Palembang, 12
April 2013
Untuk Keluargaku
Setelah sekian lama tak bercerita, kali ini aku
akan berkisah tentang kita.
Masihkan kalian ingat ketika malam itu (04/04) kita
membentuk lingkaran kecil beratapkan langit malam dan cahaya yang berkilat silau sesekali? Delapan anak manusia berkumpul mencoba menyingkap
rahasia yang harusnya bukan rahasia. Menerka-nerka dimana letak ujung benang
merah yang terlampau kusut bergelung melilit keluarga kecil kita, membuat sesak
karena terlalu erat. Satu demi satu pertanyaan terlontar dari lidah kita yang
tanpa tulang. Kejujuran adalah tujuan akhir yang sepertinya sangat ingin kita
capai malam itu. Tapi aku sungguh telah salah mengira, pengharapanku tersemat
di tempat yang terlalu tinggi. Ternyata kita memang belum sedekat itu untuk mampu sepenuhnya berbagi.
Aku sungguh merindukan kita yang saling
melengkapi, menutupi kekurangan yang satu dengan kelebihan yang lain. Kita yang
dengan mudah mengungkap perasaan secara gamblang, tanpa ada rahasia, tanpa ada
dusta. Aku mencintai kita dengan cinta yang begitu dalamnya hingga aku tak mau
menerima situasi yang melingkupi saat ini. Keadaan ketika aku dan kalian terasa
tak dekat lagi. Ada kotak kecil di dalam lingkaran kita.
Aku bukan orang yang terlalu perasa, tapi aku
bukan pula orang yang tak peka. Kotak kecil itu sedikit banyak mengusik
perhatianku. Namun, tak pernah kuduga bila penghuni kotak itu ternyata lebih tak peka dariku. Mereka adalah
tokoh yang berkeras meyakini bahwa bukan mereka yang salah, mereka tak merasa
membentuk sebuah kotak yang telah nyata ada diantara kita, mengkambinghitamkan
orang lain, menyalahkan keluarga.
Aku adalah orang yang mudah mengakui kesalahan dan sangat tak suka disalahkan ketika aku tak sedikit pun berbuat salah. Maafkan kalau kadang lidah dan jari-jariku
terlalu tajam. Tapi memang itulah maksudku, sengaja mereka kuasah supaya mampu
memberi setidaknya goresan kecil pada hati mereka yang tak peka, bila perlu aku
ingin menyayatnya. Maafkan lagi kalau aku mulai menggunakan bahasa sarkastik, memisahkan
mereka dari kita, sungguh geramku kadang tiba-tiba meraja.
Mereka bilang kita yang terlalu mensugestikan
diri, terus menerus merasa terbuang, merasa tersisih. Padahal sungguhnya kita
hanya mencoba merangkul yang menjauh, mengingatkan kawan yang lupa. Padahal
sungguhnya kita pun tak mau lagi peduli. Kabar yang menarik tak akan jadi
menarik lagi jika apabila terlalu sering diulang. Bosan. Bahkan sejak kemarin (11/04) aku pun mulai menyukai keadaan ini. Mensyukuri keberadaan mereka
diantara kita, membiarkan mereka terjebak dalam kotak kecil yang mereka
ciptakan sendiri. Menertawakan segala keuntungan yang kita dapat sebagai benih
dari keberadaan kotak kecil di dalam lingkaran kita.
Penghuni kotak itu bahagia dengan kebersamaan
mereka, pun masih suka bersenang-senang bersama kita. Aku turut bahagia, kalian
juga demikian kan? Kalau kotak itu merasa nyaman berada dalam lingkaran kita,
mengapa tidak kita berikan pula kenyamanan bagi mereka? Toh, kotak kecil itu
pula yang membuat lingkaran kita tercipta. Namun, kurasa mereka merasa perlu
membayar pajak meski kita tak pernah meminta. Walaupun sebenarnya tak perlu, harus
kuakui bahwa aku juga sangat menikmati upeti-upeti yang mereka berikan dengan
senang hati. Haha.
Tapi ternyata beberapa hari lalu (08/04) satu
dari kita sampai di ambang kemampuannya mempertahankan kesabaran. “Mengapa
tidak kita habiskan saja cerita kita?”, katanya. Kupikir ada benarnya juga. Mengapa
tidak kita tinggalkan saja keluarga kecil yang telah menjadi lebih kecil ini?
Biarlah kita tetap berkumpul dalam lingkaran tanpa harus ada status menjerat
kita. Belakangan ini aku pribadi merasa nama keluarga kita kadang digunakan
dengan tidak semestinya lagi. Bukannya aku tak berterimakasih pada mereka yang
menyatukan kita, tapi aku sungguh merasa jengah. Maafkan keegoisanku yang mungkin kini terasa begitu pekat.
Biarlah nama itu dipakai ketika kita pergi
mendekati langit lagi, ketika kita bersama menjadi semakin dekat dengan Tuhan
kita lagi. Di samping itu, biarlah kita terus bersahabat tanpa harus merasa
berat, berkelakar tanpa merasa terbakar, serta berkasihsayang tanpa ada yang
merasa terbuang.
Tertanda,
Yang
merindukan Kita