Rabu, 27 November 2013

Mbah

“Assholaatu khoirum minannauum..”

Aku membuka mata. Dalam sekejap bayangnya terlintas di benakku. Ajaib bukan? Satu kalimat mampu menghadirkan lagi ia yang telah pergi. Karena memang ia bukan pergi untuk dilupakan, melainkan untuk dikenang. Mbah adalah orang yang sangat kucintai karena aku tak mampu membayangkan hidup bersama orang tua yang tega meninggalkanku di depan pintu kiosnya setelah aku lahir. Katanya aku bayi yang bersemangat, suara tangisku mengalahnya ributnya pasardan adzan di pagi hari.

Nuansa subuh membuka kembali kilasan memori yang rapat kusimpan di lekuk serebrum yang tak tejangkau. Suara Mbah melafalkan ayat-ayat suci tak pernah bisa kulawan, bahkan setan pun segan pada beliau yang tua dan berwibawa. Masih dengan mukenah putih aku mendekat padanya setelah menyelesaikan kewajibanku.

“Mbah, hari ini ajarin Hana buat opak lagi ya?”

Beliau tidak menyahut, hanya tersenyum, mengelus kepalaku, kemudian Mbah melanjutkan bacaannya. Aku selalu mengagumi ketaatan Mbah pada Tuhannya dan kepeduliannya pada nasib cucu yang kadang lupa agama ini.

Aku selalu ingat kenangan saat Mbah panen singkong. Kebun 2x3 meter pesegi yang dibelinya ketika aku berusia 7 tahun selalu dipanen periodik, sehingga kami selalu punya cadangan singkong musiman. “Singkong tidak cepat basi kalau belum dimasak. Mbah juga tidak perlu beli bibit lagi, mereka tumbuh sendiri,” kata Mbah ketika kutanya mengapa tidak memilih tanaman lain.

Pernah aku pulang tengah malam, diantar temanku sampai ke depan rumah Mbah. Aku tahu biasanya Mbah sudah tidur dan baru bangun lagi sekitar jam 3 pagi nanti. Hari itu aku berganti baju di WC umum lagi, mengganti baju terusan yang dibelikan Mbah dengan kaos longgar dan hotpants hadiah dari pacarku. Dan aku baru sadar kalau aku lupa membawa kunci. Dalam keadaan setengah mabuk aku memanggil Mbah. Bergegas beliau membuka pintu setelah mendengar suara cucu kesayangannya.

Mbah hanya berdiri mematung sambil memegang gagang pintu. Matanya menatap ragu kearahku, lalu memandangi temanku.

“Saya mengantar Hana karena takut dia pingsan di jalan, Nek. Maaf, saya izin pamit duluan.” Lalu ia pergi setelah melihatku mampu berdiri tegak sendiri.

Mbah masih belum mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Di bawah keremangan lampu kuning 5 watt yang menjadi penerang pelataran rumah kami kulihat bulir bening turun membasahi pipi keriput Mbah. Aku tersentak, kupeluk beliau erat sambil memohon maaf berulang kali. Napas Mbah mulai tidak beraturan dan kurasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

“Kamu... benar Hana?”

Kalimat itu masih terngiang di telingaku. Seolah Mbah merasa sangat sakit hanya karena mengucapkannya.
Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Yang kutahu ketika subuh aku terjaga di kamar tidur Ustadzah Latifah, orang kedua yang disayangi Mbah setelah aku. Wanita yang sering mengisi pengajian di masjid yang dihadiri Mbah. Tak ada hal lain yang kupikirkan selain menangis. Aku merasa sakit entah karena apa. Raunganku mengalahkan suara adzan. Seperti ketika aku bayi.

“Hana, ayo berangkat. Santri kita sudah menunggu.”

Suara Ustadzah Latifah mengembalikanku ke dunia nyata. Setelah merapikan diri di cermin, menatap wajah yang bersinar dengan gamis dan jilbab berwarna pastel, dengan nama Allah aku siap pergi ke pesantren.


(hampir) diikutsertakan dalam #FF2in1 edisi 27 November 2013

Harta Karun

 “Sudahlah, bubarkan saja klub ini!”

“Tenang Ketua, bukan sekali kita mengalami hal seperti ini. Anggap saja ini tradisi tahunan, senior juga pernah bilang kan?”

