"milik pemimpi hebat yang mempercayai langit sebagai tempat menggantungkan mimpi-mimpinya"
Selasa, 26 Juni 2018
Seperti
Seperti malam yang tak ingin menjadi kelam.
Seperti kita yang sedang menatap senja.
Seperti gemerisik dedaunan dan suara jangkrik menemani lamunan.
Sementara.
Beberapa saat saja.
Lalu ia lenyap.
Berganti senyap.
Sabtu, 02 Desember 2017
Iring-iringan
Pagi ini aku tersentak. Suara rebana bersahut-sahutan membuyarkan konsentrasiku saat sedang menonton ulang Flipped, one of the cutest teenage drama ever!
Lalu aku berlari ke ruang tamu, mengintip dari sela-sela kaca nako yang membatasi ruang tamu dan teras ibu kosku. Disana kulihat sepasang pengantin dalam pakaian adat Palembang berjalan perlahan melewati lorong sempit ini. Di belakangnya tampak barisan keluarga, penabuh rebana, dan gadis-gadis dalam pakaian adat lainnya yang kemungkinan besar adalah para penari untuk acara pembukaan. Aku tak bisa melepaskan senyum dari bibirku hingga akhirnya iring-iringan itu hilang dari pandanganku.
Aah, manisnya. A wedding ceremony doesn't have anything to do with location. A giant hall is not necesscary 'cause sometimes a mere houseyard is enough for the delight. Wish the Couple a happy ever after, a thorough life with each other where only death can set them apart.
Madang, 3 Desember 2017
11.00 (di tengah terik matahari Palembang)
Jumat, 01 Desember 2017
Bukan Dering yang Kutunggu
Tik tok tik tok. Aku mematung di hadapan jam tua ini. Menunggu. Menunggu apa? Entah. Aku pun lupa. Sudah berapa lama? Tak bisa lagi rasanya kugunakan jemari untuk menghitungnya. Yang kutahu sekarang aku menyadari gagahnya jam tua ini. Sepertinya ia dipahat dari kayu jati kemudian di cat dengan warna lebih gelap dari kayu aslinya, sapuan tiner di akhir memendarkan cahaya jingga dari satu-satunya lampu yang menyala di ruangan berisikan sepasang kursi dan meja sama tinggi di tengahnya. Seakan didesain untuk duduk berdua menikmati apapun yang bisa dinikmati.
Aku merapikan dudukku. Kudongakkan kepala sekali lagi. Menatap lingkaran kaca dengan bingkai berwarna emas kusam berisi angka-angka Arab dan gerakan pelan jarum detik. Menyadari bahwa sudah lebih dari dua kali jarum pendek itu menunjuk ke masing-masing angka di sekitarnya. Sudah lewat satu hari sejak dia bilang akan meneleponku lagi.
Ya, dia. Laki-laki itu meneleponku dua hari lalu. Dengan nada yang terdengar lebih rendah dari biasanya, mengabarkan bahwa dia baru sampai di kampung halamannya, sebuah desa pertanian di lereng gunung. Katanya Dia pamit seminggu lalu, memelukku erat sembari membisikkan bujuk rayu yang entah sudah yang keberapa kalinya ditiupkan ke telingaku. Dia mengajakku untuk ikut mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan kota yang sesak dan penuh asap. Dia mengajakku pindah bersamanya, untuk tinggal di rumah yang baru saja ditinggalkan kedua orang tuanya karena kecelakaan. Aku menolak. Tentu saja. Kehidupanku berada di jantung kota ini. Aku masih memiliki akal sehat untuk mempertahankan karirku yang telah kubangun dengan susah payah. Aku tak cukup percaya diri dengan kemampuanku bertahan hidup di pedesaan.
Ah, dia benar-benar menyisakan kesan yang mendalam untukku. Satu dari sekian banyak lelaki yang mendekatiku. Dia punya cara yang berbeda, yang membuatku takluk -tapi tidak sampai membuatku mau menyusulnya ke lereng gunung.
