Sabtu, 29 November 2014

Mau Membangun

Persamaan adalah salah satu kekuatan kita. Kita berjalan perlahan ketika waktu belum mengizinkan sampai tiba saatnya kita bisa saling mengungkapkan. Kita tahu ada arti di setiap lirik mata, kita sama-sama mengerti. Tapi kita mencoba menahan hati agar tak saling menyakiti, sebelum waktunya. Ketika orang-orang mencinta lewat gestur dan dialog mesra, kita menengadah mengharap dipertemukan oleh-Nya. Kita berbagi cerita tanpa saling bertatap muka. Memberikan perhatian secukupnya karena memang belum saatnya kita mencinta, cukuplah mendamba. Semoga nanti kita tetap dipertemukan, ketika kita sudah terlalu mencintai Tuhan kita satu sama lain yang akan semakin menguatkan kasih dan iman kita. Mari membangun rasa dan bersabar. Jika Allah mengizinkan maka sejauh apa pun kita pasti akan dipertemukan dalam majelis yang lebih indah :)

(Shubuh tadi setelah membuka tulisan-tulisanku tentangmu di buku catatanku)

PS: Tulisan ini telah tertuang dalam tweet pada @tancha_dewangga tadi pagi

Thanks For .....

Thanks for being you
Thanks for being a beauty little girl
Thanks for loving him much more than i do
Thanks for giving him those presents that I can never afford
Thanks for joking so much with him
Thanks for telling me the truth about me
Thanks for making me know how much I ignored him for a long period
Thanks for taking him away from me
Thanks for making him love you this much
Thanks for giving me the best heartbreak ever
Thanks for making me realize the time to say goodbye and make a new hello
Thanks for being you

(For you, the one which wouldn't even like if your name going to be written in here, my second world)

Kamis, 27 November 2014

Tiba-Tiba

Ketika saya sedang berbaring mengenang cerita
Tiba-tiba guntur besar menggelegar
Lalu tiba-tiba angin kencang bertiup
Tanpa kusadari ternyata langit telah begitu kelam
Dan tiba-tiba hujan tumpah tanpa gerimis permisi
Tiba-tiba tercurah melimpah bernada riuh rendah
Memantul-mantul di atap
Mengetuk-ngetuk
Beberapa kali guruh susulan bergemuruh lagi
Setelahnya, jalan kecil itu sudah tergenang air coklat sematakaki

(ditulis di suatu senja kelam diiringi guyuran air langit yang mencekam)

Ketika Rasa

(Nasihat utk diri sendiri, sodara, sahabat dan temen2)

Ketika Rasa...

Ketika rasa untuk bertemu dengannya begitu bergejolak ...
Tetapi iman tetap mengatakan tidak untuk menemuinya karena dia bukan kekasih halalmu ...
Di situlah cinta Allah kepadamu mulai mekar ...
Ketika rasa untuk memilikinya semakin besar karena ketakutan dia akan dipersunting orang lain tapi kita belum siap datang melamar lalu kita menahan diri untuk tidak memberinya harapan yang tak jelas ...
Di situlah Allah semakin memelukmu dengan kasih sayang ...
Ketika dia yang begitu dipuja akhirnya mendapatkan pasangannya tapi sayang itu bukan engkau ...
Namun engkau tetap kuat dan yakin Allah akan memberimu pendamping terbaik ...
Di situlah Allah mendengar do’amu dan berjanji kepadamu untuk memberimu yang terbaik pada saatnya nanti ...

Semua rasa, semua cinta, dan semua kecewa jika Allah sandarannya, kau tak akan pernah kehilangan apapun. Kau justru akan semakin dekat dengan Nya dan Dia akan semakin ingin memberimu yang terbaik ...

Semua tergantung padamu, mau percaya pada janji Allah atau mau menuruti nafsu untuk mendapatkannya dengan jalan tak halal?
Setiap jalan adalah pilihan dan tentu setiap pilihan punya konsekuensi dunia dan akhirat yang berbeda ...

#copas_dari_setia_furqon_kholid
#G0011033

Rabu, 26 November 2014

Mencumbu Bisu

Kami menyulam rasa tanpa suara
Lirikan mata dan sungging tipis menjelma kata
Suatu kali mencoba bercerita
Kali lain bahkan segan memandang muka

Penasaran tak terelakkan
Apakah dia rasa yang kurasakan
Apakah kami bahkan dalam satu pengertian
Entah kutemukan jawabnya kapan

Sekarang saja aku bahagia
Hanya melihat dia di ujung sana
Kuraba senyumnya dengan picingan mata
Merasa-rasa benarkah adanya

Mari biarkan kisah ini berjalan
Tanpa ucapan tanpa ikatan
Biar hati kita yang punya jawaban
Hingga tiba waktunya terungkapkan

(Ditulis di pagi dingin berselimut sisa hujan November)

Angin dan Hujan (Tere Liye)

Angin dan hujan

Kenapa ada angin?
Agar orang-orang tahu kalau ada udara di sekitarnya..
Tiap detik kita menghirup udara, kadang lupa sedang bernafas..
Tiap detik kita berada dalam udara, lebih sering tidak menyadarinya.
Angin memberi kabar bagi para pemikir
Wahai, sungguh ada sesuatu di sekitar kita.

Kenapa ada hujan?
Agar orang-orang paham kalau ada langit di atas sana..
Tiap detik kita melintas di bawahnya, lebih sering mengeluh..
Tiap detik kita bernaung di bawahnya, lebih sering mengabaikan.
Hujan memberi kabar bagi para pujangga
Aduhai, sungguh ada yang menaungi di atas.
-Tere Liye

"Sungguh penciptaan langit dan bumi itu lebih besar dari penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak memahaminya." (QS. Ghafir: 57)

“Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. (QS. Ibrahim: 34)

Selasa, 25 November 2014

KataBertaut

Medan terjal berbatu
Medan licin berlumpur
Lembah yg membekukan aliran darah
Nafas yg menggumpal putih
Mie instan yg menghangatkan
Embun yang menyambut di pagi hari
Tanaman panjang umur yg menyapa dgn hijau raganya
Patahan ranting yang menyangga raga lelah bantu melangkah
Oh, ternyata ragaku pun meronta, inginkan seteguk air yg berasal dri mata air di shelter dua
Tubuh dataran rendah ini mulai megap, menggapai oksigen yang terasa kian pengap
Ditambah sepasang kaki manja yg sudah merengek, seakan jiwa sudah ingin berpisah dgn raga
Namun semua terbayar lunas ketika lempeng bertanda puncak itu tampak
Sontak langsung ku meraung, melepaskan semua beban yg ada
Kepala terdongak menatap langit yang seakan kian dekat
Oh Tuhan, kenapa baru sekarang aku sadar kalau langitmu sungguh tiada bernoda?
Kenapa begitu terlambat kusadari betapa kecilnya diriku di mata-Mu?
Ah sudahlah, tiada guna meratapi penyesalan itu. Aku sdh terlanjur terpukau dgn keindahan lain, sebuah nelangsa dgn warna biru di tengahnya
Betapa keindahan dunia itu merupakan anugerah-Mu, dan mataku yang mampu menyaksikannya ini adalah karunia-Mu

P.S: Entah bisa digolongkan puisi entah bukan, tulisan ini saya (baris genap) buat bergantian bersama Ihsan Rasyid Yuldi (baris ganjil) dengan inspirasi foto saya (nomor dua dari kanan) bersama kawan-kawan di tengah pendakian Gunung Dempo, Pagaralam, Januari 2013 silam yang ditemani hujan dan tanah basah.

Kamis, 06 November 2014

Masihkah Peduli?

Kau benar-benar mundur perlahan, tanpa bisa kurabarasakan. Kau mengisi harimu dengan dia yang kau bilang selalu ada. Aku tahu kau butuh seseorang yang selalu ada untukmu seperti aku dulu. Dan kau juga tahu aku tak bisa lagi seperti dulu. Kau berjalan bersamanya dengan perlahan tapi pasti. Satu demi satu kenyataan mulai terkuak kini. Ketika kau tak lagi menyapa lima, ketika angkamu mulai berubah aku tak sadar. Sekarang aku yang tolol ini baru tahu yang sesungguhnya. Apa yang terjadi saat aku berujar silakan pergi. Kau sungguhan pergi tanpa tendensi untuk kembali. Kau sungguhan mundur teratur. Kemudian tanpa sedikit pun kumerasa, kau sudah berbahagia bersama dia di sana.

Aku tahu, kau bisa jadi tidak bermaksud menutupinya. Aku saja yang waktu itu kurang peduli.