Aku terhenyak. Semua sendiku terasa lemas. Pikiranku melayang ke ruang rapat tahun lalu, dengan percaya diri aku mencoba meyakinkan teman-teman seangkatan dan para senior untuk memilihku. Kubilang ini harapanku, mari jadikan ini harapan kita bersama juga. Bukankah klub ini juga punya tujuan yang sama? Sekarang entah kenapa aku merasa putus asa hanya karena masalah dana. Aku yang selalu optimis mendadak pesimis, harapan memang membuat semua orang menyala lagi.

Feli benar, aku terlalu terfokus dengan ekspektasi hingga nyaris terobsesi. Harapanku tak murni lagi karena aku sekarang merasa sendiri.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan rapat. Para junior tampak tertunduk ketakutan. Apakah aku tadi begitu menyeramkan? Ah, iblis memang telah merasukiku.

“Ketua, maafkan ketidaksopananku tadi. Padahal aku tahu jelas kalau Ketua pasti memiliki alasan untuk berkata seperti itu, tapi aku malah menyamakannya dengan tahun lalu.”

“Oh, tidak. Kau tidak salah, aku yang salah. Maafkan aku yang putus asa ini.”

“Ketua jangan putus asa, kami akan berusaha lebih keras lagi besok. Klub Kerajinan Tangan tidak boleh ditutup, aku hanya merasa bahagia disini. Membuat hasta karya bersama teman-teman dan senior sangat menyenangkan.” Ah, bahkan Si Kecil Lusi yang biasanya hanya diam pun berani bicara. Ketua macam apa aku ini?

“Ketua, dengan 35 orang anggota kita pasti bisa. Kami berjanji tidak akan lalai lagi. Maafkan kami , Ketua,” gadis berambut pendek itu tampak memelas. Ia memegangi tangan teman di sebelahnya.

Aku lupa bahwa klub ini berdiri karena ada banyak kaki yang menopang. Aku terlalu sombong karena memikirkan diriku sendiri. Alexa yang bandel pun menyadari keberadaan 34 orang lainnya, aku memang telah dibutakan oleh rasa arogan sejak kepanitiaan Pameran Budaya ini dimulai.


“Maaf, aku sudah khilaf. Ayo bekerja! Tanpa biaya pun kita bisa berkarya. Harta karun klub ini adalah kita!”

diikutsertakan dalam #FF2in1 edisi 27 November 2013

Senin, 25 November 2013

Kiblat (?)

Setiap orang punya kiblat masing-masing untuk berkembang dan berkarya , selain kiblat agamanya. Begitu pula saya. Ada seorang manusia biasa yang saya jadikan panutan untuk terus berkembang. Seorang senior yang luar biasa, yang saya favoritkan sejak kelas enam sekolah dasar.

Kenapa tiba-tiba saya membahas ini? Karena saya baru menyadari bahwa secara tidak sadar saya selalu membuka website beliau di salah satu tab saya setiap kali menelusuri browser. Bahkan sekarang.

Kali ini saya telah mengungkap satu hal yang selama ini belum saya ketahui tentang beliau, ternyata beliau violinist yang sangat diakui di klub mereka. Setelah mengungkap prestasi penulisan, jurnalistik, sosial, bidang musik pun ternyata tak lepas dari jangkauan beliau. Saya salut, sejak masih tinggal di pulau kecil hingga sekarang pindah ke kota besar asal kelahirannya dia selalu bisa bersinar. Saya selalu berharap mampu memberanikan diri menghubungi beliau untuk bercerita, meminta pendapat dan motivasi agar saya tidak lagi merasa inferior setiap saya masuk ke lingkungan baru.

Beliau yang muda dan berjaya. Beliau yang bisa menyala di lingkungannya.

Saya juga harus bisa!

Kamis, 21 November 2013

Kelabu #2

Orang-orang yang mengaku bersih itu sebenarnya busuk, hatinya kelam penuh jelaga. Mereka selalu punya dua wajah. Begitulah yang Namira yakini sampai detik ini. Ia tak pernah bisa mempercayai siapa pun, bahkan orang terdekatnya. Keluarganyalah yang membuatnya benar-benar yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti. Semua semu, semua abu-abu.

