Selasa, 27 Januari 2015

Cerita dari Sahabat

(Baru saja aku membongkar dropbox-ku lalu menemukan satu file ini. Tulisan yang kubuat lebih dari sebulan lalu, ketika aku sedang sibuk melarutkan diri dalam cairan baru. Manis namun ironis, memurutku. Haha)

Hari ini sobatku membawa berita gembira yang membuatku terhanyut dalam euforia. Seringai lebar tak hilang-hilang dari wajahku sepanjang ceritanya. Katanya orang itu sudah menyukaiku dari awal mengenalku. Katanya ada sesuatu yang berbeda dariku, bagus katanya untuk dijadikan istri. Aku tersipu, masih separuh tak percaya. Aku juga menyukainya, tertarik padanya sejak pertama aku tau siapa dia. Aku memperhatikan gerak geriknya mencari tahu siapa dia, diam-diam tanpa ada yang tahu. Ternyata dia pun begitu. Dia menyimpan perasaannya untuk dirinya sembari terus berdoa.

Tidak pernah ada yang tahu kapan suatu perasaan akan datang. Yang kita tahu, ketika Allah ingin mempertemukan dua hati, Ia akan menggerakkan keduanya, bukan hanya satu saja. Tak ada yang tahu bagaimana rasa itu tercipta, yang kita tahu hanya gelenyar pelan yang merayap indah di dada. Kami sama-sama memendam rasa sejak lama, meski tidak saling berbicara. Kami saling mengenal bahkan hidup dan bercerita dalam dunia yang sama meski jarang saling menyapa. Kami sama-sama pemalu, entah karena pada dasarnya begitu atau karena perasaan yang menahan kami dan membuat kami segan berkata. Tanpa perasaan ini mungkin aku akan berbicara biasa saja dengannya, memanggilnya, mengajaknya bercerita, seperti teman-temanku yang lainnya. Tapi karena ini aku takut satu kalimatku dapat membuatnya menyadari apa yang kurasa. Aku malu. Karena aku tidak tahu.

Cerita teman dekatku bahwa ia terus mencoba memperbaiki dirinya membuatku tersentuh. Aku disini masih saja terhanyut dalam masa lalu, cerita-cerita lamaku, sementara ia terus bertransformasi menjadi baru. Sampai saat menulis ini aku masih tersenyum, mengingat-ingat gumpalan perasaan yang kupintal sejak entah kapan. Yang sekarang macam terjawab dengan pergerakannya. Hati yang selama ini kusimpan sendiri mulai mau menduplikasi kunci. Karena sekarang tak mau lagi terbawa arus perasaan palsu, aku mencoba membatasi jumlah kunci yang kutempa. Menyisakan satu hanya untuk dia yang nanti datang menemui Papa. Memintaku menjadi pendampingnya sampai akhir waktu kami di dunia, dan semoga bertemu pula di akhirat-Nya.

(Madang, 8 Desember 2014)