Sepi menggerogoti
malamku pelan-pelan. Serpihan kenangan terserak di segala penjuru, memaksaku
tersadar. Aku tak akan bisa lupa, tak akan mampu hingga Tuhan dengan kuasaNya
merampas ingatan itu dari lipatan cerebrum terdalam. Aku merintih lirih. Aku memang
bersalah, sesungguhnya salah. Bukan dia yang dengan kejam merusak hidupku, tapi
aku, aku yang bersalah. Aku yang dengan bodohnya membiarkan ia masuk. Ia yang
bernama dosa.
Ia yang telah kubiarkan
masuk itu sedikit demi sedikit mengoyak akalku.
Mencampakkanku dalam ceruk terdalam. Aku tak akan bisa mengulang masa
lalu, segala yang telah terjadi tak dapat dielak lagi.
Ia menari sambil
sesekali terbahak kecil bahagia. Aku merintih lirih. Tak mampu menahan tetesan
air di sudut mataku. Kenangan akan ia terus menerus membayang dalam gulungan
sepi. Tuhan, kumohon ampuni aku, hambaMu. Aku yang belum pernah bisa berhenti.
Aku yang terus saja melukis dosa pada kanvas hidupku.
Ampuni aku dan semua
janji semuku, Tuhan. Semua tinta hitam ini terus dan terus menetes, satu satu
hingga tak mampu lagi kucari celah putih. Ah, aku terlalu memanjakan nafsuku. Terlalu.
Aku sadar, Tuhan. Itu semakin membuatku sakit, sangat sakit. Karena aku tahu ia
akan terus memaksa masuk dan aku tanpa sadar membiarkannya lolos tanpa
perlawanan.
Aku terus menghindar,
berlari sekuat tenaga. Tapi selalu ada kalanya aku lemah hingga ia dengan
mudahnya menyalip, mencegat jalanku, melilitku. Lagi, lagi, dan lagi.
Amunisiku, tinta
putihku, amalanku. Mungkin aku kurang banyak menuangkannya, hingga hitam yang
terhampar belum mampu kubersihkan. Mungkin pula Engkau yang memerintahkanku
belajar dari pengalamanku, menghapus yang hitam sedikit-sedikit.
Engkaulah Sang Maha.
Engkaulah yang Maha Menerima Taubat bagi siapapun yang Kau kehendaki. Kumohon,
dengan hanya mengharap keridhoan-Mu, terimalah
taubatku, Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar