rembulan mengintip malu-malu
sembunyikan jasad di balik gumpalan awan
deru mesin beroda silih berganti melintasi badan jalan
lampu-lampu jalan bersinar redup
sepuluh pemuda merajut cerita baru untuk hidup mereka
pepohonan menemani mereka dalam diam
menyikapi riuh rendah nada lelucon ringan terlontar
Tuhan, peliharalah persahabatan mereka
biarkan mereka menjalani hidup bersama
dalam kasih sampai nanti
"milik pemimpi hebat yang mempercayai langit sebagai tempat menggantungkan mimpi-mimpinya"
Rabu, 27 Februari 2013
Sabtu, 23 Februari 2013
Gita Cinta Galih dan Ratna
Ini adalah naskah dramatisasi puisi yang kami, Klub Teater Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tampilkan dalam POSTERION, Malam Keakraban FK Unsri yang untuk pertama kali diselenggarakan oleh AURIS. Puisi ini dibuat oleh teman kami Anindhita Vania Utami dan naskah narasi oleh Intan Chairrany, ya saya sendiri.
Selamat menikmati =D
“Di bawah lembutnya pancaran
mentari, dua pasang mata saling menyapa. Satu kejadian manis ntara merekaaParas
rupawan gadis muda itu mengusik hati si pemuda tanggung untuk mulai
mengenalnya.”
(Perkenalan Galih dan Ratna lewat
gesture, tanpa dialog)
“Sepasang anak manusia merangkai
cerita hidup mereka, bahagia. Meretas kisah kasih mengisi waktu dengan segala
yang penuh cinta.”
-Galih-
Seorang laki-laki datang atas nama cinta
Penuh keberanian dan kemenangan nurani
Dengan segumpal makna dan mawar putih di tangan kiri
-Ratna-
Uhm...
Aku wanita yang selalu bahagia dengan kebersamaan kita
Kita selalu bertukar cerita, bercanda riang, dan berjalan-jalan ke tempat mana saja yang kita inginkan
Seorang laki-laki datang atas nama cinta
Penuh keberanian dan kemenangan nurani
Dengan segumpal makna dan mawar putih di tangan kiri
-Ratna-
Uhm...
Aku wanita yang selalu bahagia dengan kebersamaan kita
Kita selalu bertukar cerita, bercanda riang, dan berjalan-jalan ke tempat mana saja yang kita inginkan
-Galih-
(bareng Ratna jalan kerumah)
Roda berputar
Cinta kita yang terlahir lagi berada di atasnya
Terguncang jalan yang tak rata
Menghindari lubang dan mobil lain dari arah berlawanan
Membuat kita saling genggam, meski sejujurnya tak kedinginan
Kamu selalu melihat jalan
Meski hanya dapat angka 7 dari 9..
Kamu tetap cantik secantik anggrek bulan di taman belakang
Roda berputar
Cinta kita yang terlahir lagi berada di atasnya
Terguncang jalan yang tak rata
Menghindari lubang dan mobil lain dari arah berlawanan
Membuat kita saling genggam, meski sejujurnya tak kedinginan
Kamu selalu melihat jalan
Meski hanya dapat angka 7 dari 9..
Kamu tetap cantik secantik anggrek bulan di taman belakang
“Tapi segalanya tak selalu
berjalan sesuai harapan. Terkadang Tuhan menakdirkan hal yang tak disangka,
memberikan ujian agar manusianya mampu berjuang sekuat tenaga dan sepenuh jiwa
demi memperoleh yang terbaik.”
(Galih dan Ratna nyampe depan
rumah, Ayah sedang duduk sambil minum kopi. Langsung berdiri ketika lihat
mereka berdua, Ratna pindah posisi)
- Ayah-
Ratna! Ihwal apa yang membuatmu mengizinkan lelaki mengantarkanmu pulang!
Tidakkah kau ingat apa yang Pak Kyai ceritakan di surau tentang sepasang muda-mudi yang berkeliaran tanpa muhrimnya
(menuding Galih, memerintahkan pergi hanya dengan gesture)
- Ayah-
Ratna! Ihwal apa yang membuatmu mengizinkan lelaki mengantarkanmu pulang!
Tidakkah kau ingat apa yang Pak Kyai ceritakan di surau tentang sepasang muda-mudi yang berkeliaran tanpa muhrimnya
(menuding Galih, memerintahkan pergi hanya dengan gesture)
-Galih-
(berbalik dari hadapan ayah dan
anak, berjalan sendirian. Ratna dan ayah tetap di tempatnya, menatap kepergian
Galih. Ratna sedih, ayah biasa aja)
Hari ini
kehormatanku tercabut dari sematan Tuhan
Dengan konsistensi ambisil yang berabad rakaat
Aku mengakui setiap mata yang mulai kerlap kerlip di persimpangan
Dan aku mulai menyapa ilalang, bergumam, dan menyalahkan diriku sendiri
-Ratna dan Ayah-
Dengan konsistensi ambisil yang berabad rakaat
Aku mengakui setiap mata yang mulai kerlap kerlip di persimpangan
Dan aku mulai menyapa ilalang, bergumam, dan menyalahkan diriku sendiri
-Ratna dan Ayah-
“segera setelah Galih keluar
stage”
-Ratna-
Ayah, apa yang salah dari sekedar diantar pulang ke rumah oleh laki-laki semalam?
Apakah kau tega aku sebagai anak perempuanmu berjalan pulang sendirian hanya ditemani lampu-lampu jalanan?
-Ayah-
Dimana kau taruh harga dirimu hingga kau mau diantar jemput lelaki macam itu?
Ayah tahu apapun tentangmu
Lelaki itu hanya anak tukang bengkel di kampung sebelah
Sungguh tidak sepadan denganmu, Ratna
-Ratna-
Tapi ayah... Aku mencintainya.
-Ayah-
Awan gelap berarak
Angin kencang dan rintik hujan mulai ramai di luar
Ayah tetap tidak setuju
Sekarang semuanya terserahmu, kamu pilih ayah atau lelaki miskin itu
-Ratna-
Ayah, apa yang salah dari sekedar diantar pulang ke rumah oleh laki-laki semalam?
Apakah kau tega aku sebagai anak perempuanmu berjalan pulang sendirian hanya ditemani lampu-lampu jalanan?
-Ayah-
Dimana kau taruh harga dirimu hingga kau mau diantar jemput lelaki macam itu?
Ayah tahu apapun tentangmu
Lelaki itu hanya anak tukang bengkel di kampung sebelah
Sungguh tidak sepadan denganmu, Ratna
-Ratna-
Tapi ayah... Aku mencintainya.
-Ayah-
Awan gelap berarak
Angin kencang dan rintik hujan mulai ramai di luar
Ayah tetap tidak setuju
Sekarang semuanya terserahmu, kamu pilih ayah atau lelaki miskin itu
“Luka goresan pedang tak akan
begitu sulit diseka bila dibandingkan dengan sayatan lidah yang terlanjur
tertoreh pada hati yang mendamba. Kenyataan tak pernah semudah itu diterima.”
- Galih-
Mimpi melayang tak tergapai oh nona di seberang
Aku berlari dengan pincang, terpagut-pagut, tertatih.. dan jatuh.
Semasa matahari dan miliaran keluh adalah bisu.
Adalah tuli.
Adalah buta.
Mimpi melayang tak tergapai oh nona di seberang
Aku berlari dengan pincang, terpagut-pagut, tertatih.. dan jatuh.
Semasa matahari dan miliaran keluh adalah bisu.
Adalah tuli.
Adalah buta.
(Ratna lewat, berdiri di jarak
jauh)
Dan kini semuanya merambat lumpuh.
Kenapa masih memeluk lutut jik kau terbakar?
Kenapa masih coba bernafas jika nafas diambang?
Masih saja mencari arah, meski kompas di tangan kanan
(Galih Ratna pisah, Ratna langsung berbalik pergi, jalan pelan-pelan keluar stage)
Engkau merpati
Yang putih yang tak pernah kugenggam
Tak melihatkah engkau aku?