Tahun ini ia memulai cerita baru perjalanan hidupnya sebagai mahasiswa. Betapa agungnya sebutan itu, MAHASISWA. Seakan hendak menunjukkan kuasanya terhadap Indonesia, terhadap dunia. Mahasiswa adalah mereka yang berpendidikan, yang terlatih, yang mengubah peradaban. Hebat. Setelah itu mereka menjadi petinggi di zaman baru untuk kemudian dilengserkan lagi oleh pemuda di masa itu yang muak dengan perilaku tetua mereka. Begitulah siklus yang terus berulang di negeri ini. Pemuda yang berdarah panas dan berkepala dingin berubah menjadi dewasa yang ternoda oleh nafsu dan keserakahan.

Namira tidak mau menjadi seperti pendahulunya. Ia ingin menjadi pelopor perubahan yang sesungguhnya. Namira yang paham kelamnya dunia pemerintahan lewat keluarganya ingin menelusup kedalam sistem. Ingin menelaah lebih dalam, mencari ujung benang yang terlampau kusut tergulung. Dan langkah pertamanya sudah benar, masuk ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Ia ingin membenahi negaranya. Memperjelas batas antara hitam dan putih.

Kamis, 14 November 2013

Kelabu #1

Menurutku, tak ada makhluk yang benar-benar hitam selain iblis dan tak ada makhluk yang benar-benar putih selain malaikat. Kita manusia memang berdiri mengambang diantara kedua warna, terombang-ambing di gelombang abu-abu. –Namira D.

Sekelompok warga tampak merubungi sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. Aku menatap nanar kearah jasad yang terbujur kaku di atas aspal hitam, di bawah tubuhnya tampak genangan merah pekat. Lagi-lagi korban tabrak lari. Dunia tak pernah sebersih yang kita harapkan. Tindakan kotor oleh orang-orang kotor terjadi setiap detik di setiap belahan bumi. Termasuk saat ini, di depan mataku.

Aku tinggal di salah satu kota besar di Tanah Air tercinta ini, kota dengan komplotan bandit dengan koordinasi luar biasa apik. Bandit-bandit yang tidak hanya bercokol di gang-gang gelap di bawah jembatan, tetapi juga di meja-meja hijau dan kursi tinggi pemerintahan. Kisah ini bercerita tentang kota berisi makhluk yang menyebut dirinya manusia berhati iblis. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Rupiah menjadi hal yang begitu berharga. Beberapa rela mengamburkannya demi kekuasaan, memutuskan untuk menyiksa banyak jiwa yang lapar supaya batinnya terpuaskan dengan limpahan kertas merah bergambar. Kebobrokan kota ini sudah mendarahdaging. Pemimpin tak lagi menjalankan fungsinya yang sebenarnya. Mereka bukan melayani, mereka mencari pelayan.

Lagi-lagi koran memberitakan kerusuhan. Pemilihan pemimpin yang berantakan. Rakyat mengamuk menuntut keadilan. Para bandit terbahak senang, menertawai warta yang memberitakan penangkapan gembong besar. Padahal yang tampak diborgol dalam foto itu hanya cecunguk bodoh yang rela menerima gaji kecil meski harus mempertaruhkan nyawa, demi membeli susu dan membiayai sekolah anaknya.
Randi mengerenyitkan keningnya, letih menjadi penegak keadilan yang terlalu sering melihat ketidakadilan oleh kalangannya.


***

Kamis, 11 April 2013

Untuk Kalian


Palembang, 12 April 2013
Untuk Keluargaku


Setelah sekian lama tak bercerita, kali ini aku akan berkisah tentang kita.

Masihkan kalian ingat ketika malam itu (04/04) kita membentuk lingkaran kecil beratapkan langit malam dan cahaya yang berkilat silau sesekali? Delapan anak manusia berkumpul mencoba menyingkap rahasia yang harusnya bukan rahasia. Menerka-nerka dimana letak ujung benang merah yang terlampau kusut bergelung melilit keluarga kecil kita, membuat sesak karena terlalu erat. Satu demi satu pertanyaan terlontar dari lidah kita yang tanpa tulang. Kejujuran adalah tujuan akhir yang sepertinya sangat ingin kita capai malam itu. Tapi aku sungguh telah salah mengira, pengharapanku tersemat di tempat yang terlalu tinggi. Ternyata kita memang belum sedekat itu untuk mampu sepenuhnya berbagi.

Aku sungguh merindukan kita yang saling melengkapi, menutupi kekurangan yang satu dengan kelebihan yang lain. Kita yang dengan mudah mengungkap perasaan secara gamblang, tanpa ada rahasia, tanpa ada dusta. Aku mencintai kita dengan cinta yang begitu dalamnya hingga aku tak mau menerima situasi yang melingkupi saat ini. Keadaan ketika aku dan kalian terasa tak dekat lagi. Ada kotak kecil di dalam lingkaran kita.

