? Tetapi mungkin tidak, terlalu drama.

Hari ini hari pertama Ramadhanku di pulau terpadat di Indonesia, kegiatanku sore tadi cukup padat, sehingga paket itu baru sempat kubuka setelah surya tenggelam, ketika biru bergurat jingga telah menjelma menjadi hitam. Teriring hujan.

Panjang perjalananku demi membuka kotak berbalut plastik itu. Kubuka pelan-pelan agar kertas pembungkus itu tidak robek, agar bisa kugunakan lagi untuk fungsi lain. Bermodalkan gunting kasa, aku meniti sela-sela selotip disekeliling kotak dengan teliti. Pelan-pelan. Setelah akhirnya terbuka, aku terkejut. Didalamnya terdapat kotak biru dengan plastik tembus pandang ditengahnya, membuatku berpandangan dengan perempuan berbaju putih yang sedang menganga. Memangku sebuah buku yang juga mengalihkan perhatianku.

Keterkejutanku belum berakhir disana ternyata. Aku mendengar bunyi gemerincing di dalam kotak biru itu. Kubuka lagi deretan selotip disekitarnya. Kuajak keluar perempuan menganga itu, kuangkat buku tadi dari pangkuannya. Lalu aku menemukan kotak cokelat kecil, sumber bunyi gemerincing tadi dan sebuah gulungan putih di sudut-sudut kotak. Ternyata bunyi itu datang dari pecahan lonceng angin. Sedih. Tempurung yang tampak seperti bola golf itu pecah berkeping-keping. Baiklah, akan ada agenda memperbaiki lonceng itu.

Benda terakhir yang kubuka adalah gulungan putih yang tampaknya terdiri dari beberapa lembar kertas. Seperti surat. Dan memang surat rupanya. Dari lelaki tua yang sepertinya sering kudengar namanya. Sukab, katanya. Lelaki ini mengaku pikun tetapi ingat dengan jelas isi surat yang pernah dikirimnya pada seorang perempuan. Katanya ia pernah mengerat senja, mengirimkannya pada perempuan itu. Hah. Ada-ada saja. Mana mungkin senja yang selama ini aku pandangi itu sudah dikeratnya? Kalau iya, seindah apa lagi senja itu sebenarnya? Hai Bapak Tua, tak usahlah kau banyak berlagak, hal itu tidak mungkin. Lalu ia bercerita tentang seorang pemuda yang ia tak tau namanya, padahal ia mengenang lekat nama perempuan yang dikiriminya surat berdekade lampau, dasar Tua Bangka pilih kasih.

Aku tak tahu pula siapa pemuda yang berkali-kali Pak Tua itu sebutkan dalam suratnya. Bolehkah aku memprediksi? Ah, tapi tak bolehlah aku terlalu banyak mengira-ngira. Biarlah kuterima saja dulu apa kata pemuda itu kepada Bapak itu. Aku masih menikmati senja, langit, angin, hujan, gunung, lautan, sendiri ataupun berdua. Belum banyak kurasakan perbedaan. Apakah karena jiwaku masih kanak-kanak? Aku kurang dewasa. Masih plin plan. Penuh keraguan. Padahal umurku sudah hampir seperapat abad. Malu rasanya. Namun memang beginilah aku sekarang. Tak tahu bagaimana nanti.

Tapi, ya, terima kasih banyak sekali kuhaturkan untuk si Bapak Tua. Isi surat darinya sedikit membuatku terharu. Akan kusimpan baik-baik perempuan menganga yang dia kirimkan untukku ini. Bolehlah kupanggil dia Jingga. Sudah lama aku tak bercerita dengan boneka, atau ponsel, atau benda-benda mati lainnya. Kenangan masa kecil penuh kesendirian. Puncak kepribadianku sebagai introvert mediator. Akan kucoba mengaktifkan lagi kreativitasku yang sempat redup. Dikelilingi jalan buntu.

Sekali lagi, terima kasih sudah mendengarkan celotehku tentang hadiah dari Pak Sukab, Langit.

Di bawah langit mendung, 6 Mei 2019.

Sabtu, 30 Maret 2019

Rindu

Aku rindu.
Rindu masa-masa penuh keingintahuan. Rindu hari-hari penuh pencarian. Rindu membaca, menulis, dan mendengarkan. Rindu belajar dan mempelajari hal-hal baru.

Kontemplasi dini hari ini berputar di masalah perkuliahan. Aku yang sudah lulus dan keluar dari kampus setahun lalu merasakan lagi rindunya masa polos tanpa beban. Masa-masa dimana aku bisa mencoba apa saja. Mempelajari apa saja. Berselancar di dunia maya tanpa memikirkan besok harus bekerja.

Sebagai seorang yang mudah tertarik akan sesuatu, berselancar di dunia maya merupakan kelemahanku. Aku akan terjerat di satu topik dan terus-terusan mencari tahu tentang hal itu sampai aku bosan atau muncul topik baru yang mengalihkan perhatianku. Aku adalah seorang penjelajah dan pengamat. Bukan tipe orang yang mampu benar-benar menjadi profesional, karena sikapku yang mudah teralihkan perhatiannya, sehingga aku cenderung lebih nyaman berada di lingkungan yang stabil.

Hari ini, menonton video-video perkuliahan Jerome Polin membuatku merindukan saat-saat perjuanganku untuk masuk kuliah. Teringat berkas Monbukagakusho yang sempat kucetak, kuperhatikan lamat-lamat, kucoba mengisi beberapa bagian, hingga berkali-kali memelototi gerbang Kantor Kedutaan Jepang di Thamrin setiap kali diantar omku melewati jalan itu, membayangkan aku akan menyelipkan seberkas amplop coklat di kotak suratnya. Hingga pada akhirnya aku menyerah, menyerah pada situasi tanpa mau mencoba lebih keras, aku berhenti memikirkan isi kolom esai dan motivation letter dalam formulir itu. Berkasnya kusimpan dalam map yang kemudian kukancing rapat dan tak pernah kubuka lagi.

Tapi mungkin takdir membawaku ke tempat lain yang juga sama sekali tak kusangka. Berkuliah di Kota Palembang tak pernah sedikit pun terbersit di pikiranku, namun aku menikmatinya. Karena aku mempelajari hal yang memang aku niatkan sejak lama. Seandainya aku melanjutkan Monbu, mungkin aku tidak akan menjadi dokter, karena aku akan mengambil course lain.

Yah, begitulah ke-random-an malam ini. Intinya. Intan kangen. Kangen belajar bahasa lagi. Kangen menulis lagi. Kangen sekolah lagi.

Sabtu, 02 Desember 2017

Iring-iringan

Pagi ini aku tersentak. Suara rebana bersahut-sahutan membuyarkan konsentrasiku saat sedang menonton ulang Flipped, one of the cutest teenage drama ever!
Lalu aku berlari ke ruang tamu, mengintip dari sela-sela kaca nako yang membatasi ruang tamu dan teras ibu kosku. Disana kulihat sepasang pengantin dalam pakaian adat Palembang berjalan perlahan melewati lorong sempit ini. Di belakangnya tampak barisan keluarga, penabuh rebana, dan gadis-gadis dalam pakaian adat lainnya yang kemungkinan besar adalah para penari untuk acara pembukaan. Aku tak bisa melepaskan senyum dari bibirku hingga akhirnya iring-iringan itu hilang dari pandanganku.

Aah, manisnya. A wedding ceremony doesn't have anything to do with location. A giant hall is not necesscary 'cause sometimes a mere houseyard is enough for the delight. Wish the Couple a happy ever after, a thorough life with each other where only death can set them apart.

Madang, 3 Desember 2017
11.00 (di tengah terik matahari Palembang)

Jumat, 28 Juli 2017

Pendayung Di Sungai Merah -Bagian Pertama-


"Ciplak ciplak," sayup-sayup terdengar suara kecipak dayung dari kejauhan. Seorang anak menoleh dan memperhatikan jalannya perahu itu. Hei, perahunya berjalan mundur.

Hebatnya pendayung itu yang mampu mengendalikan perahu sambil mundur. Si kecil terus memperhatikan sampai pendayung tiba di tepi dan menurunkan penumpangnya.

Arus sungai ini tidak begitu kuat, sekalipun di musim hujan. Sungai yang tenang ini menghubungkan dua sisi desa kecil kami. Sisi Agri dan sisi Barni. Satu adalah tempat bercocok tanam, dan sisi lainnya menjadi tempat beternak dan berniaga. Perbedaan tingkat kesuburan inilah yang membuat desa kami begitu unik.

Suatu ketika datanglah seorang pengembara dari arah pegunungan. Dia mengenakan pakaian yang sama sekali berbeda dengan penduduk desa. Sangat mencolok.