Lalu sekarang, apakah aku masih peduli? Saat kau menyingkap semuanya, saat kau menjadi jujur, saat kau ingin menunjukkan pada dunia bahwa kau baik-baik saja. Ya aku peduli.

Semoga peduliku detik ini adalah peduli yang baik. Syukurnya degup di organ dada kiriku tak sekencang minggu lalu. Tak lagi ia teraba menggelegak dari luar, hanya sekadar gelenyar-gelenyar pelan yang sedikit mengusik. Membisikkan kenyataan padaku, memaksaku tetap peduli pada angan yang waktu itu terlalu tinggi kugantungkan. Supaya aku tetap peduli.

Di tempat ini aku bercerita, menitipkan kisah-kisah dan doa-doa pada langit. Hanya saja pintaku akanmu tak tersangkut baik, di atas sana ia bergoyang-goyang disenggol angin bersama desaunya yang entah kenapa waktu itu sangat memekakkan telinga. Hingga tiba suatu detik angan itu melayang terbang menjauhiku yang masih berdiri memandang awang. Melambaikan tangan dengan ringan setelah merasa begitu lama diabaikan. Dan aku masih peduli.

Angan itu kini ditukar dengan asa lain, yang kugantungkan pada tempat lain yang lebih tinggi.  Kuantarkan ia ke atas pelan-pelan dan hati-hati. Kuikat dia di tepi langit agar Dia bisa selalu melihatnya, agar asaku kali ini tak menjadi sia-sia. Di sana kutitipkan juga doa untukmu agar diberikan yang terbaik untuk hidupmu kini dan nanti. Agar kau temukan bidadari surgamu di dunia tanpa perlu menggadaikan imanmu karena aku disini masih peduli.

Terimakasih.

Rabu, 05 November 2014

Surat Untuk Bumi

Selamat pagi, Bumi.

Subuh tadi aku disapa Debu, yang menggandeng Angin. Kau tahu foto? Gambar yang merekam kenyataan di masa lalu.

Sebelumnya Angin menunjukkan padaku bagian kecil foto itu, membuatku tak bisa menerka apa yang menjadi latar belakang. Entah kenapa aku merasa dibodohi ketika aku tahu akulah yang sebenarnya bodoh. Angin menjelma topan yang memporakporandakan pandanganku akanmu. Setelahnya, aku menyusun kepingan dusta yang ia serakkan diatasmu.

Aku tak menyangka serpih-serpih kenyataan menjadi mengerikan ketika kita tahu monumen apa yang menebarkan serpihan itu. Bangunan besar yang hanya kulihat kerikilnya saja. Aku tersenyum. Benar katanya bangunan itu seindah mawar, yang durinya menusukku tiap coba menyentuh.

Bumi, untuk apa dia menutupinya jika saat itu ia merengkuh Debu, aku tak akan peduli. Ketika ditutup lalu aku menyingkap tabir itu sendiri, kenyataan yang kuperoleh menusuk lebih tajam, lebih dalam.

Bumi, dalam diamku organ dalam dada kiriku berdenyut kencang. Aku bisa merasakan degupannya tanpa perlu menyentuh. Napasku jadi satu-satu.

Bumi, aku lelah menggapai Angin. Ia melulu berlalu dihadapanku tanpa menoleh, bercakap dengan Debu membentuk kabut putih yang makin mengaburkan pandanganku. Aku Langit yang harusnya bisa menyaksikan semua dari atas kini tak berdaya oleh kabut yang mereka ciptakan.

Bumi, bisakah kau melihatku? Karena pandanganku terhalang masa lalu. Mungkin kau bisa karena kamulah sang netral yang menikmati fenomena di atasmu.

Bumi, sambangi aku, sapa aku dengan uap asin lautanmu. Supaya aku bisa menggumpalkan awan jadi gelap dan menjelma rintik gerimis. Lalu guyuran hujan yang membasuh kabut itu dalam semalam. Agar esoknya aku pun bisa memandangimu dengan tersenyum lagi. Agar aku membiaskan biru yang cantik lagi. Agar aku bisa menikmati cokelatnya daratan, hijaunya hutan, birunya lautan, dan riuhnya perkotaan. Agar aku lupa kenapa mataku sempat terkaburkan.

Bumi, segera datangi aku, aku rindu.