Aku bukan orang yang terlalu perasa, tapi aku bukan pula orang yang tak peka. Kotak kecil itu sedikit banyak mengusik perhatianku. Namun, tak pernah kuduga bila penghuni kotak itu ternyata lebih tak peka dariku. Mereka adalah tokoh yang berkeras meyakini bahwa bukan mereka yang salah, mereka tak merasa membentuk sebuah kotak yang telah nyata ada diantara kita, mengkambinghitamkan orang lain, menyalahkan keluarga.

Aku adalah orang yang mudah mengakui kesalahan dan sangat tak suka disalahkan ketika aku tak sedikit pun berbuat salah. Maafkan kalau kadang lidah dan jari-jariku terlalu tajam. Tapi memang itulah maksudku, sengaja mereka kuasah supaya mampu memberi setidaknya goresan kecil pada hati mereka yang tak peka, bila perlu aku ingin menyayatnya. Maafkan lagi kalau aku mulai menggunakan bahasa sarkastik, memisahkan mereka dari kita, sungguh geramku kadang tiba-tiba meraja. 

Mereka bilang kita yang terlalu mensugestikan diri, terus menerus merasa terbuang, merasa tersisih. Padahal sungguhnya kita hanya mencoba merangkul yang menjauh, mengingatkan kawan yang lupa. Padahal sungguhnya kita pun tak mau lagi peduli. Kabar yang menarik tak akan jadi menarik lagi jika apabila terlalu sering diulang. Bosan. Bahkan sejak kemarin (11/04) aku pun mulai menyukai keadaan ini. Mensyukuri keberadaan mereka diantara kita, membiarkan mereka terjebak dalam kotak kecil yang mereka ciptakan sendiri. Menertawakan segala keuntungan yang kita dapat sebagai benih dari keberadaan kotak kecil di dalam lingkaran kita.

Penghuni kotak itu bahagia dengan kebersamaan mereka, pun masih suka bersenang-senang bersama kita. Aku turut bahagia, kalian juga demikian kan? Kalau kotak itu merasa nyaman berada dalam lingkaran kita, mengapa tidak kita berikan pula kenyamanan bagi mereka? Toh, kotak kecil itu pula yang membuat lingkaran kita tercipta. Namun, kurasa mereka merasa perlu membayar pajak meski kita tak pernah meminta. Walaupun sebenarnya tak perlu, harus kuakui bahwa aku juga sangat menikmati upeti-upeti yang mereka berikan dengan senang hati. Haha.

Tapi ternyata beberapa hari lalu (08/04) satu dari kita sampai di ambang kemampuannya mempertahankan kesabaran. “Mengapa tidak kita habiskan saja cerita kita?”, katanya. Kupikir ada benarnya juga. Mengapa tidak kita tinggalkan saja keluarga kecil yang telah menjadi lebih kecil ini? Biarlah kita tetap berkumpul dalam lingkaran tanpa harus ada status menjerat kita. Belakangan ini aku pribadi merasa nama keluarga kita kadang digunakan dengan tidak semestinya lagi. Bukannya aku tak berterimakasih pada mereka yang menyatukan kita, tapi aku sungguh merasa jengah. Maafkan keegoisanku yang mungkin kini terasa begitu pekat.

Biarlah nama itu dipakai ketika kita pergi mendekati langit lagi, ketika kita bersama menjadi semakin dekat dengan Tuhan kita lagi. Di samping itu, biarlah kita terus bersahabat tanpa harus merasa berat, berkelakar tanpa merasa terbakar, serta berkasihsayang tanpa ada yang merasa terbuang.