Saban senja di barat bendungan
Dan kini semuanya merambat lumpuh.
Kenapa masih memeluk lutut jik kau terbakar?
Kenapa masih coba bernafas jika nafas diambang?
Masih saja mencari arah, meski kompas di tangan kanan
(Galih Ratna pisah, Ratna langsung berbalik pergi, jalan pelan-pelan keluar stage)
Engkau merpati
Yang putih yang tak pernah kugenggam
Tak melihatkah engkau aku?
Saban senja di barat bendungan
“Selama cinta itu masih ada,
masih banyak perjuangan yang akan selalu siap dilakukan. Pejuang cinta tak
perlu ragu, jodoh telah ditetapkan, manusialah yang mengusahakan”
-Ratna-
(dirumah, duduk sendiri disamping
telepon)
Di halaman, salju mencair dibasuh garam
Menjadi air asin tanpa kemasan
Aku.. harus bisa jadi jendral bintang empat
Yang bisa sombong di singgasana lautan merakit strategi tingkatan kostrad
-Galih -
Di halaman, salju mencair dibasuh garam
Menjadi air asin tanpa kemasan
Aku.. harus bisa jadi jendral bintang empat
Yang bisa sombong di singgasana lautan merakit strategi tingkatan kostrad
-Galih -
(nelpon Ratna pake HP, di sisi
lain stage)
Aku, perangku, darah, dan keringatku. Pilu juga diamku yang seakan tak terbaca
Waktu senja, aku hembuskan ke udara
Agar ayahmu mengerti, kemana jiwa dan hati ini dibawa
Atau kah matahari menghancurkan semuanya?
Sehingga ayahmu tak dapat membaca
Aku, perangku, darah, dan keringatku. Pilu juga diamku yang seakan tak terbaca
Waktu senja, aku hembuskan ke udara
Agar ayahmu mengerti, kemana jiwa dan hati ini dibawa
Atau kah matahari menghancurkan semuanya?
Sehingga ayahmu tak dapat membaca
“Selalu ada ksatria penyelamat di
setiap kisah perjuangan cinta. Tinggal para pencintanya yang harus siap
berjuang, berjalan dari hati ke hati menemukan orang yang tepat. Pejuang itu
pun menemukannya.”
-Tante Ratna dan Ratna-
-Tante-
Berjalanlah..
Biarkan waktu menenggelamkan semua pikiran ayahmu
Kadang hidup harus dilanjutkan dengan cara yang tidak kita inginkan
Kadang, membakar keadaan juga cara paling memyakitkan
Pergilah.. Tetaplah bersama. Semua akan baik-baik saja
-Ratna-
Jadi... Tante ijinkan aku bertemu dengannya lagi?
-Tante dan Ratna pelukan-
-Tante-
Berjalanlah..
Biarkan waktu menenggelamkan semua pikiran ayahmu
Kadang hidup harus dilanjutkan dengan cara yang tidak kita inginkan
Kadang, membakar keadaan juga cara paling memyakitkan
Pergilah.. Tetaplah bersama. Semua akan baik-baik saja
-Ratna-
Jadi... Tante ijinkan aku bertemu dengannya lagi?
-Tante dan Ratna pelukan-
“Kasih sejati takkan terpisah
hanya oleh sebuah gertakan. Jodoh telah ditetapkan, tulang rusuk tak akan
pernah tertukar. Cepat atau lambat semua akan indah pada waktunya”
-Galih-
(di perjalanan, sendirian)
Kekasih, aku akan memanggilmu lagi dan lagi
Akan meraih lenganmu lagi dan lagi
Lalu bersandar di pundakmu lagi dan lagi
Sampai keadaan ini tak bisa berkata lagi
Kekasih, aku akan memanggilmu lagi dan lagi
Akan meraih lenganmu lagi dan lagi
Lalu bersandar di pundakmu lagi dan lagi
Sampai keadaan ini tak bisa berkata lagi
“Tiba waktunya semua menunjukkan
sisi baiknya. Tuhan selalu mempersiapkan babak terindah dalam skenario
kehidupan tanpa pernah manusia tahu kapan datangnya. Manusia hanyalah pelakon
dalam sandiwara hidup yang telah terplot dengan sangat sempurna oleh Dalang
yang MahaKuasa.”
-Galih-
(siap ketemu lagi setelah pisah.
Ratna datang dari sisi yang berlawanan atau menunggu di sebuah bangku)
Pagi ini, semakin tak terasa, bahwa hatiku telah menembus waktu
Meloncati dimensi yang berbaris-baris
Tapi.. Aku tak pernah ragu
Karena senja nanti, lagi, kunikmati kepakan sayapmu
Pagi ini, semakin tak terasa, bahwa hatiku telah menembus waktu
Meloncati dimensi yang berbaris-baris
Tapi.. Aku tak pernah ragu
Karena senja nanti, lagi, kunikmati kepakan sayapmu
The End
(masih) KITA :)
Hari ini lewat tengah malam
Keluarga kecil kami berdiri di bawah temaram jingga lampu
jalan
Dinaungi kerlip bintang dan cahaya rembulan
Lanjutnya kami terus melaju
Lagu-lagu persahabatan mengiringi tiap langkah kami
Kerokok suara kodok bersahutan
Jalanan sepi terasa ramai
Karena kita bersama
Semua tetap indah walau raga kita penat
Jumat, 22 Februari 2013
sedikit mengingat masa alay
aku dulu juga sempat jadi alay loh, kawan. haha, lucu juga kalo inget cerita-cerita zaman itu. baca komen-komen alay yang aku jadiin respon ke cowok-cowok yang waktu itu lagi pedekate ama aku (aku yakin kalian sulit opercaya ini, tapi plis percaya plis...). sama baca postingan di blog lama yang aku sendiri pun udah lupa apa password-nya.
eh, tapi setelah dibaca-baca lagi, ternyata aku nggak sehina yang aku pikirin. haha. masih ada juga postingan waras di blog itu. postingan semacam ini :
aku inget banget gimana kejadiannya pas aku nulis postingan itu. bener-bener nostalgic deh :')
eh, tapi setelah dibaca-baca lagi, ternyata aku nggak sehina yang aku pikirin. haha. masih ada juga postingan waras di blog itu. postingan semacam ini :
aku inget banget gimana kejadiannya pas aku nulis postingan itu. bener-bener nostalgic deh :')
Surat Untuk Kamu
Palembang,
23 Februari 2013
Manusia
berubah, Sayang. Aku berubah. Kamu berubah. Kita berubah.
Kamu
sudah tak seperti yang aku harapkan lagi, begitu pun aku. Namun, kita berdua
masih saja ingin cerita lama itu terjadi lagi. Aku disini masih saja menanti
kejutan-kejutan manis yang biasa kamu berikan padaku masa itu. Kamu disana juga
masih merindukan sapa hangatku tiap pagi, siang, sore, dan malammu.
Aku
sadar sesadar-sadarnya kalau cerita kita sudah cukup panjang. Tiga tahun bukanlah
waktu sebentar untukku, mungkin pula untukmu. Aku dan kamu yang memulai cerita
hanya dengan kalimat singkatmu aku jawab dengan satu kata, “Ya,” di hadapan
teman-teman sekamarku ketika malam itu kita
belajar bersama di serambi Diklat. Masih ingatkah kamu, esoknya kelas kita akan
menghadapi ulangan Kimia dan Geografi sekaligus, untuk pertama kalinya? Aku tak
pernah bisa membaca pikiranmu.
Kikuknya
dirimu ketika menyanyikan lagu dengan diiringi gitar untuk pertama kalinya di
kelas ketika kita ulangan praktek Kesenian masih terekam jelas di memoriku. Masih
terasa panasnya pipiku saat kau kembali ke depan kelas dan berkata dengan penuh
percaya diri kalau kau baru berlatih gitar tiga hari dan tetap tampil supaya
bisa menunjukkannya padaku. Aku tersentuh, aku bahagia, itu pertama kalinya dalam
hidupku mendapat kejutan dari seorang laki-laki selain ayahku.
