Sabtu, 30 Maret 2019

Rindu

Aku rindu.
Rindu masa-masa penuh keingintahuan. Rindu hari-hari penuh pencarian. Rindu membaca, menulis, dan mendengarkan. Rindu belajar dan mempelajari hal-hal baru.

Kontemplasi dini hari ini berputar di masalah perkuliahan. Aku yang sudah lulus dan keluar dari kampus setahun lalu merasakan lagi rindunya masa polos tanpa beban. Masa-masa dimana aku bisa mencoba apa saja. Mempelajari apa saja. Berselancar di dunia maya tanpa memikirkan besok harus bekerja.

Sebagai seorang yang mudah tertarik akan sesuatu, berselancar di dunia maya merupakan kelemahanku. Aku akan terjerat di satu topik dan terus-terusan mencari tahu tentang hal itu sampai aku bosan atau muncul topik baru yang mengalihkan perhatianku. Aku adalah seorang penjelajah dan pengamat. Bukan tipe orang yang mampu benar-benar menjadi profesional, karena sikapku yang mudah teralihkan perhatiannya, sehingga aku cenderung lebih nyaman berada di lingkungan yang stabil.

Hari ini, menonton video-video perkuliahan Jerome Polin membuatku merindukan saat-saat perjuanganku untuk masuk kuliah. Teringat berkas Monbukagakusho yang sempat kucetak, kuperhatikan lamat-lamat, kucoba mengisi beberapa bagian, hingga berkali-kali memelototi gerbang Kantor Kedutaan Jepang di Thamrin setiap kali diantar omku melewati jalan itu, membayangkan aku akan menyelipkan seberkas amplop coklat di kotak suratnya. Hingga pada akhirnya aku menyerah, menyerah pada situasi tanpa mau mencoba lebih keras, aku berhenti memikirkan isi kolom esai dan motivation letter dalam formulir itu. Berkasnya kusimpan dalam map yang kemudian kukancing rapat dan tak pernah kubuka lagi.

Tapi mungkin takdir membawaku ke tempat lain yang juga sama sekali tak kusangka. Berkuliah di Kota Palembang tak pernah sedikit pun terbersit di pikiranku, namun aku menikmatinya. Karena aku mempelajari hal yang memang aku niatkan sejak lama. Seandainya aku melanjutkan Monbu, mungkin aku tidak akan menjadi dokter, karena aku akan mengambil course lain.

Yah, begitulah ke-random-an malam ini. Intinya. Intan kangen. Kangen belajar bahasa lagi. Kangen menulis lagi. Kangen sekolah lagi.

Selasa, 22 Januari 2019

Sadar

Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berdiam di masjid. Merindukan masa-masa mengaji bersama Syifaa di kampus, datang dan duduk di masjid mencari ilmu sebentar lalu berdiam lama sampai berlalu beberapa waktu sholat.

Hari ini aku duduk, menunggu teman-temanku sholat. Di masjid ketika hujan. Mendengarkan lantunan bacaan sang Imam yang merdu dan tartil, maka nikmat Tuhan manakah yang aku dustakan?

Sesungguhnya seseorang memang seharusnya menyisihkan waktunya untuk masjid. Untuk duduk merenung, diam, lepas dari dunia meski sebentar. Benar pula perkataan adik kelasku yang kubaca beberapa hari lalu. Dengan berada di rumahNya kita akan sadar betapa jauhnya kita, betapa jarangnya kita menyapaNya yang selalu siap sedia mendengarkan setiap keluh kesah, setiap cerita. Alangkah kurang bersyukurnya diri kita selama ini.

Duduk sebentar di teras masjid membuatku sadar. Aku adalah hambaNya yang penuh khilaf. Sungguh. Manusia hanya satu titik dari sekian banyak makhluk yang diperintahkan untuk beribadah kepadaNya.

(Yogyakarta, Masjid UII, 22 Januari 2019, saat senja menghitam dan gerimis menderas.)

Senin, 03 Desember 2018

Bicara Senja

Bola api, apakah ia akan pergi?
Sudah waktunya ia pulang, tapi apakah ia hilang?
Lelahkah? Tidurkah?
Hari menghitam, akankah selalu kelam?
Tak terlihat bukan berarti ia beristirahat.
Ia hanya pindah mewarnai sisi sebelah

Selasa, 30 Oktober 2018

Pandangan Pertama

Satu dari sekian tamu. Awalnya ia tak begitu memperhatikan gadis itu. Dari belakang figurnya biasa saja, tidak ada hal yang menarik darinya. Lelaki itu hanya melihat sekilas dari samping dan mendengar suaranya mengucapkan satu kata samar-samar karena ragu. Lalu ia pergi. Gadis itu juga.

Penasaran, ia bertanya pada temannya, apakah gadis itu akan kembali? Siapa namanya? Memang, klise sekali kedengarannya.

Tak lama, gadis itu memang kembali menemui temannya. Dengan kemampuan lihat dan dengar yang cukup minimal, gadis itu tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Ketika ia bertanya dan temannya menjawab, ia bahkan tidak mendengar jelas jawabannya. Hanya sayup-sayup "Ia ingin berkenalan," yang ia dengar.

Kemudian gadis itu pergi bersama temannya tanpa bertanya lebih jauh. Mungkin malu, atau ragu dengan pendengarannya sendiri. Ketia ia sampai di gerbang dan menoleh ke kantor sebelah, lelaki tadi berdiri di depan gerbang seperti sedang berpatroli. Ia hanya mengangguk pelan sembari tersenyum sambil berlalu. Matanya yang rabun membuat gadis itu merasa diperhatikan dan ia semakin malu, khawatir terlalu percaya diri. Setelah gadis itu masuk ke mobil temannya dan berjalan pergi, lelaki tadi pun masuk lagi ke kantornya. Sungguh suatu kejadian yang menarik.

Mari kita lihat apa yang akan terjadi esok hari.

Minggu, 28 Oktober 2018

Dancing High Final Stage Euforia

Watching dancing high was such a roller coaster to my feelings. Too much power, courage, tears, love and regrets that they potrayed in spare of 8 episodes. I know it was just some fragments of their actual struggles. Those teens were so amazing that even an adult like me feel so weak against them. They have much bigger dream than mine and they really fought for it. Not just sitting and watching like some spectator.

Maybe I already passed half of my journey, but I really hope that I can show the world what it means to be me.

Senin, 20 Agustus 2018

Preferences

Let's talk about your favorite genre.

No, let me just talk about mine, because I know you can't respond to my rambling.

Now, and since long before, I always enjoy stories with at least minimal portion of angst. Like a sensitive, tad bit negative main character with inferior complex being in love with a complete opposite person. Their dynamics were one of a kind. All the insecurities, unconfidence, ignorancy, and self pitying are the spices that I looked for in each stories. I waited for the resolution, for how the other one comforted the main character by managing their self-confidence, self-loving, and self-believing by all the love and reassurance they shared constantly. Uncountable amount of love should come from both side to make the negative ones being positive.

Maybe my liking to angst was triggered by my own personalities (?) I don't understand it either. Stories about jealousy, possessiveness, affairs, always had a place in my reading list. Maybe it affected me as well, I do realize that most of my writings are based on these traits.

So why did I felt this urgency to write these nonsense here? I don't know. I just had this feeling to share, to tell, to make a conversation with some imaginary friends, like I always did in my childhood. Crying by my pillow while hugging my teddy after I told him all my struggles with human interractions that day.

Cause baby what I show on the outside maybe a lot different with things that happened inside my bubblyhead.

And this is what you got when listening to me rambling about genre. It's all around the place. I told you before that I was weird, you never listened. I talked nonsense, exept for the part about angst. And I loved how you just sat there with your black ball eyes wide open and some of your reddish tongue out, thatww gave me nothing but the silence I needed the most.