Kring kring. Aku tersentak. Tersenyum lebar. Akhirnya telepon putih di sudut ruangan ini mengeluarkan suara. Aku segera beranjak dari tempat dudukku, menggapai gagang telepon itu untuk menghentikan deringnya.
"Halo." Ketika kuangkat, terdengar suara lembut seorang perempuan di seberang sana. Aku mengerenyit menerka-nerka. Namun, kebingunganku sirna seketika saat perempuan itu melanjutkan kalimatnya.
"Apakah benar ini Bu Indah? Keluarga Pak Adi?"
"Ya, benar. Siapa ini?"
"Saya perawat, Bu. Mohon maaf, orang yang sebelumnya mengantar beliau kemari baru saja menemukan nomor telepon Anda di saku celananya dan meminta kami untuk menghubungi Anda. Kami ingin memberitahu bahwa Pak Adi dirawat di rumah sakit kami dan belum sadarkan diri sejak dua hari lalu. Dia menderita luka bakar yang cukup parah. Meskipun masih belum sadar, saat ini keadaan beliau sudah mulai membaik dan bisa dibesuk. Maaf, Bu? Bu? Bu?"
Telingaku pengang. Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi.
______________________________
Soulscape is a 30 days online writing project. To join please contact to stardust-glitteryhoe or rainbowsmoke16
#SoulscapeDecember2017 #SoulscapeDay02 #PhoneCalls
Bayangan Pertama yang Kulihat
Sepi. Rumah besar ini terlalu sepi, sama sekali tak ada suara yang terdengar sejak aku terbangun di kamar ini. Sekali lagi, aku mengendap-endap mencari dalam gelap, meraba setiap bagian dinding yang bisa kujangkau, tetapi masih tak kutemukan saklar lampu. Pun benda-benda lain. Rasanya sudah hampir satu hari aku terkurung dalam ruangan kecil berbau lembab ini. Aku tak bisa memperkirakan ukurannya tapi aku yakin ruangan ini bukanlah tempat tinggal seseorang. Hanya ada selembar tikar plastik di salah satu sisi ruangan, tempatku terbangun pertama kali. Tak mungkin ada manusia yang bisa bertahan dalam tempat sesempit dan segelap ini, kecuali ia merupakan titisan dari siluman kecoak. Akan tetapi, tinggal dalam kegelapan selama berjam-jam membuat mataku mulai terbiasa dengan cahaya yang sedikit menyelinap dari bawah pintu.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum aku tak sadarkan diri, tapi tak ada yang bisa kukenang selain sosok tinggi besar yang membukakan pintu untukku tadi pagi. Seorang lelaki, sepertinya. Dengan bekas luka bakar di tangan kanannya yang ia gunakan untuk menarik kenop pintu. Seraut wajah penuh ketakutan menatap lurus ke arahku dengan mata kanan yang tak bisa terbuka sempurna akibat kontraktur di kulit wajahnya. Aku tahu ia butuh pertolongan. Namun, setelah itu semua menjadi gelap dan selanjutnya aku terbangun sendirian dalam ruangan gelap ini.
Aku terduduk di belakang pintu sambil memeluk kedua kakiki. Belum dapat memutuskan apakah aku harus berteriak meminta pertolongan atau sekadar mengetuk pintu itu dari dalam berharap lelaki tadi akan membukakannya untukku sekali lagi. Aku berpikir -dan berpikir- hingga akhirnya rasa lapar dan dahaga membuatku menyerah. "Tok..tok.." perlahan aku mengetuk pintu yang berada di hadapanku. Aku tak meraba adanya engsel di bagian dalam pintu ini, jadi tentunya pintu ini tidak dibuka dengan mendorongnya ke dalam sehingga aku tak perlu takut terluka dihantam daun pintu meskipun ia terbuka tiba-tiba.
Samar kudengar suara kaki yang melangkah terseret. Semakin lama suara itu semakin jelas dan keras hingga akhirnya cahaya dari bawah pintu menghilang sama sekali. Aku tahu ia berdiri di hadapanku.
"Siapa disana?" Aku mencoba memulai pembicaraan. Hening. Tak ada balasan. "Aku lapar.." ucapku lirih dan penuh kesungguhan. Sekali lagi tak ada jawaban. Lalu kudengar lagi langkah terseret itu menjauhi ruangan ini.
