"milik pemimpi hebat yang mempercayai langit sebagai tempat menggantungkan mimpi-mimpinya"
Rabu, 20 Februari 2013
54 Lembaran :)
Malam ini kami mengukir cerita baru bersama. Aku meninggalkan bilik nyamanku untuk menyapa manusia lain yang merengkuh hati menebar kasih. Hanya malam sederhana ditemani 54 lembar kartu, tiga gadis muda mengisi waktu berharga mereka. Aku yang terkantuk diruang sebelah kini menyala terang ditemani sahabat yang kini sibuk sendiri. Haha. Hidup ini menyenangkan, sobat. Selama kau tahu bagaimana harus bersikap dan menyikapi orang lain :)
Janji Untuk Purnama
Perempuan itu mengerang dalam
tidurnya. Sepertinya ia dapat mimpi buruk lagi. Aku letih. Bersandar di tepi
biliknya hanya demi memenuhi janjiku pada Umak, ibu kami. Perempuan itu tidak
aku suka, ia terlalu sering mengumpat dalam kalimat yang tak pantas. Aku benci
lidahnya yang selalu meliuk tanpa hati tiap melihat apa pun yang tak patut di
matanya meski itu hal yang normal. Aku benci pada perempuan yang begitu
dicintai Umak itu, satu-satunya anak kandung Umak di panti ini. Aku juga benci
pada diriku sendiri yang menjadi anak laki-laki tertua Umak, pemuda tanggung
yang mau tidak mau harus menerima tanggung jawab besar menjaga anak-anak Umak.
Ketika pertama bertemu Umak, aku
berjanji untuk memberikan segala yang kupunya demi kebahagiaannya. Apapun itu. Termasuk
tumbuh besar bersama perempuan itu, Purnama. Gadis picik yang selalu ingin
memonopoli kasih sayang Umak, seperti namanya yang memonopoli segenap wajah
rembulan. Tapi purnama tak akan muncul setiap hari, sepanjang hari. Selalu,
akan selalu ada yang mampu menutupinya. Termasuk aku, Raditya, matahari yang
menguasai siang.
Umak menyelamatkanku dari
kesepian yang menggulung hariku sejak longsornya tanah dari tebing yang
mengelilingi desa kami. Usiaku 8 tahun saat itu, ketika aku menatap tumpukan
tanah menindih tubuh Ibu dan Bapak hingga tak ada lagi yang bisa kulihat selain
sepatu hitam kebanggaan Bapak dan gelang dari tali yang kubuatkan untuk Ibu. Tangisku
pecah. Umak merengkuhku dalam pelukannya yang hangat, menuntun tanganku ke
tenda pengungsian. Mata-mata sedih lain menatapku kosong, banyak anak kecil
lain yang menjadi korban. Kejadian itu seakan masih terekam jelas dalam
memoriku, menjadi rekaman kaset tua yang selalu menunggu untuk diputar kembali.
****
Purnama masih mengerang. Aku mendekat, mencelupkan kain kompresnya yang sudah dingin ke air hangat lagi lalu kembali menempatkannya di kening perempuan itu. Ia menggeliat sedikit, aku menjauh. Kembali ke ruangan sebelah tempat Umak tertidur, menatapi wajah letihnya setelah seharian mencuci pakaian milik bocah-bocah di panti ini. Keadaan Pur yang seperti sekarang membuat Umak merelakan tubuh rentanya bekerja lebih kuat dari biasa, menanggung tugas gadis itu juga.
Waktu Umak datang padaku perutnya sudah cukup besar. Ternyata ada Pur disana, perempuan yang sekarang kutunggui tidurnya. Dulu aku bahagia, karena Ayah dan Ibu dijemput ketika aku masih anak semata wayang. Melihat perut Umak membuatku membayangkan sosok bayi merah yang akan tersenyum sambil menggenggam satu jariku.
Selasa, 19 Februari 2013
Yang Merona Lalu Merana
nenek tua itu duduk sendiri
wajah keriput ditutup jemari
menghadap jendela ia tercenung
air matanya mulai mengapung
serpih memori yang kini jadi debu
masa mudanya yang kelabu
nenek tua itu menangis tersedu
pagi dulu ia merona
kembang pujaan setiap kumbang
sungguh sayang beribu sayang
kembang cantik tanpa penjaga
dihinggapi kumbang setiap hari
hingga kelopaknya pucat pasi
senja kini ia merana
matanya telah basah
nenek itu makin resah
cucu perempuannya, dari anak angkatnya
tak bertameng pula
(19 Feb 2013)
Sabtu, 26 Januari 2013
Januari
3-1-13
Januari menjelang. Hujan masih merintih menepuk-nepuk kaca jendela. Aku masih di sini, menyepi, menanti.
