Kemarin (27/12) saya mendapatkan pengalaman pertama menghadiri sekaligus terlibat dalam Khitanan Massal. Kesempatan ini datang dari undangan Kak Agusdianto, senior SMA sekaligus di FK Unsri yang merupakan anggota BSMI yang diundang untuk membantu dalam kegiatan yang diadakan oleh YatimMandiri dan Pertamina di Lorong Perdamaian, Jalan M.P. Mangkunegara, Kenten.
Operator dalam khitanan ini adalah Kak Agus, Kak Engky, dan Kak Febi, mahasiswa post-co-ass yang masih menunggu waktu UKDI. Dan yang beruntung diajak menjadi asisten adalah Kak Taufan, Kak Dayat, Reska, Dinda, Yuli, dan saya sendiri. Sebenarnya kakak-kakak ini mengusahakan angkatan 2011 semua yang membantu, tapi sepertinya yang dihubungi banyak yang berhalangan sehingga jadi kami yang diajak, yah hitung-hitung sekaligus sebagai media pembelajaran bagi kami.
Meskipun di sini saya bukan menjadi Operator, alhamdulillah dalam waktu 4 jam tadi saya bisa mengetahui dasar-dasar teknik khitan (red: saya tidak bilang sirkumsisi karena kami memang tidak melakukan itu). Mulai dari teknik aseptik antiseptik, cek phimosis paraphimosis, anastesi blok dan subkutis, memasang klep jam 6 dan 12 sebelum menentukan batas glans, memotong preputium cara pancung, jahit pembuluh darah kecil, sampai jahitan 8, dan jam 6, 9, 12, 3. Selain itu saya juga menyaksikan cara memastikan jarak glans penis dan memasang klep di atasnya untuk mempercepat proses khitan tanpa sirkumsisi, serta cara merapikan kalau masih ada bagian yang belum terjahit dengan menambah pada jam 5 atau jam 7.
Luar biasa, pengalaman hari ini insyaallah akan selalu saya kenang. Beragam jenis pasien dan keluarganya membuat saya terbayang bagaimana nanti ketika saya turun ke daerah. Bagaimana hebohnya Gilang, pasien pertama kami yang menendang-nendang, menolak melihat, dan berteriak kesakitan sehingga merasa itu adalah salah saya karena seenaknya saja seorang amatir menginjeksikan anastesi subkutis lateralnya... Saat menangani Gilang, saya menjadi asisten 1 yang buta arah. Selain melakukan anastesi subkutis, saya hanya melakukan tindakan aseptik antiseptik, menyerahkan minor set ke Kak Agus.
Setelah Gilang, datanglah Rafi bersama kedua orang tuanya. Rafi sangat heboh meronta-ronta padahal di meja sebelahnya, Haikal (yang ditangani tim Kak Febi) diam saja bahkan tertawa-tawa ketika penisnya sedang dijahit. Kehebohan Rafi membuat dia batal dikhitan oleh tim kami, memberi kesempatan bagi orang tuanya untuk membujuk.
Selanjutnya meja operasi kami disejukkan oleh kalemnya Naban, pasien kedua dan yang paling tenang meski hanya ditemani ibunya. Bocah 9 tahun itu menyaksikan semua proses khitan tanpa menangis sedikit pun. Kali ini saya masih menjadi asisten 1, dan mulai melakukan teknik-teknik dasar. Anastesi blok, mulai dari pemilihan posisi (masih diarahkan oleh Kak Agus) hingga injeksi subkutis lateral kiri-kanan, aman. Saya juga membantu proses penjahitan, meski masih sering salah mengikat. Berkali-kali benang terlepas karena tidak tersimpul. Untungnya Naban sangat kooperatif sehingga saya bisa melaksanakan percobaan pertama saya dengan baik.
Namun sepertinya keberuntungan kami berhenti di Naban. Pasien ketiga kami, Marcel, agak sulit dibujuk. Sebenarnya anak ini sudah diantar ke meja kami ketika Rafi batal dikhitan, tapi rontaannya yang lebih sensasional membuat gilirannya ditunda. Ternyata dia jadi heboh begitu bukan hanya karena melihat teman-teman yang dikhitan sebelumnya menangis keras, tapi karena dia malu penisnya dilihat orang lain. Lucu ya, haha. Alhamdulillah akhirnya Marcel berhasil dikhitan, kali ini saya menjadi asisten 2 sehingga saya lebih menikmati interaksi bersama keluarganya. Saya juga menyaksikan betapa bersemangatnya Sang Ibu meyakinkan anak kelas 1 SD itu bahwa untuk jadi polisi harus disunat. Hehe.
Kiki, pasien terakhir yang saya tangani sebagai asisten 1, membuat saya hampir merasa menjadi operator. Sayangnya, setelah satu kali berhasil melakukan anastesi blok dengan lancar, pada kali ini sepertinya saya malah sudah memasukkan 0.1 cc larutan Lidocain kedalam pembuluh darah Kiki. Untung Kak Agus sadar dan meminta saya mengecek ulang dengan sedikit menyedot bagian yang saya tusuk, tampaklah cairan merah berdilusi dalam spuit 3 cc yg saya pegang. Saya ketakutan.. Melihat saya hampir blank, Kak Agus segera memberi instruksi untuk mencabut spuit pertama dan menggantinya dengan Lidocain baru. Dan alhamdulillah sebelumnya kami sudah memasukkan cukup banyak larutan tersebut dari ampul ke spuitnya sehingga tidak ada kepanikan yang berarti dalam kejadian ini.
Dibalik musibah selalu ada berkah, walaupun tadi pada percobaan pertama (Naban) saya sempat kesulitan dalam memasang simpul jahitan, alhamdulillah kali ini saya sudah mulai bisa merasakan 'feel' yang sering disebut-sebut oleh Sang Operator sekaligus Instruktur di tim kami, yaitu Kak Agusdianto. Dan alhamdulillah berhasil melakukan fase klep, pancung, hingga jahit pembuluh darah dan epitel di semua sisi dengan cukup baik. Tentu saja Kak Agus masih menetapkan batas glans sebelum diklep dan dipancung, memilihkan epitel dan posisi jahitan, juga menggantikan anastesi blok dan suntik lateral kanan.
Terimakasih banyak Kak, sudah mengajak saya turut serta dalam kegiatan bakti sosial ini. Pengalaman ini insyaallah akan terus saya kenang agar menjadi batu loncatan untuk menjadi lebih baik. Dan semoga adik-adik yang dikhitan hari ini tetap sehat tanpa ada komplikasi apapun. Aamiin..