Dari Langit

Selasa, 04 November 2014

Jangan Marah

Menikmati denyutan penuh semangat di dada kiri. Bernapas, hirup dari hidung, keluarkan pelan dari tenggorokan seperti melafalkan huruf 'kho' dengan bibir tetap tertutup. Tersenyumlah, sunggingkan bibir hingga otot pipi terangkat. Berdoalah dengan lembut, keluarkan smiling voice seperti yang diajarkan mbak-mbak announcer SPI FM.

Bernapas. Tersenyum. Nikmati. Sabar. Jangan marah :)

Muhasabah setelah nyeri

Ya Allah, terimakasih telah menjagaku, melindungiku, menghindarkan hambaMu yang lemah ini dari palung kehinaan. Engkau bangunkan aku dari angan-angan tak berkesudahan, Kau tampar aku dengan kenyataan yang selama ini aku abaikan. Engkaulah Sang Maha, yang tak akan pernah meninggalkan hambaMu meski aku sempat berada jauh dariMu :')

Nyeri

Saya mengaku maju
Saya bilang sudah
Saya mau menyerah
Berpasrah
Berserah

Tapi saya masih nyeri
Tapi dada masih sakit
Tapi kepalan masih tergenggam

Ya Rabb bukakan hatiku
Ya Hadii mudahkan jalanku
Ya Allah aku ingin menerima
Ya Tuhan aku ingin melepas

Aku ingin mencintaiMu sepenuhnya
Aku ingin menyerahkan hatiku padaMu
Aku tak ingin menggantungkan harapan terlalu tinggi pada makhlukMu
Aku ingin melepaskan emosi hanya dengan mengingatMu

Bismillah, kuusahakan ikhtiarku hanya untuk menggapai ridhoMu, meraih cintaMu. Aamiin :')

Senin, 03 November 2014

Ta'aruf

Baru saja tadi sore kami menerima materi Kajian Muslimah yang bertema "Yuk Kenalan dengan Ta'aruf". Eh, malamnya datang kabar ada seseorang mengajak berkenalan, bahagia tentunya. Ini adalah kesempatan menjalin silaturahmi dengan orang baru, pikirku.

Satu menit, lima menit, setengah jam, satu jam, dua jam, dia belum juga menampakkan keberadaannya. Aku masih menunggu.
Akankah ia memulai perkenalannya?
Ataukah aku harus berdewasa dengan memberi salam lebih dulu?
Tapi bukankah sebelumnya aku sudah pernah memulai percakapan? Meskipun itu menggunakan akun lain.

Pikiranku menggumamkan pertanyaan-pertanyaan retoris yang semua orang tahu apa jawabnya. Bagaimana seorang bijak penuh kasih menanggapinya adalah rahasia umum yang tak perlu lagi dipertanyakan. Hanya mungkin rasa ingin tahuku terlalu tinggi. Bisa jadi malam ini ia masih sibuk sehingga tak sempat menyapaku yang kurang kerjaan ditengah gulita. Aku tunggu sampai besok.

Aku tunggu sampai besok. Kalau setelah kuliah terakhir ia tidak muncul, aku akan menyapanya duluan. Untuk yang kedua kali. Supaya terjalin silaturahmi yang baik diantara kami. Karena aku tak pernah menyukai suasana dingin sebab salah paham. Siapa tahu kami bisa jadi sobat.

Semoga :)

Sabtu, 01 November 2014

Apa kabar langit? Masihkah ia biru?

Aku sungguh rindu biru yang membentang luas setiap kepalaku tertengadah. Disini tak mudah lagi menemukan biru itu, ditambah dengan fenomena asap putih di kota ini. Lebih dari sebulan sudah asap tersebut menghalangi pandangan. Jarak pandang menyempit, mata perih, nafas sesak, tenggorokan gatal, dan langit tak pernah lagi tampak biru. Biasanya juga tak biru sih, tapi mentari yang biasanya begitu terik hingga ketika mendongak maka kelopak matamu akan segera terpicing, merapat, melindungi dua bola yang sangat sensitif itu, kini tampak melemah, berwarna jingga menuju merah.

Tapi ternyata masih ada biru di seberang pulau ini. Biru yang indah menyejukkan. Biru yang sangat kurindukan.

P.S. Foto langit Bandung Barat, kiriman seorang kawan