Kau tak pernah datang. Tak pernah lagi sejak saat itu. Aku meninggalkanmu? Sungguhnya bukan begitu, kurasa kau salah memahami sikapku. Kau selalu bertindak sesuai keinginanmu tanpa perduli apa maknanya bagi orang-orang disekelilingmu. Manusia spontan.
Tapi apa peduliku? Aku menyukai semua yang ada pada dirimu. Sungguh, apapun itu.
Januari menjelang. Hujan masih merintih menepuk-nepuk kaca jendela. Aku masih di sini, menyepi, menanti.
Kau tak pernah datang. Tak pernah lagi sejak saat itu. Aku meninggalkanmu? Sungguhnya bukan begitu, kurasa kau salah memahami sikapku. Kau selalu bertindak sesuai keinginanmu tanpa perduli apa maknanya bagi orang-orang disekelilingmu. Manusia spontan.
Tapi apa peduliku? Aku menyukai semua yang ada pada dirimu. Sungguh, apapun itu.
Nesa dan Hujan
Rintik gerimis menipis. Gumpalan kelabu mulai
berarak pergi meninggalkan Nesa yang masih termangu menerawang menembus kaca
jendelanya. Dulu, ia dan Genta sering bersua di halaman itu. Halaman yang
sekarang basah, berbau tanah. Hal itu membuat Nesa kian resah. Tepat hari ini,
sudah dua kali tanggal sembilan Maret berlalu. Sampai saat ini pula ia masih
menandai kalendernya. Ulang tahun Genta terlewatkan tanpa ada yang meniup
lilin.
Masih dipandanginya halaman itu. Mengenang angsana
tua yang dua tahun lalu berdiri kokoh disana. Angsana yang dibawahnya mereka
sering bertukar cerita, membagi hidup yang saling berbeda. Angsana yang menjatuhkan
dahannya ke tempat Nesa berdiri, Genta yang segera berlari, darah yang mengucur
tanpa henti, dan ia yang tergugu melihat kawannya hampir mati dibawah hujan
sore itu.
Angsana itu tak kenal mereka. Ia juga tak berniat
merusak cerita mereka. Tapi siapalah yang punya daya jika Tuhan telah
memutuskan hal yang tak mampu diterka manusia.
Masih terasa hangat rengkuhan Genta ketika
menyelamatkannya, sehangat darah yang mengalir membasahi lengan bajunya. Nesa menjerit sekuat tenaga, tak berdaya
menahan dua bobot diatas tubuhnya, tak kuasa menatap mata Genta yang perlahan
menutup setelah tersenyum kearahnya. Keluarga Nesa segera keluar, mengangkat
dahan besar yang menindih tubuh mereka berdua, memindahkan Genta ke ruang tamu
rumahnya.
Dokter yang segera datang setelah dihubungi orang
tua Nesa berkata bahwa Genta sudah kehabisann banyak sekali darah. Beberapa saat
setelah kalimat itu terucap, denyut nadi Genta menghilang. Peralatan yang
dibawa sang dokter tidak cukup memadai untuk menyelamatkan Genta, dan banjir
yang melanda kota ini membuat semuanya semakin buruk, Genta tak akan bisa
dibawa ke rumah sakit. Nesa masih memeluk tubuhnya. ”Andai tadi aku tak mengajaknya bertemu dibawah deras hujan, andai aku
tak begitu lama merespon saat dahan itu menimpanya, tentu Genta tak akan jadi
begini.” Nesa menumpahkan tetes-tetes dari kelenjar lakrimalnya. Ia terus
menyalahkan diri atas semua yang terjadi kepada Genta sore itu.
*bersambung*
Kamis, 03 Januari 2013
dulu dan kini
aku tergugu beku
kau mematung terpaku
aku tertatih ringkih
kau malah ikut merintih
saat itu kau seiring
sekarang kau menggiring
aku lagi berteriak
kau mendesah muak
kau pergilah
aku lelah
kau mematung terpaku
aku tertatih ringkih
kau malah ikut merintih
saat itu kau seiring
sekarang kau menggiring
aku lagi berteriak
kau mendesah muak
kau pergilah
aku lelah
Langganan:
Postingan (Atom)