Tapi
aku dan kamu masing-masing juga punya kisah bersama pemain lain. Aku masih gemas tiap
mengingatnya, pun merasa bersalah padamu. Gadis-gadis yang mengagumimu dan para
lelaki yang ku kagumi silih berganti mengisi cerita kita. Menjadi bukit dan
lembah yang harus kita hadapi untuk terus saling percaya, meski hanya sedikit
yang tersisa dari kita.
Ingatkah
kau pada prahara besar yang menghempaskan kita, aku dan kamu kedalam palung
terdalam kehidupan. Aku masih ingat tetes bening yang mengalir di wajah ibuku,
pesan tengah malam yang aku kirimkan pada kedua orangtuaku, juga cerita ibuku
tentang rintihan tengah malam ayahku. Aku sudah cukup menyakiti mereka, Sayang.
Terlampau cukup bahkan untuk membuat sakit itu terasa terus menusuk-nusuk jiwaku
sendiri.
Sayang,
kurasa cerita kita terlalu indah untuk dilupa dan terlalu sakit pula untuk
dikenang. Mungkin aku adalah perempuan berhati dingin yang terlalu sering
menyakiti hatimu yang perasa. Maafkan aku. Sungguh, aku malu. Aku adalah perasa
yang tak mudah merasa.
Sekarang
semua berakhir sudah. Keputusanku lah yang membuatmu terpaksa menyetujui
keadaan ini. Maafkan aku yang selalu egois. Aku hanya berpikir bahwa inilah
yang terbaik untukku, untukmu, untuk kita. Aku hanya ingin kita bisa berjalan
di jalan kita masing-masing untuk menggapai impian kita tanpa tersandung
batu-batu yang akan terus kita buat jika kita terus bersama. Mungkin jalan kita
tak bersimpangan, setidaknya untuk sekarang. Biarlah Tuhan dan waktu yang
menunjukkan bagaimana akhir cerita yang terbaik untuk kita.
Kamu
lelaki baik, sangat baik. Tuhan tentu sudah menyiapkan hal yang baik pula
untukmu. Kau selalu rela melakukan apa pun untukku yang terkadang terlalu
sering meminta hal-hal konyol. Aku masih menyayangimu, karena itu aku tak mau
membuatmu terus tersakiti dengan perasaanmu sendiri. Aku tak bisa membiarkanmu
terus berharap pada perempuan yang bahkan belum bisa memamhami hatinya sendiri,
pada perempuan sepertiku. Meskipun aku tahu kalau kau akan terus bersikukuh
menungguku seperti yang selama ini selalu kau ucapkan, mungkin aku akan sedikit
meralat pemikiranmu. Bukan kau yang akan menunggu, kalian para lelaki harus
mengusahakan waktu dan cara agar orangtua kami bisa menerima kalian. Akulah
yang mungkin akan menunggumu. Oh, bukan, bukan hanya kamu. Tapi aku akan menunggu
seorang lelaki datang menemui ayahku dan memintaku menjadi pendampingnya.
Kalau
masih serius, mungkin kamu juga akan jadi salah seorang yang kutunggu.
Sampai
jumpa,
Aku,
yang masih menyayangimu
Rabu, 20 Februari 2013
Ada ide lain??
Asmara di Asrama
Memori tentangnya melahirkan cinta.
Cinta yang tak terkira, tak
terdefinisikan dengan kata.
Sudah, begitu saja.
Aku Benci, Tapi …
Kucing Pecatur
Primadona
Pengagum (bukan) Rahasia
Memendam Rasa
Raja Sedang Jatuh Cinta
Aku Percaya Kamu
54 Lembaran :)
Malam ini kami mengukir cerita baru bersama. Aku meninggalkan bilik nyamanku untuk menyapa manusia lain yang merengkuh hati menebar kasih. Hanya malam sederhana ditemani 54 lembar kartu, tiga gadis muda mengisi waktu berharga mereka. Aku yang terkantuk diruang sebelah kini menyala terang ditemani sahabat yang kini sibuk sendiri. Haha. Hidup ini menyenangkan, sobat. Selama kau tahu bagaimana harus bersikap dan menyikapi orang lain :)
Janji Untuk Purnama
Perempuan itu mengerang dalam
tidurnya. Sepertinya ia dapat mimpi buruk lagi. Aku letih. Bersandar di tepi
biliknya hanya demi memenuhi janjiku pada Umak, ibu kami. Perempuan itu tidak
aku suka, ia terlalu sering mengumpat dalam kalimat yang tak pantas. Aku benci
lidahnya yang selalu meliuk tanpa hati tiap melihat apa pun yang tak patut di
matanya meski itu hal yang normal. Aku benci pada perempuan yang begitu
dicintai Umak itu, satu-satunya anak kandung Umak di panti ini. Aku juga benci
pada diriku sendiri yang menjadi anak laki-laki tertua Umak, pemuda tanggung
yang mau tidak mau harus menerima tanggung jawab besar menjaga anak-anak Umak.
Ketika pertama bertemu Umak, aku
berjanji untuk memberikan segala yang kupunya demi kebahagiaannya. Apapun itu. Termasuk
tumbuh besar bersama perempuan itu, Purnama. Gadis picik yang selalu ingin
memonopoli kasih sayang Umak, seperti namanya yang memonopoli segenap wajah
rembulan. Tapi purnama tak akan muncul setiap hari, sepanjang hari. Selalu,
akan selalu ada yang mampu menutupinya. Termasuk aku, Raditya, matahari yang
menguasai siang.
Umak menyelamatkanku dari
kesepian yang menggulung hariku sejak longsornya tanah dari tebing yang
mengelilingi desa kami. Usiaku 8 tahun saat itu, ketika aku menatap tumpukan
tanah menindih tubuh Ibu dan Bapak hingga tak ada lagi yang bisa kulihat selain
sepatu hitam kebanggaan Bapak dan gelang dari tali yang kubuatkan untuk Ibu. Tangisku
pecah. Umak merengkuhku dalam pelukannya yang hangat, menuntun tanganku ke
tenda pengungsian. Mata-mata sedih lain menatapku kosong, banyak anak kecil
lain yang menjadi korban. Kejadian itu seakan masih terekam jelas dalam
memoriku, menjadi rekaman kaset tua yang selalu menunggu untuk diputar kembali.
****
Purnama masih mengerang. Aku mendekat, mencelupkan kain kompresnya yang sudah dingin ke air hangat lagi lalu kembali menempatkannya di kening perempuan itu. Ia menggeliat sedikit, aku menjauh. Kembali ke ruangan sebelah tempat Umak tertidur, menatapi wajah letihnya setelah seharian mencuci pakaian milik bocah-bocah di panti ini. Keadaan Pur yang seperti sekarang membuat Umak merelakan tubuh rentanya bekerja lebih kuat dari biasa, menanggung tugas gadis itu juga.
Waktu Umak datang padaku perutnya sudah cukup besar. Ternyata ada Pur disana, perempuan yang sekarang kutunggui tidurnya. Dulu aku bahagia, karena Ayah dan Ibu dijemput ketika aku masih anak semata wayang. Melihat perut Umak membuatku membayangkan sosok bayi merah yang akan tersenyum sambil menggenggam satu jariku.
Selasa, 19 Februari 2013
Yang Merona Lalu Merana
nenek tua itu duduk sendiri
wajah keriput ditutup jemari
menghadap jendela ia tercenung
air matanya mulai mengapung
serpih memori yang kini jadi debu
masa mudanya yang kelabu
nenek tua itu menangis tersedu
pagi dulu ia merona
kembang pujaan setiap kumbang
sungguh sayang beribu sayang
kembang cantik tanpa penjaga
dihinggapi kumbang setiap hari
hingga kelopaknya pucat pasi
senja kini ia merana
matanya telah basah
nenek itu makin resah
cucu perempuannya, dari anak angkatnya
tak bertameng pula
(19 Feb 2013)
Langganan:
Postingan (Atom)