Tertanda,
Yang merindukan Kita

Sabtu, 06 April 2013

ketika buntu ditambah ngantuk

setelah sekian lama nggak nulis di blog, rasanya kok gak enak ya.
asli gak enak banget loh. omongan doang gayanya mau nulis minimal 5 postingan setiap bulan, tapi buktinya nihil!
rasanya udah banyak banget loh ide-ide yang numpuk di kepala.
tapi kok pas mau nulis malah buntu jadinya. apa karena saya terlalu jauh memikirkan hal yang bagus-bagus saja? mungkin karena saya terlalu sombong kali ya. padahal kemanpuan nulis ya baru gini-gini doang. nilai bahasa indonesia pas SMA aja bobrok banget. lolol banget ya. saya ini ngakunya doyan nulis, suka nyastra, tapi realisasinya nggak ada. saya nih terlalu santai, saya sadar sih.
harusnya emang kayak gini, saya harus sempet-sempetin nulis tengah malem waktu saya nggak mungkin ikut kegiatan kampus atau kumpul bareng temen-temen keluar kosan.
jadinya pasti bakal lebih lah dari 5 postingan doang tiap bulan, wong dulu aja saya bisa kok. masa sekarang saya mau sok gak bisa. gak keren banget, ah.
sudahlah, sekarang saya mau fokus ke nulis. karena saya berharap banget bisa jadi lebihbaik, jadi terkenal, jadi cerdas dan mampu mencerdaskan orang lain lewat tulisan saya. saya tau saya sekarang masih bukan apa-apa. tapi semua orang yang masuyarakat sekarang kenal sebagai "orang hebat" itu dulunya juga pasti orang yang gak ada apa-apany atapi punya tekad kuat untuk ngebuktiin ke dunia kalo dia punya "apa-apa" yang bisa meninggikan derajat dirinya.
setiap manusia itu udah kodratnya untuk punya kekurangan, kalo gak punya kekiurangan mah namanya bukan manusia, tapiTuhan.
saya bukannya mau sok filosofis, tapi kayaknya memang itulah yang seharusnya sekarang saya lakukan.
saya memang tipe orang yang lack of confedence. saya ini mantan minderan yang udah berevolusi jadi anak yang gak tau malu., haha. meski sebenernya saya malu juga sih ngaku kayak begini.
saya yakin saya mampu lah menunjukkan kemampuan saya. saya harus bisa menyusun skala priorutas ketiika saya pounya banyak sekali kegiatan yang harus dikerjaa=kan.
saya sekarang tergabung dalam redaksi Medifka dan bsedang dididik oleh Sekolah BEM. idealnya sih seorang mahasiswa fk unsri boleh punya dua BO, tapi sayangnya barusan pengumuman hasil perekrutan tahap dua udah keluar dan saya alhamdulillah tidak lolos. tapi saya senang, karena saya kehilangan sesuatu yang tidak menginginkan saya, sementara mereka kehilangan saya yang sangat mengingnkan hal itu (ini akan dibahas di posting selanjutnya, insyaallah)

dari tada=i dsaya ngomong apa sih ya, haha. ngalor ngidul ngetan ngulon gak jelas saya emang terlalu suka bertutur. saya mungkin bisa dimasukkan dalam kategori 3/4 extrovert  yang mana punya kebiasaan untuk mudah percaya pada orang lain dan mampu dengan mudah menyampaikan setiap hal tentang hidup saya kepada oang-orang tersebut,
saya menyukai kegiatan menulis, membaca, bercerita, mendengarkan. keempat aspek penilaian bahasa, saya suka. ayah saya pun heran mengaoa saya berkeras mengambil jurusan yan saya jalani sekarang sementara saya adalah orang yang sangat tertarik dengan jurnalistuk. yah, semoga saya akan tetep mampu menjadi jurnalis meski nanti saya menjadi dokter. saya akan mengatur jadwal hidup saya mulai dari sekarang da tidak boleh terunteruosii dengan hal-hal yang mekenceng dari jadwal kecuali itu merupakan hal yang sangat mendesak.

well, mungkin sekiranya segitu dulu ya yang saya tulis malam ini. saya janji, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menuliskan hak-hal yang baik di buletin ataupun mading kita.
maaf kawan, sekarang saya ngantuk., kalian duluan aja, btar aku liat kok. makasih yaaa

