Sabtu, 26 Januari 2013

Januari

3-1-13
Januari menjelang. Hujan masih merintih menepuk-nepuk kaca jendela. Aku masih di sini, menyepi, menanti.
Kau tak pernah datang. Tak pernah lagi sejak saat itu. Aku meninggalkanmu? Sungguhnya bukan begitu, kurasa kau salah memahami sikapku. Kau selalu bertindak sesuai keinginanmu tanpa perduli apa maknanya bagi orang-orang disekelilingmu. Manusia spontan.
Tapi apa peduliku? Aku menyukai semua yang ada pada dirimu. Sungguh, apapun itu.

Nesa dan Hujan


Rintik gerimis menipis. Gumpalan kelabu mulai berarak pergi meninggalkan Nesa yang masih termangu menerawang menembus kaca jendelanya. Dulu, ia dan Genta sering bersua di halaman itu. Halaman yang sekarang basah, berbau tanah. Hal itu membuat Nesa kian resah. Tepat hari ini, sudah dua kali tanggal sembilan Maret berlalu. Sampai saat ini pula ia masih menandai kalendernya. Ulang tahun Genta terlewatkan tanpa ada yang meniup lilin.
Masih dipandanginya halaman itu. Mengenang angsana tua yang dua tahun lalu berdiri kokoh disana. Angsana yang dibawahnya mereka sering bertukar cerita, membagi hidup yang saling berbeda. Angsana yang menjatuhkan dahannya ke tempat Nesa berdiri, Genta yang segera berlari, darah yang mengucur tanpa henti, dan ia yang tergugu melihat kawannya hampir mati dibawah hujan sore itu.
Angsana itu tak kenal mereka. Ia juga tak berniat merusak cerita mereka. Tapi siapalah yang punya daya jika Tuhan telah memutuskan hal yang tak mampu diterka manusia.
Masih terasa hangat rengkuhan Genta ketika menyelamatkannya, sehangat darah yang mengalir membasahi lengan bajunya.  Nesa menjerit sekuat tenaga, tak berdaya menahan dua bobot diatas tubuhnya, tak kuasa menatap mata Genta yang perlahan menutup setelah tersenyum kearahnya. Keluarga Nesa segera keluar, mengangkat dahan besar yang menindih tubuh mereka berdua, memindahkan Genta ke ruang tamu rumahnya.
Dokter yang segera datang setelah dihubungi orang tua Nesa berkata bahwa Genta sudah kehabisann banyak sekali darah. Beberapa saat setelah kalimat itu terucap, denyut nadi Genta menghilang. Peralatan yang dibawa sang dokter tidak cukup memadai untuk menyelamatkan Genta, dan banjir yang melanda kota ini membuat semuanya semakin buruk, Genta tak akan bisa dibawa ke rumah sakit. Nesa masih memeluk tubuhnya. ”Andai tadi aku tak mengajaknya bertemu dibawah deras hujan, andai aku tak begitu lama merespon saat dahan itu menimpanya, tentu Genta tak akan jadi begini.” Nesa menumpahkan tetes-tetes dari kelenjar lakrimalnya. Ia terus menyalahkan diri atas semua yang terjadi kepada Genta sore itu.

*bersambung*

Kamis, 03 Januari 2013

dulu dan kini

aku tergugu beku
kau mematung terpaku

aku tertatih ringkih
kau malah ikut merintih


saat itu kau seiring
sekarang kau menggiring


aku lagi berteriak
kau mendesah muak

kau pergilah
aku lelah