Palembang,
23 Februari 2013
Manusia
berubah, Sayang. Aku berubah. Kamu berubah. Kita berubah.
Kamu
sudah tak seperti yang aku harapkan lagi, begitu pun aku. Namun, kita berdua
masih saja ingin cerita lama itu terjadi lagi. Aku disini masih saja menanti
kejutan-kejutan manis yang biasa kamu berikan padaku masa itu. Kamu disana juga
masih merindukan sapa hangatku tiap pagi, siang, sore, dan malammu.
Aku
sadar sesadar-sadarnya kalau cerita kita sudah cukup panjang. Tiga tahun bukanlah
waktu sebentar untukku, mungkin pula untukmu. Aku dan kamu yang memulai cerita
hanya dengan kalimat singkatmu aku jawab dengan satu kata, “Ya,” di hadapan
teman-teman sekamarku ketika malam itu kita
belajar bersama di serambi Diklat. Masih ingatkah kamu, esoknya kelas kita akan
menghadapi ulangan Kimia dan Geografi sekaligus, untuk pertama kalinya? Aku tak
pernah bisa membaca pikiranmu.
Kikuknya
dirimu ketika menyanyikan lagu dengan diiringi gitar untuk pertama kalinya di
kelas ketika kita ulangan praktek Kesenian masih terekam jelas di memoriku. Masih
terasa panasnya pipiku saat kau kembali ke depan kelas dan berkata dengan penuh
percaya diri kalau kau baru berlatih gitar tiga hari dan tetap tampil supaya
bisa menunjukkannya padaku. Aku tersentuh, aku bahagia, itu pertama kalinya dalam
hidupku mendapat kejutan dari seorang laki-laki selain ayahku.
Tapi
aku dan kamu masing-masing juga punya kisah bersama pemain lain. Aku masih gemas tiap
mengingatnya, pun merasa bersalah padamu. Gadis-gadis yang mengagumimu dan para
lelaki yang ku kagumi silih berganti mengisi cerita kita. Menjadi bukit dan
lembah yang harus kita hadapi untuk terus saling percaya, meski hanya sedikit
yang tersisa dari kita.
Ingatkah
kau pada prahara besar yang menghempaskan kita, aku dan kamu kedalam palung
terdalam kehidupan. Aku masih ingat tetes bening yang mengalir di wajah ibuku,
pesan tengah malam yang aku kirimkan pada kedua orangtuaku, juga cerita ibuku
tentang rintihan tengah malam ayahku. Aku sudah cukup menyakiti mereka, Sayang.
Terlampau cukup bahkan untuk membuat sakit itu terasa terus menusuk-nusuk jiwaku
sendiri.
Sayang,
kurasa cerita kita terlalu indah untuk dilupa dan terlalu sakit pula untuk
dikenang. Mungkin aku adalah perempuan berhati dingin yang terlalu sering
menyakiti hatimu yang perasa. Maafkan aku. Sungguh, aku malu. Aku adalah perasa
yang tak mudah merasa.
Sekarang
semua berakhir sudah. Keputusanku lah yang membuatmu terpaksa menyetujui
keadaan ini. Maafkan aku yang selalu egois. Aku hanya berpikir bahwa inilah
yang terbaik untukku, untukmu, untuk kita. Aku hanya ingin kita bisa berjalan
di jalan kita masing-masing untuk menggapai impian kita tanpa tersandung
batu-batu yang akan terus kita buat jika kita terus bersama. Mungkin jalan kita
tak bersimpangan, setidaknya untuk sekarang. Biarlah Tuhan dan waktu yang
menunjukkan bagaimana akhir cerita yang terbaik untuk kita.
Kamu
lelaki baik, sangat baik. Tuhan tentu sudah menyiapkan hal yang baik pula
untukmu. Kau selalu rela melakukan apa pun untukku yang terkadang terlalu
sering meminta hal-hal konyol. Aku masih menyayangimu, karena itu aku tak mau
membuatmu terus tersakiti dengan perasaanmu sendiri. Aku tak bisa membiarkanmu
terus berharap pada perempuan yang bahkan belum bisa memamhami hatinya sendiri,
pada perempuan sepertiku. Meskipun aku tahu kalau kau akan terus bersikukuh
menungguku seperti yang selama ini selalu kau ucapkan, mungkin aku akan sedikit
meralat pemikiranmu. Bukan kau yang akan menunggu, kalian para lelaki harus
mengusahakan waktu dan cara agar orangtua kami bisa menerima kalian. Akulah
yang mungkin akan menunggumu. Oh, bukan, bukan hanya kamu. Tapi aku akan menunggu
seorang lelaki datang menemui ayahku dan memintaku menjadi pendampingnya.
Kalau
masih serius, mungkin kamu juga akan jadi salah seorang yang kutunggu.
Sampai
jumpa,
Aku,
yang masih menyayangimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar