langitbiru
"milik pemimpi hebat yang mempercayai langit sebagai tempat menggantungkan mimpi-mimpinya"
Senin, 09 Agustus 2021
thoughts
Jumat, 09 Juli 2021
Analisis Penyerangan KKB di Papua dan Kaitannya dengan Aspek Bela Negara
Selama pertengahan hingga
akhir Mei 2021, terjadi rentetan kejadian tak diharapkan di salah satu pulau
besar Indonesia. Penyerangan beruntun yang berujung baku tembak antara Kelompok
Kriminal Bersenjata (KKB) dengan TNI-Polri terus menerus terjadi di berbagai
kabupaten di Papua hingga memakan banyak korban jiwa. Selain mengincar apparat,
KKB di Papua juga melakukan pembakaran gedung sekolah. Diketahui ada sekitar
150 orang KKB militan di Papua, beberapa dari mereka menyerahkan diri dan menyatakan ikrar setia pada NKRI. Anggota
yang telah berikrar cinta ibu pertiwi diberikan pengamanan khusus dari
kepolisian, namun tetap ditindak sesuai dengan kesalahannya. Pihak kepolisian
berupaya melakukan pendekatan pada anggota KKB secara humanis dengan cara
memberikan pemahaman dan jaminan kepada pihak-pihak yang belum sejalan dengan
NKRI.
KKB Papua yang menyebut
dirinya sebagai Tentara Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka
(TNPB-OPM) ini pun sedang dikaji apakah tergolong dalam Kelompok Separatis dan
Teroris (KST) karena yang kali ini diserang bukan hanya aparat, melainkan juga
masyarakat sipil. Akan tetapi, keputusan ini bisa jadi akan menyebabkan
masyarakat sipil Papua menjadi korban karena dilabeli teroris. Pemimpin Persatuan Gerakan Pembebasan Papua
Barat menyatakan bahwa pelabelan teroris ini tidak sesuai karena dia merasa
bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan terhadap masyarakat sipil untuk
mengintimidasi secara luas demi tujuan politik. Menurutnya, hal ini telah
dilakukan oleh militer Indonesia selama bertahun-tahun. Mereka mendesak
Indonesia untuk menarik kekuatan militernya dari bumi Papua. Menurut
pendapatnya, pasukan dan helikopter militer Indonesia hanya mendatangkan
ketakutan bagi perempuan dan anak-anak di perkampungan Papua.
Dalam salah satu
konferensi pers, Ketua MPR menerintahkan untuk menumpas habis KKB Papua tanpa
memedulikan urusan HAM. Hal ini memicu kontroversi dari berbagai kelompok
masyarakat karena pernyataan ini dianggap bisa mendorong peningkatan kekerasan
di Papua, serta hanya akan melanggengkan siklus kekerasan yang dapat
mengorbankan warga sipil dan aparat keamanan. Hak Asasi Manusia merupakan
kewajiban konstitusi yang seharusnya menjadi prioritas dalam setiap kebijakan
negara. Apabila dikesampingkan maka akan melawan hukum internasional dan juga
konstitusional.
Tindak kekerasan dan baku
tembak seperti ini bukan baru sekarang terjadi di Bumi Cendrawasih, melainkan sudah
terjadi sejak bertahun lalu hampir di seluruh penjuru Papua. Pada tahun 2018, Kapolri
pernah menyatakan dalam suatu pertemuan bahwa motif dan tujuan utama KKB Papua
ini adalah kesejahteraan. Menurut beliau, kekerasan semacam ini sudah cukup
banyak yang berhasil diredam, terutama di daerah-daerah yang sudah mulai naik
tingkat kesejahteraan dan kemakmurannya. Beberapa pengamat politik menilai
bahwa penyerangan ini bertujuan untuk menarik simpati dunia karena dukungan
negara-negara lain terhadap pemisahan Papua dari Indonesia. Mereka meminta
intervensi militer dari Pasukan Keamanan PBB serta mencari dukungan moril dan
materiil dari Uni Eropa, Afrika-Karibia-Negara Pasifik, dan semua anggota PBB
demi hak merdeka dan hak penentuan nasib sendiri untuk negara-negara yang
terjajah.
Masalah ini tidak akan pernah selesai jika kedua belah pihak (pemerintah Indonesia dan KKB Papua) tidak mau duduk bersama untuk membahas win-win solution untuk masing-masing pihak agar tidak ada yang merasa dirugikan dari keputusan yang dihasilkan. Menurut saya, kekerasan tidak akan pernah menjadi jalan yang bisa dibenarkan dalam mencapai perdamaian. Advokasi personal dan kelompok harus dilakukan secara berkala agar tercapai perdamaian dan kemakmuran di Bumi Cendrawasih. Perbincangan dan diskusi harus dilakukan di tanah Papua dalam kondisi yang tenang tanpa diawasi oleh militer supaya tidak ada keputusan yang diambil berdasarkan paksaan dari salah satu pihak. Saya percaya kedamaian dan kemakmuran dapat diwujudkan di tanah Papua tanpa harus memisahkan diri dari Nusantara.
Disusun untuk memenuhi Tugas 1 Agenda 1 Diklatsar CPNS Kabupaten Bangka
Golongan III Angkatan II Kelompok 4
RSUD DR. Eko Maulana Ali Belinyu
Coach : Dra. Enny Habibah, MMMinggu, 20 Juni 2021
Happy Father's Day
Jumat, 04 Desember 2020
Regret Always Comes Late
Rabu, 12 Agustus 2020
Jatuh vs Bangun
Jatuh cinta itu pilihan, bangun cinta itu komitmen.
Seperti yang pernah saya ceritakan dalam postingan saya sebelumnya, untuk jatuh satu orang pun cukup, tapi untuk membangun, minimal dua orang harus bekerja sama. Kenapa saya bilang dua orang? Karena sesungguhnya hubungan bukan hanya sekadar sang perempuan dengan lelakinya, tapi bagaimana mengikatkan tali cinta mereka pada kedua keluarga. Menjadikannya satu untuk menggenapkan bahtera demi mengarungi samudera.
Lalu mengapa saya menuliskan tentang ini?
Bukan karena saya ingin bersegera menikah, mungkin ingin, tapi belum sekarang. Saya menulis ini karena saya pegal melihat linimasa setiap media sosial yang saya miliki dipenuhi keluhan dan cacian anak-anak kecil yang mungkin belum tahu fungsi setumpuk rambut diatas kelopak matanya.
Kenapa harus alis?
Alis berada di sana sejak lahir, tidak hadir sebagai tanda seksual sekunder yang muncul setelah datang pubertas. Alis ada untuk melindungi kedua bola mata cantik kita dari tetesan keringat yang melulu turun dari pori-pori kepala. Alis tidak seperti bulu mata yang tepat melekat di kelopak. Alis menjaga jarak tepat untuk melindungi. Agar ia tak menjadi seperti bulu mata yang bisa menusuk-nusuk kornea saat tumbuh dengan posisi yang tidak tepat. Alis ada untuk melindungi dengan menjaga jarak ideal.
Lalu apa hubungannya dengan anak-anak itu?
Mereka yang mengoceh-ngoceh di dunia maya tentunya belum mengenal apa itu komitmen. Bahwa hati semestinya disimpan untuk satu yang akan mendampingi kita selamanya.
Kenapa saya bicara begini?
Karena saya juga pernah berada di posisi mereka. Hanya saja saya sedikit lebih tua saat pertama kali di sana. Dan setelah beberapa siklus berputar, entah siklus pendek atau panjang, saya sadar bahwa saya telah menyia-nyiakan waktu saya. Saya telah mengotakkan kehidupan saya dengan keberadaan seseorang yang belum sepatutnya masuk ke lingkaran itu. Saya pernah menjadi bodoh, atau mungkin sekarang masih begitu.
______________________________________________
Entah apa yang kupikirkan waktu itu ya. Tulisan ini awalnya kubuat sudah lama sekali, 9 Maret 2015. Wah, sudah lima tahun. Apalah yang ada dalam otak abege labil itu ya. Sok bijak kali omonganku. Tapi saat ini, aku sudah lebih dewasa. Sudah dua puluh lima tahun umurku. Sudah memiliki pengalaman yang lebih banyak lagi mengenai tema "Jatuh vs Bangun".
Sekarang aku semakin yakin untuk berkomitmen membangun cinta bersama dia yang hadir di waktu yang tepat. Dia yang namanya masih tanda tanya, yang akan mengajakku membangun dan menjadi dewasa bersama. Bertahun sudah menjalani hidup ini membuatku bisa menyeleksi mana yang ada untuk tinggal, mana yang hanya mau lewat. Di usia sekarang, prinsip "Halalkan atau tinggalkan" menjadi sangat penting untuk dipegang. Melihat prioritasnya, cara berpikirnya, menjadi faktor penting disamping ibadah dan akhlaknya. Karena menikah adalah janji untuk menghabiskan sisa umur bersama orang yang awalnya asing.
Semoga aku dipertemukan dengan kamu yang mau membangun rumah penuh kebahagiaan dan keberkahan, bersama.