Menurutku,
tak ada makhluk yang benar-benar hitam selain iblis dan tak ada makhluk yang
benar-benar putih selain malaikat. Kita manusia memang berdiri mengambang
diantara kedua warna, terombang-ambing di gelombang abu-abu. –Namira
D.
Sekelompok warga tampak
merubungi sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. Aku menatap nanar kearah
jasad yang terbujur kaku di atas aspal hitam, di bawah tubuhnya tampak genangan
merah pekat. Lagi-lagi korban tabrak lari. Dunia tak pernah sebersih yang kita
harapkan. Tindakan kotor oleh orang-orang kotor terjadi setiap detik di setiap
belahan bumi. Termasuk saat ini, di depan mataku.
Aku tinggal di salah
satu kota besar di Tanah Air tercinta ini, kota dengan komplotan bandit dengan
koordinasi luar biasa apik. Bandit-bandit yang tidak hanya bercokol di
gang-gang gelap di bawah jembatan, tetapi juga di meja-meja hijau dan kursi
tinggi pemerintahan. Kisah ini bercerita tentang kota berisi makhluk yang
menyebut dirinya manusia berhati iblis. Mereka menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Rupiah menjadi hal yang begitu berharga.
Beberapa rela mengamburkannya demi kekuasaan, memutuskan untuk menyiksa banyak
jiwa yang lapar supaya batinnya terpuaskan dengan limpahan kertas merah
bergambar. Kebobrokan kota ini sudah mendarahdaging. Pemimpin tak lagi
menjalankan fungsinya yang sebenarnya. Mereka bukan melayani, mereka mencari
pelayan.
Lagi-lagi koran
memberitakan kerusuhan. Pemilihan pemimpin yang berantakan. Rakyat mengamuk
menuntut keadilan. Para bandit terbahak senang, menertawai warta yang
memberitakan penangkapan gembong besar. Padahal yang tampak diborgol dalam foto
itu hanya cecunguk bodoh yang rela menerima gaji kecil meski harus
mempertaruhkan nyawa, demi membeli susu dan membiayai sekolah anaknya.
Randi mengerenyitkan
keningnya, letih menjadi penegak keadilan yang terlalu sering melihat
ketidakadilan oleh kalangannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar