Perempuan itu mengerang dalam
tidurnya. Sepertinya ia dapat mimpi buruk lagi. Aku letih. Bersandar di tepi
biliknya hanya demi memenuhi janjiku pada Umak, ibu kami. Perempuan itu tidak
aku suka, ia terlalu sering mengumpat dalam kalimat yang tak pantas. Aku benci
lidahnya yang selalu meliuk tanpa hati tiap melihat apa pun yang tak patut di
matanya meski itu hal yang normal. Aku benci pada perempuan yang begitu
dicintai Umak itu, satu-satunya anak kandung Umak di panti ini. Aku juga benci
pada diriku sendiri yang menjadi anak laki-laki tertua Umak, pemuda tanggung
yang mau tidak mau harus menerima tanggung jawab besar menjaga anak-anak Umak.
Ketika pertama bertemu Umak, aku
berjanji untuk memberikan segala yang kupunya demi kebahagiaannya. Apapun itu. Termasuk
tumbuh besar bersama perempuan itu, Purnama. Gadis picik yang selalu ingin
memonopoli kasih sayang Umak, seperti namanya yang memonopoli segenap wajah
rembulan. Tapi purnama tak akan muncul setiap hari, sepanjang hari. Selalu,
akan selalu ada yang mampu menutupinya. Termasuk aku, Raditya, matahari yang
menguasai siang.
Umak menyelamatkanku dari
kesepian yang menggulung hariku sejak longsornya tanah dari tebing yang
mengelilingi desa kami. Usiaku 8 tahun saat itu, ketika aku menatap tumpukan
tanah menindih tubuh Ibu dan Bapak hingga tak ada lagi yang bisa kulihat selain
sepatu hitam kebanggaan Bapak dan gelang dari tali yang kubuatkan untuk Ibu. Tangisku
pecah. Umak merengkuhku dalam pelukannya yang hangat, menuntun tanganku ke
tenda pengungsian. Mata-mata sedih lain menatapku kosong, banyak anak kecil
lain yang menjadi korban. Kejadian itu seakan masih terekam jelas dalam
memoriku, menjadi rekaman kaset tua yang selalu menunggu untuk diputar kembali.
****
Purnama masih mengerang. Aku mendekat, mencelupkan kain kompresnya yang sudah dingin ke air hangat lagi lalu kembali menempatkannya di kening perempuan itu. Ia menggeliat sedikit, aku menjauh. Kembali ke ruangan sebelah tempat Umak tertidur, menatapi wajah letihnya setelah seharian mencuci pakaian milik bocah-bocah di panti ini. Keadaan Pur yang seperti sekarang membuat Umak merelakan tubuh rentanya bekerja lebih kuat dari biasa, menanggung tugas gadis itu juga.
Waktu Umak datang padaku perutnya sudah cukup besar. Ternyata ada Pur disana, perempuan yang sekarang kutunggui tidurnya. Dulu aku bahagia, karena Ayah dan Ibu dijemput ketika aku masih anak semata wayang. Melihat perut Umak membuatku membayangkan sosok bayi merah yang akan tersenyum sambil menggenggam satu jariku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar