Selamat pagi, Bumi.
Subuh tadi aku disapa Debu, yang menggandeng Angin. Kau tahu foto? Gambar yang merekam kenyataan di masa lalu.
Sebelumnya Angin menunjukkan padaku bagian kecil foto itu, membuatku tak bisa menerka apa yang menjadi latar belakang. Entah kenapa aku merasa dibodohi ketika aku tahu akulah yang sebenarnya bodoh. Angin menjelma topan yang memporakporandakan pandanganku akanmu. Setelahnya, aku menyusun kepingan dusta yang ia serakkan diatasmu.
Aku tak menyangka serpih-serpih kenyataan menjadi mengerikan ketika kita tahu monumen apa yang menebarkan serpihan itu. Bangunan besar yang hanya kulihat kerikilnya saja. Aku tersenyum. Benar katanya bangunan itu seindah mawar, yang durinya menusukku tiap coba menyentuh.
Bumi, untuk apa dia menutupinya jika saat itu ia merengkuh Debu, aku tak akan peduli. Ketika ditutup lalu aku menyingkap tabir itu sendiri, kenyataan yang kuperoleh menusuk lebih tajam, lebih dalam.
Bumi, dalam diamku organ dalam dada kiriku berdenyut kencang. Aku bisa merasakan degupannya tanpa perlu menyentuh. Napasku jadi satu-satu.
Bumi, aku lelah menggapai Angin. Ia melulu berlalu dihadapanku tanpa menoleh, bercakap dengan Debu membentuk kabut putih yang makin mengaburkan pandanganku. Aku Langit yang harusnya bisa menyaksikan semua dari atas kini tak berdaya oleh kabut yang mereka ciptakan.
Bumi, bisakah kau melihatku? Karena pandanganku terhalang masa lalu. Mungkin kau bisa karena kamulah sang netral yang menikmati fenomena di atasmu.
Bumi, sambangi aku, sapa aku dengan uap asin lautanmu. Supaya aku bisa menggumpalkan awan jadi gelap dan menjelma rintik gerimis. Lalu guyuran hujan yang membasuh kabut itu dalam semalam. Agar esoknya aku pun bisa memandangimu dengan tersenyum lagi. Agar aku membiaskan biru yang cantik lagi. Agar aku bisa menikmati cokelatnya daratan, hijaunya hutan, birunya lautan, dan riuhnya perkotaan. Agar aku lupa kenapa mataku sempat terkaburkan.
Bumi, segera datangi aku, aku rindu.
Dari Langit