Senin, 06 Mei 2019

Paket dari Pak Sukab

Halo, Langit.
Sudah lama aku tidak bercerita.

Hari ini ada cerita menarik yang harus segera kusampaikan padamu. Sepulang dari rumah sakit tadi aku menerima kiriman paket berwarna cokelat dari Bapak Kosku. Bingunglah aku, kurasa sudah dua bulan lamanya aku tak pernah lagi belanja daring. Dan lagi, ada kepala kuda menyapaku di bagian depannya. Apakah kuda itu berkorban demi mengantarkan paket ini padaku? Hampir lima bulan lamanya sejak orang itu menulis surat yang terlampir didalamnya hingga akhirnya sampai kepadaku hari ini. Apakah mungkin? Tetapi mungkin tidak, terlalu drama.

Hari ini hari pertama Ramadhanku di pulau terpadat di Indonesia, kegiatanku sore tadi cukup padat, sehingga paket itu baru sempat kubuka setelah surya tenggelam, ketika biru bergurat jingga telah menjelma menjadi hitam. Teriring hujan.

Panjang perjalananku demi membuka kotak berbalut plastik itu. Kubuka pelan-pelan agar kertas pembungkus itu tidak robek, agar bisa kugunakan lagi untuk fungsi lain. Bermodalkan gunting kasa, aku meniti sela-sela selotip disekeliling kotak dengan teliti. Pelan-pelan. Setelah akhirnya terbuka, aku terkejut. Didalamnya terdapat kotak biru dengan plastik tembus pandang ditengahnya, membuatku berpandangan dengan perempuan berbaju putih yang sedang menganga. Memangku sebuah buku yang juga mengalihkan perhatianku.

Keterkejutanku belum berakhir disana ternyata. Aku mendengar bunyi gemerincing di dalam kotak biru itu. Kubuka lagi deretan selotip disekitarnya. Kuajak keluar perempuan menganga itu, kuangkat buku tadi dari pangkuannya. Lalu aku menemukan kotak cokelat kecil, sumber bunyi gemerincing tadi dan sebuah gulungan putih di sudut-sudut kotak. Ternyata bunyi itu datang dari pecahan lonceng angin. Sedih. Tempurung yang tampak seperti bola golf itu pecah berkeping-keping. Baiklah, akan ada agenda memperbaiki lonceng itu.

Benda terakhir yang kubuka adalah gulungan putih yang tampaknya terdiri dari beberapa lembar kertas. Seperti surat. Dan memang surat rupanya. Dari lelaki tua yang sepertinya sering kudengar namanya. Sukab, katanya. Lelaki ini mengaku pikun tetapi ingat dengan jelas isi surat yang pernah dikirimnya pada seorang perempuan. Katanya ia pernah mengerat senja, mengirimkannya pada perempuan itu. Hah. Ada-ada saja. Mana mungkin senja yang selama ini aku pandangi itu sudah dikeratnya? Kalau iya, seindah apa lagi senja itu sebenarnya? Hai Bapak Tua, tak usahlah kau banyak berlagak, hal itu tidak mungkin. Lalu ia bercerita tentang seorang pemuda yang ia tak tau namanya, padahal ia mengenang lekat nama perempuan yang dikiriminya surat berdekade lampau, dasar Tua Bangka pilih kasih.

Aku tak tahu pula siapa pemuda yang berkali-kali Pak Tua itu sebutkan dalam suratnya. Bolehkah aku memprediksi? Ah, tapi tak bolehlah aku terlalu banyak mengira-ngira. Biarlah kuterima saja dulu apa kata pemuda itu kepada Bapak itu. Aku masih menikmati senja, langit, angin, hujan, gunung, lautan, sendiri ataupun berdua. Belum banyak kurasakan perbedaan. Apakah karena jiwaku masih kanak-kanak? Aku kurang dewasa. Masih plin plan. Penuh keraguan. Padahal umurku sudah hampir seperapat abad. Malu rasanya. Namun memang beginilah aku sekarang. Tak tahu bagaimana nanti.

Tapi, ya, terima kasih banyak sekali kuhaturkan untuk si Bapak Tua. Isi surat darinya sedikit membuatku terharu. Akan kusimpan baik-baik perempuan menganga yang dia kirimkan untukku ini. Bolehlah kupanggil dia Jingga. Sudah lama aku tak bercerita dengan boneka, atau ponsel, atau benda-benda mati lainnya. Kenangan masa kecil penuh kesendirian. Puncak kepribadianku sebagai introvert mediator. Akan kucoba mengaktifkan lagi kreativitasku yang sempat redup. Dikelilingi jalan buntu.

Sekali lagi, terima kasih sudah mendengarkan celotehku tentang hadiah dari Pak Sukab, Langit.

Di bawah langit mendung, 6 Mei 2019.