Tampilkan postingan dengan label #FF2in1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #FF2in1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 November 2013

Mbah

“Assholaatu khoirum minannauum..”

Aku membuka mata. Dalam sekejap bayangnya terlintas di benakku. Ajaib bukan? Satu kalimat mampu menghadirkan lagi ia yang telah pergi. Karena memang ia bukan pergi untuk dilupakan, melainkan untuk dikenang. Mbah adalah orang yang sangat kucintai karena aku tak mampu membayangkan hidup bersama orang tua yang tega meninggalkanku di depan pintu kiosnya setelah aku lahir. Katanya aku bayi yang bersemangat, suara tangisku mengalahnya ributnya pasardan adzan di pagi hari.

Nuansa subuh membuka kembali kilasan memori yang rapat kusimpan di lekuk serebrum yang tak tejangkau. Suara Mbah melafalkan ayat-ayat suci tak pernah bisa kulawan, bahkan setan pun segan pada beliau yang tua dan berwibawa. Masih dengan mukenah putih aku mendekat padanya setelah menyelesaikan kewajibanku.

“Mbah, hari ini ajarin Hana buat opak lagi ya?”

Beliau tidak menyahut, hanya tersenyum, mengelus kepalaku, kemudian Mbah melanjutkan bacaannya. Aku selalu mengagumi ketaatan Mbah pada Tuhannya dan kepeduliannya pada nasib cucu yang kadang lupa agama ini.

Aku selalu ingat kenangan saat Mbah panen singkong. Kebun 2x3 meter pesegi yang dibelinya ketika aku berusia 7 tahun selalu dipanen periodik, sehingga kami selalu punya cadangan singkong musiman. “Singkong tidak cepat basi kalau belum dimasak. Mbah juga tidak perlu beli bibit lagi, mereka tumbuh sendiri,” kata Mbah ketika kutanya mengapa tidak memilih tanaman lain.

Pernah aku pulang tengah malam, diantar temanku sampai ke depan rumah Mbah. Aku tahu biasanya Mbah sudah tidur dan baru bangun lagi sekitar jam 3 pagi nanti. Hari itu aku berganti baju di WC umum lagi, mengganti baju terusan yang dibelikan Mbah dengan kaos longgar dan hotpants hadiah dari pacarku. Dan aku baru sadar kalau aku lupa membawa kunci. Dalam keadaan setengah mabuk aku memanggil Mbah. Bergegas beliau membuka pintu setelah mendengar suara cucu kesayangannya.

Mbah hanya berdiri mematung sambil memegang gagang pintu. Matanya menatap ragu kearahku, lalu memandangi temanku.

“Saya mengantar Hana karena takut dia pingsan di jalan, Nek. Maaf, saya izin pamit duluan.” Lalu ia pergi setelah melihatku mampu berdiri tegak sendiri.

Mbah masih belum mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Di bawah keremangan lampu kuning 5 watt yang menjadi penerang pelataran rumah kami kulihat bulir bening turun membasahi pipi keriput Mbah. Aku tersentak, kupeluk beliau erat sambil memohon maaf berulang kali. Napas Mbah mulai tidak beraturan dan kurasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

“Kamu... benar Hana?”

Kalimat itu masih terngiang di telingaku. Seolah Mbah merasa sangat sakit hanya karena mengucapkannya.
Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Yang kutahu ketika subuh aku terjaga di kamar tidur Ustadzah Latifah, orang kedua yang disayangi Mbah setelah aku. Wanita yang sering mengisi pengajian di masjid yang dihadiri Mbah. Tak ada hal lain yang kupikirkan selain menangis. Aku merasa sakit entah karena apa. Raunganku mengalahkan suara adzan. Seperti ketika aku bayi.

“Hana, ayo berangkat. Santri kita sudah menunggu.”

Suara Ustadzah Latifah mengembalikanku ke dunia nyata. Setelah merapikan diri di cermin, menatap wajah yang bersinar dengan gamis dan jilbab berwarna pastel, dengan nama Allah aku siap pergi ke pesantren.


(hampir) diikutsertakan dalam #FF2in1 edisi 27 November 2013

Harta Karun

 “Sudahlah, bubarkan saja klub ini!”

“Tenang Ketua, bukan sekali kita mengalami hal seperti ini. Anggap saja ini tradisi tahunan, senior juga pernah bilang kan?”

Aku terhenyak. Semua sendiku terasa lemas. Pikiranku melayang ke ruang rapat tahun lalu, dengan percaya diri aku mencoba meyakinkan teman-teman seangkatan dan para senior untuk memilihku. Kubilang ini harapanku, mari jadikan ini harapan kita bersama juga. Bukankah klub ini juga punya tujuan yang sama? Sekarang entah kenapa aku merasa putus asa hanya karena masalah dana. Aku yang selalu optimis mendadak pesimis, harapan memang membuat semua orang menyala lagi.

Feli benar, aku terlalu terfokus dengan ekspektasi hingga nyaris terobsesi. Harapanku tak murni lagi karena aku sekarang merasa sendiri.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan rapat. Para junior tampak tertunduk ketakutan. Apakah aku tadi begitu menyeramkan? Ah, iblis memang telah merasukiku.

“Ketua, maafkan ketidaksopananku tadi. Padahal aku tahu jelas kalau Ketua pasti memiliki alasan untuk berkata seperti itu, tapi aku malah menyamakannya dengan tahun lalu.”

“Oh, tidak. Kau tidak salah, aku yang salah. Maafkan aku yang putus asa ini.”

“Ketua jangan putus asa, kami akan berusaha lebih keras lagi besok. Klub Kerajinan Tangan tidak boleh ditutup, aku hanya merasa bahagia disini. Membuat hasta karya bersama teman-teman dan senior sangat menyenangkan.” Ah, bahkan Si Kecil Lusi yang biasanya hanya diam pun berani bicara. Ketua macam apa aku ini?

“Ketua, dengan 35 orang anggota kita pasti bisa. Kami berjanji tidak akan lalai lagi. Maafkan kami , Ketua,” gadis berambut pendek itu tampak memelas. Ia memegangi tangan teman di sebelahnya.

Aku lupa bahwa klub ini berdiri karena ada banyak kaki yang menopang. Aku terlalu sombong karena memikirkan diriku sendiri. Alexa yang bandel pun menyadari keberadaan 34 orang lainnya, aku memang telah dibutakan oleh rasa arogan sejak kepanitiaan Pameran Budaya ini dimulai.


“Maaf, aku sudah khilaf. Ayo bekerja! Tanpa biaya pun kita bisa berkarya. Harta karun klub ini adalah kita!”

diikutsertakan dalam #FF2in1 edisi 27 November 2013