Dia tiba di pasar dan menukarkan beberapa jamur yang ia petik di gunung dengan sebuah roti selai. Lalu ia melihat ke seberang sungai, tampaklah ladang yang asri dengan suasana lebih tenang. Ia ingin segera menuju ke sana tetapi kebingungan, tidak ada satu pun kendaraan yang bisa ia gunakan untuk menyeberang. Sementara ia sadar bahwa sungai itu terlalu lebar untuk ia seberangi dengan berenang. Ia lalu bertanya pada seorang pedagang, "Dimana saya bisa menemukan kendaraan untuk menyeberang?". "Oh, tunggulah saja. Sebentar lagi ia akan tiba," ujar sang pedagang.

Tak lama kemudian, ciplak ciplak. Suara kecipak dayung terdengar lagi. Si pengembara mencari2 arah datangnya suara itu. Lalu ia melihat sebuah perahu yang berjalan mundur ke arahnya.

(Bersambung)

Jumat, 22 Januari 2016

Hello, Long Time No See!

Hey, pals.
Sorry i must have neglecting you this whole time. I just get so caught up in moments and have a real bad habit that made me so lazy to even write some words, don't mention paragraphs. Now is my comeback period, 2016 must be my wonderful year to write history! Just like my beloved Winner oppa 😍 *ignoremyfangirlingtime*

Haha. Sebenarnya aku juga sudah sangat rindu menulis. Berkali-kali aku nyoba. Sayangnya, mungkin karena lobus prefrontal cortex-ku mulai tumpul, kata-kata itu nggak keluar. Sedih banget. Makanya sekarang aku berusaha menajamkan kembali bagian itu. Melihat kembali kosakata yang aku punya dalam brankas diksi. Yang semoga saja masih rapi. Aamiin.

Sudah lewat hitungan hari dari genapnya 21 tahun usiaku. Aku sudah tua, waktu hidupku terus berkurang. Tanya resolusi? Banyak. Yang pertama dan utama tentu saja lulus sarjana, meskipun langsung lanjut langkah berikutnya. Syukurlah aku sudah sidang akhir. *menghelanapas*

Usia 21 harusnya membuatku makin baik, makin sabar, makin tabah, makin konsisten. Iya, makin konsisten. Satu kata yang menghantuiku selama ini. Konsistensiku terhadap suatu hal sangat minim, bahkan kepribadianku pun tak konsisten. Ambivert. 3 tahun lalu aku masih seorang ISFJ, tadi pagi aku dinyatakan berubah menjadi ENFP. Yah mungkin karena dulu dan sekarang jaraknya hanya condong 5% antara introvert dan ekstrovert, makanya dia mudah bergeser. Satu yang tidak berubah hanya konsistensiku menggunakan perasaan. Ah, dasar perasa yang tidak peka. Maafkan aku.

Oh ya, setelah sekian lama tak jumpa aku ingin memberikan sesuatu pada relung ini. Bilik tempatku bersembunyi dari kenyataan, yang menunjukkan diriku yang (mungkin) sebenarnya. Postingan berikutnya adalah tulisan yang kubuat dalam beberapa waktu terakhir. Karena FYI, ponsel pintarku yang sebelumnya rusak total sampai ga bisa dipake lagi. Jadi yang sekarang baru menyimpan sedikit sekali cerita.

Semoga aku lebih konsisten dan produktif lagi. Aamiin.

Minggu, 08 Maret 2015

Tentang Perempuan

Nasib perempuan sekarang lebih baik daripada beberapa masa yang lalu, dimana kaum perempuan diberi hak dan kewajiban yang timpang. Alhamdulillah, saudari-saudari sekarang bisa dengan bebas belajar dan berkarya atau masihkah dirasa belum bebas? Lantas,perubahan apa yang akan kalian upayakan demi perbaikan?

Cc: Miak KAS_3G

Perubahan apa?

Ketika sekarang perempuan bisa bergerak seluwes laki-laki, hendaknya memanfaatkan keluwesan itu untuk belajar dan berbakti.

Dalam bentuk apa?

Sungguh, sebaik-baik perempuan adalah ia yang multitalenta, karena perempuan ada untuk dunia. Tanpa perempuan, maka tiadalah lagi kehidupan. Perempuan ditakdirkan memiliki rahim sebagai tempat berkembangnya manusia lain. Sejatinya seorang perempuan akan menjadi ibu, dan seorang ibu haruslah menjadi dokter, guru, koki, dan pahlawan. Saya akan manfaatkan kebebasan yang negara berikan dan karunia yang Allah berikan untuk mengumpulkan beragam ilmu. Menguasai ilmu kedokteran seperti yang sedang saya geluti sekarang, menekuni dunia penyiaran agar banyak pengetahuan yang bisa saya kumpulkan, menelusuri resep-resep masakan agar anak-anak saya bisa makan makanan enak dan bergizi setiap hari, menyulam benang-benang agar dapat memberikan kehangatan pakaian buatan tangan kepada yang terkasih, dan terakhir yang tidak kalah penting, yaitu membaca buku-buku cerita agar bisa memberikan dunia kepada anak-anak saya melalui mata dan hatinya.

Lalu apa yang akan saya berikan untuk perubahan?

Saya akan mendampingi lelaki yang telah meminta saya pada Ayah saya. Menyeka keringatnya saat ia pulang kelelahan, menyiapkan paginya dengan senyum dan sepaket sarapan, memeluknya ketika ia tenggelam dalam penat pekerjaan, tampil cantik di hadapannya agar terpulas selalu senyum di wajahnya, serta menjadi pakaian untuknya sebagaimana ia menjadi pakaian untuk saya. Menjadi istri yang berbakti sepenuhnya agar terjalin hubungan baik antara dua kehidupan, dua keluarga yang kami satukan.

Saya akan lahirkan kesatria-kesatria tangguh dan putri-putri yang menawan dalam lingkungan keluarga yang indah meski besarnya rumah tak seberapa. Saya akan menjadi ibu yang cerdas material dan spiritual agar dapat menyediakan madrasah pertama bagi calon-calon penerus bangsa. Saya akan tebarkan kebaikan lewat sela-sela jari dan sudut-sudut bibir, agar tetangga pun selalu saling menyayangi. Saya akan jadikan keluarga saya agen Tawassaw (penyampai pesan) agar masa (waktu) yang Allah berikan kepada kami tidak sia-sia.

Madang, 8-9 Maret 2015

(untuk menjawab pertanyaan sobat saya, Muhammad Sanjaya, yang diajukan tengah malam mendekati akhir Hari Perempuan Internasional ketika saya mulai berlagak penat melihat tumpukan materi ujian)

Selasa, 03 Maret 2015

Tanpa Judul

Aku di sini duduk memandangi detil wajahmu sambil menyiangi ragu yang melekat keras dalam hatiku. Kutancapkan pandanganku pada figurmu yang kaku. Lalu aku menunduk, sedikit banyak merangkum kita dalam benak.

Kau dan aku dua pribadi yang berkebalikan. Kita sama-sama menyembunyikan diri dalam topeng-topeng yang kita buat sendiri. Aku sang pecinta sepi memakai wajah ceria penuh gelak. Sementara kau si pendamba canda menyembunyikan sungging tawa dalam kerut-kerut dahi. Setiap hari kita berbohong pada cermin yang kita hadapi pagi-pagi.

Aku mendongak lagi untuk kemudian mendapatimu juga sedang melihat ke arahku. Ketika mata kita bertemu aku bertanya dalam hati, pada akhirnya apakah kita mampu membuka kedok ini? Menuturkan kisah yang sebelumnya kita simpan sendiri-sendiri. Untuk kemudian menyusun cerita masa depan yang kini masih berupa misteri.

Madang, 3 Maret 2015
(Di malam yang hening, setelah membaca beberapa tetes Hujan Matahari yang dituangkan Kurniawan Gunadi. Karena tetiba saja aku mengingatmu.)

Selasa, 27 Januari 2015

Cerita dari Sahabat

(Baru saja aku membongkar dropbox-ku lalu menemukan satu file ini. Tulisan yang kubuat lebih dari sebulan lalu, ketika aku sedang sibuk melarutkan diri dalam cairan baru. Manis namun ironis, memurutku. Haha)

Hari ini sobatku membawa berita gembira yang membuatku terhanyut dalam euforia. Seringai lebar tak hilang-hilang dari wajahku sepanjang ceritanya. Katanya orang itu sudah menyukaiku dari awal mengenalku. Katanya ada sesuatu yang berbeda dariku, bagus katanya untuk dijadikan istri. Aku tersipu, masih separuh tak percaya. Aku juga menyukainya, tertarik padanya sejak pertama aku tau siapa dia. Aku memperhatikan gerak geriknya mencari tahu siapa dia, diam-diam tanpa ada yang tahu. Ternyata dia pun begitu. Dia menyimpan perasaannya untuk dirinya sembari terus berdoa.