Sekian waktu berlalu, aku putus asa. Indera pendengaranku menumpul seiring hilangnya harapanku. Sekali lagi sosok besar itu berkelebat di benakku, masih dengan wajah penuh rasa takut. Aku mendorong pintu itu. Kemudian yang kulihat hanyalah kilatan putih yang terangnya seakan bisa membutakan mataku.
Dia berada di sana, di ujung cahaya terang ini. Sosok lelaki tinggi besar dengan luka bakar di lengan kirinya. Seraut wajah penuh ketakutan menatap lurus ke arahku dengan mata kiri yang tak bisa terbuka sempurna akibat kontraktur di kulit wajahnya. Ia duduk dengan memeluk kedua kakinya di dalam ruangan gelap. Dan sekali lagi aku hilang kesadaran.
______________________________
Soulscape is a 30 days online writing project. To join please contact to stardust-glitteryhoe or rainbowsmoke16 on Line
#SoulscapeDecember2017 #SoulscapeDay01 #WhenIFirstLaidMyEyesOnYou
Senin, 13 November 2017
Been a While
Hi, pals.
It's been e while since last time I got here. As usual, I feel triggered to write something after some couple hours spent on blogwalking or surfing through my Instagram feeds. Today I found myself reflected on some events happened this month, some photos of my acquaintances, some post on people's blogs, and another personality test to wander my everchanging trait. So this time I would like to tell you bout my reflection on these stuffs.
First is my friend's confession about her virtual encounter related to my admired person. When I heard that for the first time, I shocked, literally had my jaw fell down after reading her message. I told her how I felt about that person, how I see him from another perceptive, how she might be a suitable others to him, and how she need to let loose of those walls that she keep up high before.
Second is an unexpected meeting to join a big family, to be exact I didn't even have any thought on becoming a part of it. But overall, there's not much I could share about this one, cause I still can't comprehend the event itself.
Third is about my wish to study abroad or at least spent a few months to explore some countries while having a task to do. I surfed through the internet to found any post or photos of people I know which spent quarter of his/her life on another continents. This is my sole reason to write this post. To share my biggest dream to the world, to find courage and decide which best to follow. I see people changing everyday while living their lives, made so much decision opposed to their family's belief. I'd like to tip my hat for these people and share my thought with them. But not knowing means I won't have any courage to chat them first. So there goes my imagination again.
Last is my curiosity about my personality. Once again I challenge 16personalities.com to determine my trait. All this time I always believe that I was an introvert, but along the time I slowly realized my appearance changed into an extrovert. This trait keep taking turn to affect my life, so I may be an ambivert that didn't have an exact line to restrict my behavior.
That's all I can share to you for now. I hope we can meet anytime soon. Pray for my initiative to take over my brain.
(Alang Alang Lebar, in the middle of November 2017)
Rabu, 23 Agustus 2017
Mengunjungi Kopi Pulang
Aku memasuki kedai kopi ini dengan penuh rasa ingin tahu. Tempat kecil ini telah menjadi bahan perbincangan hangat di kota Palembang, terutama dalam kalangan penikmat kopi dan sepi. Selama ini aku hanya memperhatikan pintu kayu dibingkai dua jendela kaca dari luar di tengah kemacetan simpang Sekip. Aku berharap cukup banyak pada bagian dalam kedai ini, meskipun aku bukan termasuk penggemar kopi.
Hari itu aku pergi bersama teman-temanku, dua lelaki penikmat kafein harian dan seorang gadis yang terpaksa ikut meski ia bahkan tak kuat menghirup aroma kopi. Ketika aku mendorong daun pintu kayu tersebut, bau kafein yang menyengat segera menyeruak masuk menggelitik saraf-saraf olfaktoriku. Ini adalah pengalaman yang menarik, oleh karenanya aku ingin kembali lagi ke tempat ini, menghirup segelas kopi unik atau menikmati cokelat favoritku, bersamamu. Ya, kamu yang saat ini belum hadir dalam kehidupanku.