Tidak pernah ada yang tahu kapan suatu perasaan akan datang. Yang kita tahu, ketika Allah ingin mempertemukan dua hati, Ia akan menggerakkan keduanya, bukan hanya satu saja. Tak ada yang tahu bagaimana rasa itu tercipta, yang kita tahu hanya gelenyar pelan yang merayap indah di dada. Kami sama-sama memendam rasa sejak lama, meski tidak saling berbicara. Kami saling mengenal bahkan hidup dan bercerita dalam dunia yang sama meski jarang saling menyapa. Kami sama-sama pemalu, entah karena pada dasarnya begitu atau karena perasaan yang menahan kami dan membuat kami segan berkata. Tanpa perasaan ini mungkin aku akan berbicara biasa saja dengannya, memanggilnya, mengajaknya bercerita, seperti teman-temanku yang lainnya. Tapi karena ini aku takut satu kalimatku dapat membuatnya menyadari apa yang kurasa. Aku malu. Karena aku tidak tahu.

Cerita teman dekatku bahwa ia terus mencoba memperbaiki dirinya membuatku tersentuh. Aku disini masih saja terhanyut dalam masa lalu, cerita-cerita lamaku, sementara ia terus bertransformasi menjadi baru. Sampai saat menulis ini aku masih tersenyum, mengingat-ingat gumpalan perasaan yang kupintal sejak entah kapan. Yang sekarang macam terjawab dengan pergerakannya. Hati yang selama ini kusimpan sendiri mulai mau menduplikasi kunci. Karena sekarang tak mau lagi terbawa arus perasaan palsu, aku mencoba membatasi jumlah kunci yang kutempa. Menyisakan satu hanya untuk dia yang nanti datang menemui Papa. Memintaku menjadi pendampingnya sampai akhir waktu kami di dunia, dan semoga bertemu pula di akhirat-Nya.

(Madang, 8 Desember 2014)

Rabu, 05 November 2014

Surat Untuk Bumi

Selamat pagi, Bumi.

Subuh tadi aku disapa Debu, yang menggandeng Angin. Kau tahu foto? Gambar yang merekam kenyataan di masa lalu.

Sebelumnya Angin menunjukkan padaku bagian kecil foto itu, membuatku tak bisa menerka apa yang menjadi latar belakang. Entah kenapa aku merasa dibodohi ketika aku tahu akulah yang sebenarnya bodoh. Angin menjelma topan yang memporakporandakan pandanganku akanmu. Setelahnya, aku menyusun kepingan dusta yang ia serakkan diatasmu.

Aku tak menyangka serpih-serpih kenyataan menjadi mengerikan ketika kita tahu monumen apa yang menebarkan serpihan itu. Bangunan besar yang hanya kulihat kerikilnya saja. Aku tersenyum. Benar katanya bangunan itu seindah mawar, yang durinya menusukku tiap coba menyentuh.

Bumi, untuk apa dia menutupinya jika saat itu ia merengkuh Debu, aku tak akan peduli. Ketika ditutup lalu aku menyingkap tabir itu sendiri, kenyataan yang kuperoleh menusuk lebih tajam, lebih dalam.

Bumi, dalam diamku organ dalam dada kiriku berdenyut kencang. Aku bisa merasakan degupannya tanpa perlu menyentuh. Napasku jadi satu-satu.

Bumi, aku lelah menggapai Angin. Ia melulu berlalu dihadapanku tanpa menoleh, bercakap dengan Debu membentuk kabut putih yang makin mengaburkan pandanganku. Aku Langit yang harusnya bisa menyaksikan semua dari atas kini tak berdaya oleh kabut yang mereka ciptakan.

Bumi, bisakah kau melihatku? Karena pandanganku terhalang masa lalu. Mungkin kau bisa karena kamulah sang netral yang menikmati fenomena di atasmu.

Bumi, sambangi aku, sapa aku dengan uap asin lautanmu. Supaya aku bisa menggumpalkan awan jadi gelap dan menjelma rintik gerimis. Lalu guyuran hujan yang membasuh kabut itu dalam semalam. Agar esoknya aku pun bisa memandangimu dengan tersenyum lagi. Agar aku membiaskan biru yang cantik lagi. Agar aku bisa menikmati cokelatnya daratan, hijaunya hutan, birunya lautan, dan riuhnya perkotaan. Agar aku lupa kenapa mataku sempat terkaburkan.

Bumi, segera datangi aku, aku rindu.

Dari Langit

Jumat, 31 Oktober 2014

Akhir Cerita Kami

Kalau ada yang perlu disebut “akhir” dari cerita kami, mungkin semalam kami telah benar-benar mendeklarasikannya.

Aku menulis ini tanpa iringan musik apa-apa, tidak seperti kebanyakan gadis yang terlampau gundah hingga satu lirik lagu saja mampu membuatnya meneteskan air mata sambil mengetik ceritanya. Aku menulis ini hanya ditemani desau kipas angin dan dua bungkus roti isi untuk sarapan.

Pertama aku akan mengenalkan pada kami pada kalian para pembaca. Aku adalah perempuan muda, mahasiswa, yang selalu bingung dengan apa yang aku rasakan. Dia adalah lelaki muda, mahasiswa, yang mudah tertawa dan baik hatinya. Tulisan ini akan menutup cerita yang pernah kami susun selama lima tahun, sejak kami masih sepasang junior di sekolah menengah atas hingga kini kami di tengah perjalanan kuliah tingkat tiga.

Aku akan bercerita dari sisiku. Sejak awal aku dekat dengannya, impresiku belum berubah. Dia masih humoris dan dia masih baik. Ia (kurasa) sangat mengayomiku, anak sulung, yang selalu merindukan posisi seorang kakak. Lima tahun lalu kami memulai cerita ini, dengan kejutan-kejutan manis darinya untukku yang jarang sekali menerima kejutan. Ia sedikit banyak merubah duniaku.

Menggandengku menuju dunia baru yang memberikan pengalaman-pengalaman yang tak akan kurasakan jika aku tak keluar dari duniaku. Aku benar-benar merasakan naik turun perasaan. Meskipun aku selalu mengaku sebagai perempuan tak berperasaan, tapi sesungguhnya aku sadar betul kalau perasaanku selalu terombang-ambing selama bersamanya. Aku merasakan setiap emosi yang biasa dirasakan oleh para remaja. Aku menikmati jalan kami.
Namun, seperti biasanya pula aku lebih sering mengacuhkan perasaanku, berusaha sok kuat sampai menyakitinya berkali-kali. Aku mengakhiri hubungan kami dengan akhir yang tak nyata yang dengan mudah bisa disambungnya kembali. Aku dan dia juga mengisi hati kami dengan figur-figur lain yang membuat kami saling menyakiti. Siklus kebodohan itu berlangsung terus sampai sekarang, ketika kami sudah hidup tanpa status dan hubungan jelas yang mengikat kami. Ketika kami sama-sama bebas namun terikat.

Aku tahu ia sudah lama dekat dengan gadis lain, tanpa adanya status, aku santai saja. Toh,  itu hidupnya. Tak pernah kucoba memikirkan sejauh apa kedekatan mereka, walau kadang alam bawah sadarku tetap berusaha menguak kenyataan yang ada. Dan aku melihat foto serta tulisan yang entah kenapa membuat dada kiriku nyeri, jantungku terasa berdetak lebih keras dari biasanya. Aku melihat foto itu lagi, dan lagi, mencari jejak lain yang akan membuat dadaku sakit lagi. Tapi rasa sakit itu seperti biasa hanya kusimpan sendiri. Kubungkus rapi-rapi agar tak ada yang mengetahui.

Lalu dua minggu kebelakang aku mulai bingung lagi, ternyata mulutku kadang tak kuat. Aku bercerita pada dua temanku tentang apa yang kurasa dan mereka bahagia. Entah kenapa.. Disaat aku sudah melangkah maju, sepasang gadis centil itu melancarkan serangan bayangan, mereka bercakap-cakap dengan dia menggunakan akunku. Bertanya padaku untuk tiap pertanyaan yang dia ajukan agar semuanya betul terkesan seperti jawabanku. Hingga akhirnya muncul kalimat mengerikan darinya, yang membuat temanku itu bingung mau melanjutkannya atau tidak karena di titik itu ia tidak mungkin lagi berlaku sebagai pirator. Ia harus memberitahuku yang sebenarnya. Aku menelusuri bilik obrolan itu pelan-pelan, membaca tiap kata dan meresapi maksudnya dengan lamat. Tak usah temanku, aku pun tercengang membaca bunyi teks terakhir yang dia kirimkan. Aku protes, dia juga, dia bilang kamu harus mengaku bahwa ini kamu, ini terlalu jauh untuk sekadar aksi pembajakan. Lalu aku mengalah.
Sejak hari itu aku mulai hidup dengan bayang-bayang perasaan “aku menyukainya lagi”. Perasaan bodoh yang harusnya sama sekali tidak aku mulai, tak perlu ada deklarasi yang menyatakan apa yang kurasakan, cukup aku saja yang menikmatinya bersama hatiku. Tanpa deklarasi, aku harus sekuat tenaga menyembunyikan hal yang tak seharusnya diketahuinya, aku dengan gengsiku yang terlalu tinggi selalu menutupi apa pun yang aku rasakan. Karena aku tahu, ketika dia tahu, pertahananku akan runtuh. Seperti kemarin.

Obrolan di media sosial itu membuatku kembali dekat dengannya, hal yang seharusnya tak pernah lagi kulakukan. Aku tahu jelas ia sudah dekat dengan orang lain, itulah yang membuatku sempat resah lalu bercerita pada dua temanku yang akhirnya mengantarkanku ke sisi yang lain. Dia yang masih baik selalu berusaha menyelamatkanku dari tiap situasi awkward, yang membuat kami kembali pada rutinitas bodoh yang selalu kami lakukan di tiap pertemuan kami, dulu. Rutinitas yang membuatku semakin hanyut dalam perasaan yang tak seharusnya kurasakan. Aku merasa menjadi pengganggu hubungan orang. Posisiku sebagai ‘mantan’ akan memperburuk keadaan. Aku jadi cemburu pada gadis yang dekat dengannya sekarang, merasa iri pada apapun yang ia dapatkan darinya, apalagi jika dulu aku tidak merasakannya. Buruk sekali, bukan?

Karena itu aku terus berusaha menyiksa diriku dengan kenyataan. Aku terus mencoba mengorek sejauh apa hubungan mereka hingga satu demi satu kenyataan makin mengoyak hatiku. Sebut aku melankolis lebay, tapi memang itu yang aku rasakan.
Dan pada pertemuan kami yang terakhir, saat rutinitas bodoh itu kembali kami lakukan, aku sadar bahwa aku telah mengkhianati seseorang. Aku telah mengotori hati yang sebelumnya tulus. Aku tahu ia tak menyayangiku sebesar dulu, atau mungkin tak menyayangiku lagi. Sebenarnya aku telah manyadari ini dari pertemuan pertama kami, ia sudah berbeda, aku saja yang pura-pura lupa dan menikmati arus perasaan yang semakin menenggelamkanku dalam kabut kebohongan. Tapi sejak aku sadar, aku selalu mencoba menyakinkan betapa ia menyayangi gadisnya. Sampai semalam aku tahu jelas, aku sadar diri.

Sayangnya pada gadis itu bukan sedikit. Semuanya hasil pemupukan yang laamaa, dan keacuhanku adalah pupuk yang membuat sayang itu semakin tumbuh subur hingga sekarang mulai berbunga. Bunga yang sangat cantik. Ia benar-benar menjadi dirinya bersama gadis itu, gadis yang selalu mengerti, yang selalu mengatakan keinginannya secara blak-blakan, gadis yang selalu bisa ia manjakan, adik perempuan yang selalu ia rindukan. Sekarang aku bahagia. Bukan klise, tapi sungguhan. Aku bahagia bisa membuatnya menemukan gadis yang lebih baik untuknya, dan bahagia karena akhirnya aku juga menemukan siapa cintaku sebenarnya. Cinta yang seharusnya tak pernah kutinggalkan hanya untuk menghabiskan lima tahun bersama dia. Cinta yang harusnya aku pupuk tanpa kubiarkan membusuk. Cinta suci yang sebenarnya selalu ada meski selama berapa waktu terkubur cinta semuku.

Wahai Cinta, maafkan aku yang melupakanMu untuk waktu yang begitu lama. Maafkan aku yang tak menyadari keberadaanMu, teguranMu, agar aku selalu kembali padaMu. Izinkan aku untuk kembali mencintaiMu dengan segala kemampuanku.

Rabu, 27 November 2013

Mbah

“Assholaatu khoirum minannauum..”

Aku membuka mata. Dalam sekejap bayangnya terlintas di benakku. Ajaib bukan? Satu kalimat mampu menghadirkan lagi ia yang telah pergi. Karena memang ia bukan pergi untuk dilupakan, melainkan untuk dikenang. Mbah adalah orang yang sangat kucintai karena aku tak mampu membayangkan hidup bersama orang tua yang tega meninggalkanku di depan pintu kiosnya setelah aku lahir. Katanya aku bayi yang bersemangat, suara tangisku mengalahnya ributnya pasardan adzan di pagi hari.

Nuansa subuh membuka kembali kilasan memori yang rapat kusimpan di lekuk serebrum yang tak tejangkau. Suara Mbah melafalkan ayat-ayat suci tak pernah bisa kulawan, bahkan setan pun segan pada beliau yang tua dan berwibawa. Masih dengan mukenah putih aku mendekat padanya setelah menyelesaikan kewajibanku.

“Mbah, hari ini ajarin Hana buat opak lagi ya?”

Beliau tidak menyahut, hanya tersenyum, mengelus kepalaku, kemudian Mbah melanjutkan bacaannya. Aku selalu mengagumi ketaatan Mbah pada Tuhannya dan kepeduliannya pada nasib cucu yang kadang lupa agama ini.

Aku selalu ingat kenangan saat Mbah panen singkong. Kebun 2x3 meter pesegi yang dibelinya ketika aku berusia 7 tahun selalu dipanen periodik, sehingga kami selalu punya cadangan singkong musiman. “Singkong tidak cepat basi kalau belum dimasak. Mbah juga tidak perlu beli bibit lagi, mereka tumbuh sendiri,” kata Mbah ketika kutanya mengapa tidak memilih tanaman lain.

Pernah aku pulang tengah malam, diantar temanku sampai ke depan rumah Mbah. Aku tahu biasanya Mbah sudah tidur dan baru bangun lagi sekitar jam 3 pagi nanti. Hari itu aku berganti baju di WC umum lagi, mengganti baju terusan yang dibelikan Mbah dengan kaos longgar dan hotpants hadiah dari pacarku. Dan aku baru sadar kalau aku lupa membawa kunci. Dalam keadaan setengah mabuk aku memanggil Mbah. Bergegas beliau membuka pintu setelah mendengar suara cucu kesayangannya.

Mbah hanya berdiri mematung sambil memegang gagang pintu. Matanya menatap ragu kearahku, lalu memandangi temanku.

“Saya mengantar Hana karena takut dia pingsan di jalan, Nek. Maaf, saya izin pamit duluan.” Lalu ia pergi setelah melihatku mampu berdiri tegak sendiri.

Mbah masih belum mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Di bawah keremangan lampu kuning 5 watt yang menjadi penerang pelataran rumah kami kulihat bulir bening turun membasahi pipi keriput Mbah. Aku tersentak, kupeluk beliau erat sambil memohon maaf berulang kali. Napas Mbah mulai tidak beraturan dan kurasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

“Kamu... benar Hana?”

Kalimat itu masih terngiang di telingaku. Seolah Mbah merasa sangat sakit hanya karena mengucapkannya.
Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Yang kutahu ketika subuh aku terjaga di kamar tidur Ustadzah Latifah, orang kedua yang disayangi Mbah setelah aku. Wanita yang sering mengisi pengajian di masjid yang dihadiri Mbah. Tak ada hal lain yang kupikirkan selain menangis. Aku merasa sakit entah karena apa. Raunganku mengalahkan suara adzan. Seperti ketika aku bayi.

“Hana, ayo berangkat. Santri kita sudah menunggu.”

Suara Ustadzah Latifah mengembalikanku ke dunia nyata. Setelah merapikan diri di cermin, menatap wajah yang bersinar dengan gamis dan jilbab berwarna pastel, dengan nama Allah aku siap pergi ke pesantren.


(hampir) diikutsertakan dalam #FF2in1 edisi 27 November 2013

Harta Karun

 “Sudahlah, bubarkan saja klub ini!”

“Tenang Ketua, bukan sekali kita mengalami hal seperti ini. Anggap saja ini tradisi tahunan, senior juga pernah bilang kan?”

Aku terhenyak. Semua sendiku terasa lemas. Pikiranku melayang ke ruang rapat tahun lalu, dengan percaya diri aku mencoba meyakinkan teman-teman seangkatan dan para senior untuk memilihku. Kubilang ini harapanku, mari jadikan ini harapan kita bersama juga. Bukankah klub ini juga punya tujuan yang sama? Sekarang entah kenapa aku merasa putus asa hanya karena masalah dana. Aku yang selalu optimis mendadak pesimis, harapan memang membuat semua orang menyala lagi.

Feli benar, aku terlalu terfokus dengan ekspektasi hingga nyaris terobsesi. Harapanku tak murni lagi karena aku sekarang merasa sendiri.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan rapat. Para junior tampak tertunduk ketakutan. Apakah aku tadi begitu menyeramkan? Ah, iblis memang telah merasukiku.

“Ketua, maafkan ketidaksopananku tadi. Padahal aku tahu jelas kalau Ketua pasti memiliki alasan untuk berkata seperti itu, tapi aku malah menyamakannya dengan tahun lalu.”

“Oh, tidak. Kau tidak salah, aku yang salah. Maafkan aku yang putus asa ini.”

“Ketua jangan putus asa, kami akan berusaha lebih keras lagi besok. Klub Kerajinan Tangan tidak boleh ditutup, aku hanya merasa bahagia disini. Membuat hasta karya bersama teman-teman dan senior sangat menyenangkan.” Ah, bahkan Si Kecil Lusi yang biasanya hanya diam pun berani bicara. Ketua macam apa aku ini?

“Ketua, dengan 35 orang anggota kita pasti bisa. Kami berjanji tidak akan lalai lagi. Maafkan kami , Ketua,” gadis berambut pendek itu tampak memelas. Ia memegangi tangan teman di sebelahnya.

Aku lupa bahwa klub ini berdiri karena ada banyak kaki yang menopang. Aku terlalu sombong karena memikirkan diriku sendiri. Alexa yang bandel pun menyadari keberadaan 34 orang lainnya, aku memang telah dibutakan oleh rasa arogan sejak kepanitiaan Pameran Budaya ini dimulai.


“Maaf, aku sudah khilaf. Ayo bekerja! Tanpa biaya pun kita bisa berkarya. Harta karun klub ini adalah kita!”

diikutsertakan dalam #FF2in1 edisi 27 November 2013

Kamis, 21 November 2013

Kelabu #2

Orang-orang yang mengaku bersih itu sebenarnya busuk, hatinya kelam penuh jelaga. Mereka selalu punya dua wajah. Begitulah yang Namira yakini sampai detik ini. Ia tak pernah bisa mempercayai siapa pun, bahkan orang terdekatnya. Keluarganyalah yang membuatnya benar-benar yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti. Semua semu, semua abu-abu.

Tahun ini ia memulai cerita baru perjalanan hidupnya sebagai mahasiswa. Betapa agungnya sebutan itu, MAHASISWA. Seakan hendak menunjukkan kuasanya terhadap Indonesia, terhadap dunia. Mahasiswa adalah mereka yang berpendidikan, yang terlatih, yang mengubah peradaban. Hebat. Setelah itu mereka menjadi petinggi di zaman baru untuk kemudian dilengserkan lagi oleh pemuda di masa itu yang muak dengan perilaku tetua mereka. Begitulah siklus yang terus berulang di negeri ini. Pemuda yang berdarah panas dan berkepala dingin berubah menjadi dewasa yang ternoda oleh nafsu dan keserakahan.

Namira tidak mau menjadi seperti pendahulunya. Ia ingin menjadi pelopor perubahan yang sesungguhnya. Namira yang paham kelamnya dunia pemerintahan lewat keluarganya ingin menelusup kedalam sistem. Ingin menelaah lebih dalam, mencari ujung benang yang terlampau kusut tergulung. Dan langkah pertamanya sudah benar, masuk ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Ia ingin membenahi negaranya. Memperjelas batas antara hitam dan putih.

Kamis, 14 November 2013

Kelabu #1

Menurutku, tak ada makhluk yang benar-benar hitam selain iblis dan tak ada makhluk yang benar-benar putih selain malaikat. Kita manusia memang berdiri mengambang diantara kedua warna, terombang-ambing di gelombang abu-abu. –Namira D.

Sekelompok warga tampak merubungi sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. Aku menatap nanar kearah jasad yang terbujur kaku di atas aspal hitam, di bawah tubuhnya tampak genangan merah pekat. Lagi-lagi korban tabrak lari. Dunia tak pernah sebersih yang kita harapkan. Tindakan kotor oleh orang-orang kotor terjadi setiap detik di setiap belahan bumi. Termasuk saat ini, di depan mataku.

Aku tinggal di salah satu kota besar di Tanah Air tercinta ini, kota dengan komplotan bandit dengan koordinasi luar biasa apik. Bandit-bandit yang tidak hanya bercokol di gang-gang gelap di bawah jembatan, tetapi juga di meja-meja hijau dan kursi tinggi pemerintahan. Kisah ini bercerita tentang kota berisi makhluk yang menyebut dirinya manusia berhati iblis. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Rupiah menjadi hal yang begitu berharga. Beberapa rela mengamburkannya demi kekuasaan, memutuskan untuk menyiksa banyak jiwa yang lapar supaya batinnya terpuaskan dengan limpahan kertas merah bergambar. Kebobrokan kota ini sudah mendarahdaging. Pemimpin tak lagi menjalankan fungsinya yang sebenarnya. Mereka bukan melayani, mereka mencari pelayan.

Lagi-lagi koran memberitakan kerusuhan. Pemilihan pemimpin yang berantakan. Rakyat mengamuk menuntut keadilan. Para bandit terbahak senang, menertawai warta yang memberitakan penangkapan gembong besar. Padahal yang tampak diborgol dalam foto itu hanya cecunguk bodoh yang rela menerima gaji kecil meski harus mempertaruhkan nyawa, demi membeli susu dan membiayai sekolah anaknya.
Randi mengerenyitkan keningnya, letih menjadi penegak keadilan yang terlalu sering melihat ketidakadilan oleh kalangannya.


***

Kamis, 11 April 2013

Untuk Kalian


Palembang, 12 April 2013
Untuk Keluargaku


Setelah sekian lama tak bercerita, kali ini aku akan berkisah tentang kita.

Masihkan kalian ingat ketika malam itu (04/04) kita membentuk lingkaran kecil beratapkan langit malam dan cahaya yang berkilat silau sesekali? Delapan anak manusia berkumpul mencoba menyingkap rahasia yang harusnya bukan rahasia. Menerka-nerka dimana letak ujung benang merah yang terlampau kusut bergelung melilit keluarga kecil kita, membuat sesak karena terlalu erat. Satu demi satu pertanyaan terlontar dari lidah kita yang tanpa tulang. Kejujuran adalah tujuan akhir yang sepertinya sangat ingin kita capai malam itu. Tapi aku sungguh telah salah mengira, pengharapanku tersemat di tempat yang terlalu tinggi. Ternyata kita memang belum sedekat itu untuk mampu sepenuhnya berbagi.

Aku sungguh merindukan kita yang saling melengkapi, menutupi kekurangan yang satu dengan kelebihan yang lain. Kita yang dengan mudah mengungkap perasaan secara gamblang, tanpa ada rahasia, tanpa ada dusta. Aku mencintai kita dengan cinta yang begitu dalamnya hingga aku tak mau menerima situasi yang melingkupi saat ini. Keadaan ketika aku dan kalian terasa tak dekat lagi. Ada kotak kecil di dalam lingkaran kita.

Aku bukan orang yang terlalu perasa, tapi aku bukan pula orang yang tak peka. Kotak kecil itu sedikit banyak mengusik perhatianku. Namun, tak pernah kuduga bila penghuni kotak itu ternyata lebih tak peka dariku. Mereka adalah tokoh yang berkeras meyakini bahwa bukan mereka yang salah, mereka tak merasa membentuk sebuah kotak yang telah nyata ada diantara kita, mengkambinghitamkan orang lain, menyalahkan keluarga.

Aku adalah orang yang mudah mengakui kesalahan dan sangat tak suka disalahkan ketika aku tak sedikit pun berbuat salah. Maafkan kalau kadang lidah dan jari-jariku terlalu tajam. Tapi memang itulah maksudku, sengaja mereka kuasah supaya mampu memberi setidaknya goresan kecil pada hati mereka yang tak peka, bila perlu aku ingin menyayatnya. Maafkan lagi kalau aku mulai menggunakan bahasa sarkastik, memisahkan mereka dari kita, sungguh geramku kadang tiba-tiba meraja. 

Mereka bilang kita yang terlalu mensugestikan diri, terus menerus merasa terbuang, merasa tersisih. Padahal sungguhnya kita hanya mencoba merangkul yang menjauh, mengingatkan kawan yang lupa. Padahal sungguhnya kita pun tak mau lagi peduli. Kabar yang menarik tak akan jadi menarik lagi jika apabila terlalu sering diulang. Bosan. Bahkan sejak kemarin (11/04) aku pun mulai menyukai keadaan ini. Mensyukuri keberadaan mereka diantara kita, membiarkan mereka terjebak dalam kotak kecil yang mereka ciptakan sendiri. Menertawakan segala keuntungan yang kita dapat sebagai benih dari keberadaan kotak kecil di dalam lingkaran kita.

Penghuni kotak itu bahagia dengan kebersamaan mereka, pun masih suka bersenang-senang bersama kita. Aku turut bahagia, kalian juga demikian kan? Kalau kotak itu merasa nyaman berada dalam lingkaran kita, mengapa tidak kita berikan pula kenyamanan bagi mereka? Toh, kotak kecil itu pula yang membuat lingkaran kita tercipta. Namun, kurasa mereka merasa perlu membayar pajak meski kita tak pernah meminta. Walaupun sebenarnya tak perlu, harus kuakui bahwa aku juga sangat menikmati upeti-upeti yang mereka berikan dengan senang hati. Haha.

Tapi ternyata beberapa hari lalu (08/04) satu dari kita sampai di ambang kemampuannya mempertahankan kesabaran. “Mengapa tidak kita habiskan saja cerita kita?”, katanya. Kupikir ada benarnya juga. Mengapa tidak kita tinggalkan saja keluarga kecil yang telah menjadi lebih kecil ini? Biarlah kita tetap berkumpul dalam lingkaran tanpa harus ada status menjerat kita. Belakangan ini aku pribadi merasa nama keluarga kita kadang digunakan dengan tidak semestinya lagi. Bukannya aku tak berterimakasih pada mereka yang menyatukan kita, tapi aku sungguh merasa jengah. Maafkan keegoisanku yang mungkin kini terasa begitu pekat.

Biarlah nama itu dipakai ketika kita pergi mendekati langit lagi, ketika kita bersama menjadi semakin dekat dengan Tuhan kita lagi. Di samping itu, biarlah kita terus bersahabat tanpa harus merasa berat, berkelakar tanpa merasa terbakar, serta berkasihsayang tanpa ada yang merasa terbuang.

Tertanda,
Yang merindukan Kita

Sabtu, 06 April 2013

ketika buntu ditambah ngantuk

setelah sekian lama nggak nulis di blog, rasanya kok gak enak ya.
asli gak enak banget loh. omongan doang gayanya mau nulis minimal 5 postingan setiap bulan, tapi buktinya nihil!
rasanya udah banyak banget loh ide-ide yang numpuk di kepala.
tapi kok pas mau nulis malah buntu jadinya. apa karena saya terlalu jauh memikirkan hal yang bagus-bagus saja? mungkin karena saya terlalu sombong kali ya. padahal kemanpuan nulis ya baru gini-gini doang. nilai bahasa indonesia pas SMA aja bobrok banget. lolol banget ya. saya ini ngakunya doyan nulis, suka nyastra, tapi realisasinya nggak ada. saya nih terlalu santai, saya sadar sih.
harusnya emang kayak gini, saya harus sempet-sempetin nulis tengah malem waktu saya nggak mungkin ikut kegiatan kampus atau kumpul bareng temen-temen keluar kosan.
jadinya pasti bakal lebih lah dari 5 postingan doang tiap bulan, wong dulu aja saya bisa kok. masa sekarang saya mau sok gak bisa. gak keren banget, ah.
sudahlah, sekarang saya mau fokus ke nulis. karena saya berharap banget bisa jadi lebihbaik, jadi terkenal, jadi cerdas dan mampu mencerdaskan orang lain lewat tulisan saya. saya tau saya sekarang masih bukan apa-apa. tapi semua orang yang masuyarakat sekarang kenal sebagai "orang hebat" itu dulunya juga pasti orang yang gak ada apa-apany atapi punya tekad kuat untuk ngebuktiin ke dunia kalo dia punya "apa-apa" yang bisa meninggikan derajat dirinya.
setiap manusia itu udah kodratnya untuk punya kekurangan, kalo gak punya kekiurangan mah namanya bukan manusia, tapiTuhan.
saya bukannya mau sok filosofis, tapi kayaknya memang itulah yang seharusnya sekarang saya lakukan.
saya memang tipe orang yang lack of confedence. saya ini mantan minderan yang udah berevolusi jadi anak yang gak tau malu., haha. meski sebenernya saya malu juga sih ngaku kayak begini.
saya yakin saya mampu lah menunjukkan kemampuan saya. saya harus bisa menyusun skala priorutas ketiika saya pounya banyak sekali kegiatan yang harus dikerjaa=kan.
saya sekarang tergabung dalam redaksi Medifka dan bsedang dididik oleh Sekolah BEM. idealnya sih seorang mahasiswa fk unsri boleh punya dua BO, tapi sayangnya barusan pengumuman hasil perekrutan tahap dua udah keluar dan saya alhamdulillah tidak lolos. tapi saya senang, karena saya kehilangan sesuatu yang tidak menginginkan saya, sementara mereka kehilangan saya yang sangat mengingnkan hal itu (ini akan dibahas di posting selanjutnya, insyaallah)

dari tada=i dsaya ngomong apa sih ya, haha. ngalor ngidul ngetan ngulon gak jelas saya emang terlalu suka bertutur. saya mungkin bisa dimasukkan dalam kategori 3/4 extrovert  yang mana punya kebiasaan untuk mudah percaya pada orang lain dan mampu dengan mudah menyampaikan setiap hal tentang hidup saya kepada oang-orang tersebut,
saya menyukai kegiatan menulis, membaca, bercerita, mendengarkan. keempat aspek penilaian bahasa, saya suka. ayah saya pun heran mengaoa saya berkeras mengambil jurusan yan saya jalani sekarang sementara saya adalah orang yang sangat tertarik dengan jurnalistuk. yah, semoga saya akan tetep mampu menjadi jurnalis meski nanti saya menjadi dokter. saya akan mengatur jadwal hidup saya mulai dari sekarang da tidak boleh terunteruosii dengan hal-hal yang mekenceng dari jadwal kecuali itu merupakan hal yang sangat mendesak.

well, mungkin sekiranya segitu dulu ya yang saya tulis malam ini. saya janji, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menuliskan hak-hal yang baik di buletin ataupun mading kita.
maaf kawan, sekarang saya ngantuk., kalian duluan aja, btar aku liat kok. makasih yaaa

Sabtu, 23 Februari 2013

Gita Cinta Galih dan Ratna


Ini adalah naskah dramatisasi puisi yang kami, Klub Teater Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tampilkan dalam POSTERION, Malam Keakraban FK Unsri yang untuk pertama kali diselenggarakan oleh AURIS. Puisi ini dibuat oleh teman kami Anindhita Vania Utami dan naskah narasi oleh Intan Chairrany, ya saya sendiri.
Selamat menikmati =D 

“Di bawah lembutnya pancaran mentari, dua pasang mata saling menyapa. Satu kejadian manis ntara merekaaParas rupawan gadis muda itu mengusik hati si pemuda tanggung untuk mulai mengenalnya.”

(Perkenalan Galih dan Ratna lewat gesture, tanpa dialog)
“Sepasang anak manusia merangkai cerita hidup mereka, bahagia. Meretas kisah kasih mengisi waktu dengan segala yang penuh cinta.”

-Galih-
Seorang laki-laki datang atas nama cinta
Penuh keberanian dan kemenangan nurani
Dengan segumpal makna dan  mawar putih di tangan kiri

-Ratna-
Uhm...
Aku wanita yang selalu bahagia dengan kebersamaan kita
Kita selalu bertukar cerita, bercanda riang, dan berjalan-jalan ke tempat mana saja yang kita inginkan

-Galih-
(bareng Ratna jalan kerumah)
Roda berputar
Cinta kita yang terlahir lagi berada di atasnya
Terguncang jalan yang tak rata
Menghindari lubang dan mobil lain dari arah berlawanan
Membuat kita saling genggam, meski sejujurnya tak kedinginan
             Kamu selalu melihat jalan
             Meski hanya dapat angka 7 dari 9..
             Kamu tetap cantik secantik anggrek bulan di taman belakang
     
“Tapi segalanya tak selalu berjalan sesuai harapan. Terkadang Tuhan menakdirkan hal yang tak disangka, memberikan ujian agar manusianya mampu berjuang sekuat tenaga dan sepenuh jiwa demi memperoleh yang terbaik.”

(Galih dan Ratna nyampe depan rumah, Ayah sedang duduk sambil minum kopi. Langsung berdiri ketika lihat mereka berdua, Ratna pindah posisi)
- Ayah-
Ratna! Ihwal apa yang membuatmu mengizinkan lelaki mengantarkanmu pulang!
Tidakkah kau ingat apa yang Pak Kyai ceritakan di surau tentang sepasang muda-mudi yang berkeliaran tanpa muhrimnya
(menuding Galih, memerintahkan pergi hanya dengan gesture)

-Galih-
(berbalik dari hadapan ayah dan anak, berjalan sendirian. Ratna dan ayah tetap di tempatnya, menatap kepergian Galih. Ratna sedih, ayah biasa aja)
Hari ini kehormatanku tercabut dari sematan Tuhan
Dengan konsistensi ambisil yang berabad rakaat
Aku mengakui setiap mata yang mulai kerlap kerlip di persimpangan
Dan aku mulai menyapa ilalang, bergumam, dan menyalahkan diriku sendiri

-Ratna dan Ayah-
“segera setelah Galih keluar stage”
-Ratna-
Ayah, apa yang salah dari sekedar diantar pulang ke rumah oleh laki-laki semalam?
Apakah kau tega aku sebagai anak perempuanmu berjalan pulang sendirian hanya ditemani lampu-lampu jalanan?

-Ayah-
Dimana kau taruh harga dirimu hingga kau mau diantar jemput lelaki macam itu?
Ayah tahu apapun tentangmu
Lelaki itu hanya anak tukang bengkel di kampung sebelah
Sungguh tidak sepadan denganmu, Ratna

-Ratna-
Tapi ayah... Aku mencintainya.

-Ayah-
Awan gelap berarak
Angin kencang dan rintik hujan mulai ramai di luar
Ayah tetap tidak setuju
Sekarang semuanya terserahmu, kamu pilih ayah atau lelaki miskin itu

“Luka goresan pedang tak akan begitu sulit diseka bila dibandingkan dengan sayatan lidah yang terlanjur tertoreh pada hati yang mendamba. Kenyataan tak pernah semudah itu diterima.”

- Galih-
Mimpi melayang tak tergapai oh nona di seberang
Aku berlari dengan pincang, terpagut-pagut, tertatih.. dan jatuh.
Semasa matahari dan miliaran keluh adalah bisu.
Adalah tuli.
Adalah buta.
(Ratna lewat, berdiri di jarak jauh)
Dan kini semuanya merambat lumpuh.
Kenapa masih memeluk lutut jik kau terbakar?
Kenapa masih coba bernafas jika nafas diambang?
Masih saja mencari arah, meski kompas di tangan kanan

(Galih Ratna pisah, Ratna langsung berbalik pergi, jalan pelan-pelan keluar stage)
Engkau merpati
Yang putih yang tak pernah kugenggam
Tak melihatkah engkau aku?
Saban senja di barat bendungan

“Selama cinta itu masih ada, masih banyak perjuangan yang akan selalu siap dilakukan. Pejuang cinta tak perlu ragu, jodoh telah ditetapkan, manusialah yang mengusahakan”

-Ratna-
(dirumah, duduk sendiri disamping telepon)
Di halaman, salju mencair dibasuh garam
Menjadi air asin tanpa kemasan
Aku.. harus bisa jadi jendral bintang empat
Yang bisa sombong di singgasana lautan merakit strategi tingkatan kostrad

-Galih -
(nelpon Ratna pake HP, di sisi lain stage)
Aku, perangku, darah, dan keringatku. Pilu juga diamku yang seakan tak terbaca
Waktu senja, aku hembuskan ke udara
Agar ayahmu mengerti, kemana jiwa dan hati ini dibawa
Atau kah matahari menghancurkan semuanya?
Sehingga ayahmu tak dapat membaca

“Selalu ada ksatria penyelamat di setiap kisah perjuangan cinta. Tinggal para pencintanya yang harus siap berjuang, berjalan dari hati ke hati menemukan orang yang tepat. Pejuang itu pun menemukannya.”

-Tante Ratna dan Ratna-
-Tante-
Berjalanlah..
Biarkan waktu menenggelamkan semua pikiran ayahmu
Kadang hidup harus dilanjutkan dengan cara yang tidak kita inginkan
Kadang, membakar keadaan juga cara paling memyakitkan
Pergilah.. Tetaplah bersama. Semua akan baik-baik saja

-Ratna-
Jadi... Tante ijinkan aku bertemu dengannya lagi?
-Tante dan Ratna pelukan-

“Kasih sejati takkan terpisah hanya oleh sebuah gertakan. Jodoh telah ditetapkan, tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Cepat atau lambat semua akan indah pada waktunya”

-Galih-
(di perjalanan, sendirian)
Kekasih, aku akan memanggilmu lagi dan lagi
Akan meraih lenganmu lagi dan lagi
Lalu bersandar di pundakmu lagi dan lagi
Sampai keadaan ini tak bisa berkata lagi

“Tiba waktunya semua menunjukkan sisi baiknya. Tuhan selalu mempersiapkan babak terindah dalam skenario kehidupan tanpa pernah manusia tahu kapan datangnya. Manusia hanyalah pelakon dalam sandiwara hidup yang telah terplot dengan sangat sempurna oleh Dalang yang MahaKuasa.”

-Galih-
(siap ketemu lagi setelah pisah. Ratna datang dari sisi yang berlawanan atau menunggu di sebuah bangku)
Pagi ini, semakin tak terasa, bahwa hatiku telah menembus waktu
Meloncati dimensi yang berbaris-baris
Tapi.. Aku tak pernah ragu
Karena senja nanti, lagi, kunikmati kepakan sayapmu


The End


Rabu, 20 Februari 2013

Janji Untuk Purnama


Perempuan itu mengerang dalam tidurnya. Sepertinya ia dapat mimpi buruk lagi. Aku letih. Bersandar di tepi biliknya hanya demi memenuhi janjiku pada Umak, ibu kami. Perempuan itu tidak aku suka, ia terlalu sering mengumpat dalam kalimat yang tak pantas. Aku benci lidahnya yang selalu meliuk tanpa hati tiap melihat apa pun yang tak patut di matanya meski itu hal yang normal. Aku benci pada perempuan yang begitu dicintai Umak itu, satu-satunya anak kandung Umak di panti ini. Aku juga benci pada diriku sendiri yang menjadi anak laki-laki tertua Umak, pemuda tanggung yang mau tidak mau harus menerima tanggung jawab besar menjaga anak-anak Umak.

Ketika pertama bertemu Umak, aku berjanji untuk memberikan segala yang kupunya demi kebahagiaannya. Apapun itu. Termasuk tumbuh besar bersama perempuan itu, Purnama. Gadis picik yang selalu ingin memonopoli kasih sayang Umak, seperti namanya yang memonopoli segenap wajah rembulan. Tapi purnama tak akan muncul setiap hari, sepanjang hari. Selalu, akan selalu ada yang mampu menutupinya. Termasuk aku, Raditya, matahari yang menguasai siang.

Umak menyelamatkanku dari kesepian yang menggulung hariku sejak longsornya tanah dari tebing yang mengelilingi desa kami. Usiaku 8 tahun saat itu, ketika aku menatap tumpukan tanah menindih tubuh Ibu dan Bapak hingga tak ada lagi yang bisa kulihat selain sepatu hitam kebanggaan Bapak dan gelang dari tali yang kubuatkan untuk Ibu. Tangisku pecah. Umak merengkuhku dalam pelukannya yang hangat, menuntun tanganku ke tenda pengungsian. Mata-mata sedih lain menatapku kosong, banyak anak kecil lain yang menjadi korban. Kejadian itu seakan masih terekam jelas dalam memoriku, menjadi rekaman kaset tua yang selalu menunggu untuk diputar kembali.
****
Purnama masih mengerang. Aku mendekat, mencelupkan kain kompresnya yang sudah dingin ke air hangat lagi lalu kembali menempatkannya di kening perempuan itu. Ia menggeliat sedikit, aku menjauh. Kembali ke ruangan sebelah tempat Umak tertidur, menatapi wajah letihnya setelah seharian mencuci pakaian milik bocah-bocah di panti ini. Keadaan Pur yang seperti sekarang membuat Umak merelakan tubuh rentanya bekerja lebih kuat dari biasa, menanggung tugas gadis itu juga. 

Waktu Umak datang padaku perutnya sudah cukup besar. Ternyata ada Pur disana, perempuan yang sekarang kutunggui tidurnya. Dulu aku bahagia, karena Ayah dan Ibu dijemput ketika aku masih anak semata wayang. Melihat perut Umak membuatku membayangkan sosok bayi merah yang akan tersenyum sambil menggenggam satu jariku.

Sabtu, 26 Januari 2013

Nesa dan Hujan


Rintik gerimis menipis. Gumpalan kelabu mulai berarak pergi meninggalkan Nesa yang masih termangu menerawang menembus kaca jendelanya. Dulu, ia dan Genta sering bersua di halaman itu. Halaman yang sekarang basah, berbau tanah. Hal itu membuat Nesa kian resah. Tepat hari ini, sudah dua kali tanggal sembilan Maret berlalu. Sampai saat ini pula ia masih menandai kalendernya. Ulang tahun Genta terlewatkan tanpa ada yang meniup lilin.
Masih dipandanginya halaman itu. Mengenang angsana tua yang dua tahun lalu berdiri kokoh disana. Angsana yang dibawahnya mereka sering bertukar cerita, membagi hidup yang saling berbeda. Angsana yang menjatuhkan dahannya ke tempat Nesa berdiri, Genta yang segera berlari, darah yang mengucur tanpa henti, dan ia yang tergugu melihat kawannya hampir mati dibawah hujan sore itu.
Angsana itu tak kenal mereka. Ia juga tak berniat merusak cerita mereka. Tapi siapalah yang punya daya jika Tuhan telah memutuskan hal yang tak mampu diterka manusia.
Masih terasa hangat rengkuhan Genta ketika menyelamatkannya, sehangat darah yang mengalir membasahi lengan bajunya.  Nesa menjerit sekuat tenaga, tak berdaya menahan dua bobot diatas tubuhnya, tak kuasa menatap mata Genta yang perlahan menutup setelah tersenyum kearahnya. Keluarga Nesa segera keluar, mengangkat dahan besar yang menindih tubuh mereka berdua, memindahkan Genta ke ruang tamu rumahnya.
Dokter yang segera datang setelah dihubungi orang tua Nesa berkata bahwa Genta sudah kehabisann banyak sekali darah. Beberapa saat setelah kalimat itu terucap, denyut nadi Genta menghilang. Peralatan yang dibawa sang dokter tidak cukup memadai untuk menyelamatkan Genta, dan banjir yang melanda kota ini membuat semuanya semakin buruk, Genta tak akan bisa dibawa ke rumah sakit. Nesa masih memeluk tubuhnya. ”Andai tadi aku tak mengajaknya bertemu dibawah deras hujan, andai aku tak begitu lama merespon saat dahan itu menimpanya, tentu Genta tak akan jadi begini.” Nesa menumpahkan tetes-tetes dari kelenjar lakrimalnya. Ia terus menyalahkan diri atas semua yang terjadi kepada Genta sore itu.

*bersambung*

Kamis, 20 Desember 2012

BirthdaySurprise 2


*ini tulisan lama yang baru sempat saya post kemari*

25 November, sohibku terlahir delapan belas tahun yang lalu. Kami adalah sahabat dekat sejak hitunglah semester keempat di sekolah menengah atas. Yah, meskipun tiga semester sebelumnya kami  berada di kelas yang sama, keadaannya berbeda. Kedekatan kami semakin intens sejak mendekati ujian, cerita demi cerita mengalir begitu saja, sengaja maupun tanpa sengaja. Kami seperti dua orang yang awalnya sama sekali tidak saling mengenal, yang tiba-tiba menjadi tong sampah masing-masing hanya karena sebuah sepeda onthel. Aku dan dia duduk bersama di satu sepeda, menelusuri jalan dari sekolah ke asrama, karena suatu dan lain hal.
Cukup prolognya, kembali ke BirthdaySurprise. Hari ini, 25 November, seperti yang kujelaskan diatas, adalah ulang tahunnya yang kedelapan belas. Seperti sebelumnya, sejak berhari-hari yang lalu tentunya kami telah berencana untuk membuat rencana demi memberikan kejutan kecil untuknya. Tapi apalah daya, rencana hanya akan menjadi rencana jika tak pernah disinggung lagi. Pada akhirnya kami sama sekali belum merencanakan apa pun hingga tadi siang Ekki menyinggung dengan kalimat “Hari ini George ultah, kasih apa niih?”. Itu pertanyaan yang sangat ‘dalem’ sobat. Aku memang ingat, dari semalam sepulang Makrab sekitar pukul 23.47, setelah aku menyelesaikan semua ritual sebelum tidurku aku sudah berencana mengirimkan pesan singkat untuknya. Dan rencana tetaplah rencana. Aku terlelap sebelum sempat mengetikkan apa-apa.
Dan supernya lagi, hari ini Abang tidak standby dirumah. Ia mengikuti outbond sejak pagi hingga sore. Di dalam kalimat diatas terkandung maksud, “Aku ga mungkin ke kosan George kalo ga sama Abang, sementara Ekki boncengan ama Lidya, atau sebaliknya Lidya juga ga mungkin ikutan kalo aku ama Ekki. Akan tetap ada yang dikorbankan”. Akhirnya dengan bermodal nekat, aku menjanjukan diri untuk membujuk Abngang supaya bersedia menemaniku membeli kue setelah ia mengikuti outbond. Dan voilla, (tentu saja) ia setuju!
Sore tadi sekitar jam setengah lima, Abang langsung menyuruhku bersiap-siap. Sama sekali tanpa sempat memasukkan motornya kedalam pagar kosanku, kami langsung ‘cabut’ ke bakery. Hanya ada dua jenis kue disana yang ukuran dan harganya sesuai dengan kantong kami. Keduanya berdiameter sekitar 20 cm, bedanya satu berlapis krim coklat dan yang lain krim stoberi yang tentu saja berwarna merah jambu. Ngejek banget kalo kami memberikan kue pink itu pada George. Hahaha.
Begitulah awal mula perjalanan BirthdaySurprise hari ini. Cerita ini berlanjut malam harinya, ketika semua rencana utama dimulai. Ba’da Maghrib kami berempat langsung jalan ke kosan George. Manis bukan? Cerita sebelumnya kami mengatur cerita agar kami bisa mengucapkan selamat ulang tahun pada Ekki yang baru bangun tidur. Kali ini kami berencana mengucapkannya pada George yang tidak tahu apa-apa dengan pengorbanan kami jauh-jauh dari Madang ke Bukit, demi dia J
Tapi semua berubah sejak Negara Api menyerang! Tak lama setelah kami memarkir motor di sepan kosannya, ketika aku dan Lidya turun dari motor dan brsembunyi di balik pagar untuk membuka kotak kue dan memasang lilin tiba-tiba George keluar dari dalam kosan bersama dua temannya. Ini kejutan ulang tahun terkonyol yang pernah kusaksikan seumur hidup, dengan aku sebagai tokohnya. Rusak semua rencana kami karena sang tokoh utama, George, dengan wajah tanpa dosa muncul dari dalam (it was one of the awkward moment tonight). Selanjutnya George meminta kedua temannya pergi duluan dan menemani kami. Lucunya lagi, George memasang lilin untuk kue ulang tahunnya sendiri! Sudahlah, salahnya sendiri tiba-tiba muncul sebelum dipanggil K
Okesip, sekarang kuenya siap. Tapi apalah artinya sebuah kejutan tanpa orang yang akan diberi. Akhirnya kami memaksa George masuk kembali ke kamarnya lalu berpura-pura tidak tahu apa-apa  (another awkward moment). Setelah itu kami berempat berpura-pura mengendap-endap lalu secara tiba-tiba menyanyikan lagu Happy Birthday dalam bahasa Korea, Negara kesukaan pujaannya. Seketika kami berlima larut dalam tawa geli melihat ekspresi ga banget George yang pura-pura syok. Malam ini sangat membekas, setidaknya untukku.
Lilin ditiup, api mati, aku langsung menyambar ceri pertama. Abang berikutnya, dst. aku tidak terlalu memperhatikan karena asyik memasukkan krim yang dioleskan di sekujur kue kedalam mulutktu, yang kuingat Lidya memakan ceri terakhir sebelum kami berfoto dengan kue yang gersang tanpa merah-merah lagi. Hahaha. Suapan kue pertama ditujukan pada pujaannya, cinta sebelah tangannya, diabadikan dalam foto George menyuapi angin kosong. Hahaha. Kasihan. Suapan kedua jatuh pada… aku! Katanya itu untuk teman curhatnya. Manis sekali, tentu saja karena itu aku. Ketika ia menyuapiku, tentu saja aku mau difoto, Lidya bergerak dan ternyata hasilnya tidak pas sementara kue sudah masuk dalam mulutku. Maaf, aku sedang beruntung. Haha. Hal ini membuatku dapat potongan selanjutnya, lagi. Suapan ketiga jatuh kemulutku lagi, yummy. Untungnya hasil foto Lidya bagus, kalau tidak, aku (dengan senang hati) akan menghabiskan sepotong besar kue itu. Hahahaha. Potongan-potongan lainnya satu per satu masuk kedalam perut kami berlima, melalui mulut tentu saja.
Kue kali ini terasa lebih enak disbanding kue sebelumnya, padahal keduanya kami beli di bakery yang sama. Mungkin karena ketika malam hari kami sangat lapar dan di pagi hari mulut kami yang belum sikat gigi itu belum siap menerima potongan kue yan terlampau manis. Ah, siapa peduli. Yang penting makan! Sisa malam itu kami lanjutkan dengan bernostalgia hingga jam tangan sudah hampir mengarah ke jam sembilan.
By the way, selamat ulang tahun sobat! Semoga semua semoga yang terucap hari ini tak hanya sekadar menjadi semoga. Aamiin… You’re one of a kind, Bro. satu dari sekian orang yang beruntung bisa ditempatkan dalam lingkaran sahabatku J