Kamis, 21 Maret 2013

Perbincangan Pria muslim dan Non Muslim Mengenai Wanita

by Oddy Pratama Urang Bangka (Notes) on Saturday, June 2, 2012 at 7:12pm

Lelaki non Muslim bertanya: "Kenapa dalam Islam wanita tidak boleh jabat tangan dengan pria?"
Syaikh menjawab: "Bisakah kamu berjabat tangan dengan Ratu Elizabeth?
Lelaki non Muslim Menjawab: "Oh tentu tidak bisa! cuma orang2 tertentu saja yg bisa berjabat tangan dengan ratu."
Syaikh tersenyum & berkata:" Wanita2 kami (kaum Muslimin) adalah para ratu, & ratu tidak boleh berjabat tangan dengan pria sembarangan (yg bukan mahramnya)"
Lelaki non Muslim bertanya lagi :"Kenapa perempuan Islam menutupi tubuh dan rambut mereka?"
Syekh tersenyum dan mengeluarkan 2 permen dari sakunya, ia membuka yang pertama terus yang satu lagi dibiarkan tebungkus. Dia melemparkan keduanya kelantai yang kotor.
Syaikh bertanya: " Jika saya meminta anda untuk mengambil satu permen, mana yang anda pilih?"
Lelaki non Muslim menjawab: "Yang tertutup.."
Syeikh berkata: " Itulah cara kami memperlakukan dan melihat perempuan kami."*Teruntuk para "bidadari bumi" yang menghiasi indahnya bumi ini ,
Semoga Bermanfaat :)

Rabu, 06 Maret 2013

Dalam Diamku (Siti Nurhaliza ft. Krisdayanti)


Telah ku pilih jalan ini

Meski kini ku sendiri
Renungi arti sepi
Tak lagi ada satu kata
Satu jiwa dalam cinta
Yang ada hanya hampa

Semakin terasa
Semakin berbeda
Sungguh sangat menyiksa

Kata hatiku
Kusimpan dalam diam
Tak perlu ucap lagi

Kau kan mengerti suatu hari
Mengapa harus terjadi
Semakin terasa
Semakin berbeda
Sungguh sangat menyiksa

Sepiku lara
Hatiku hampa
Karena cinta
Menyiksa di dada

Lelah aku mencari
Ruang cintamu
Untuk cintaku
Bagi cinta ini

Lelah terus berlari
Tanpa berarti
Membelah hati
Terombang-ambing dalam kebimbangan

Daku terus mencari...
Terombang-ambing dalam kebimbangan

Yang hilang biarlah menjadi kenangan
Biarkanlah... lepaskanlah...

Telah ku pilih jalan ini
Meski ku sendiri
Renungi arti sepi

Jadilah seperti Intan

Kalimat itu ditujukan untukku, dari sahabat terdekatku sejak aku masih piyik, kelas 3 SD. Kalimat singkat yang menyertai rentetan kalimat panjang dari Mas Darwis Tere Liye di status Facebook-nya. Yah, meskipun aku bukan penggemar berat beliau, aku lebih dari cukup menyukai gaya bercerita dan pilihan diksi yang digunakan beliau. Padat namun sarat makna. Seperti yang ditunjukkan sahabatku ini, “Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jika kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh."




Terimakasih, Sayangku. Kau membuatku kembali menyadari arti hidup ini, betapa aku harus terus berusaha meski kadang dunia tak seperti yang diharapkan.

Aku akan terus berjuang hingga melebihi batas kemampuanku, agar seorang Intan Chairrany bisa menjadi seperti bongkahan intan yang terbaik. Aamiin :)

Rabu, 27 Februari 2013

KITA (lagi)

rembulan mengintip malu-malu
sembunyikan jasad di balik gumpalan awan
deru mesin beroda silih berganti melintasi badan jalan
lampu-lampu jalan bersinar redup
sepuluh pemuda merajut cerita baru untuk hidup mereka
pepohonan menemani mereka dalam diam
menyikapi riuh rendah nada lelucon ringan terlontar
Tuhan, peliharalah persahabatan mereka
biarkan mereka menjalani hidup bersama
dalam kasih sampai nanti

Sabtu, 23 Februari 2013

Gita Cinta Galih dan Ratna


Ini adalah naskah dramatisasi puisi yang kami, Klub Teater Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tampilkan dalam POSTERION, Malam Keakraban FK Unsri yang untuk pertama kali diselenggarakan oleh AURIS. Puisi ini dibuat oleh teman kami Anindhita Vania Utami dan naskah narasi oleh Intan Chairrany, ya saya sendiri.
Selamat menikmati =D 

“Di bawah lembutnya pancaran mentari, dua pasang mata saling menyapa. Satu kejadian manis ntara merekaaParas rupawan gadis muda itu mengusik hati si pemuda tanggung untuk mulai mengenalnya.”

(Perkenalan Galih dan Ratna lewat gesture, tanpa dialog)
“Sepasang anak manusia merangkai cerita hidup mereka, bahagia. Meretas kisah kasih mengisi waktu dengan segala yang penuh cinta.”

-Galih-
Seorang laki-laki datang atas nama cinta
Penuh keberanian dan kemenangan nurani
Dengan segumpal makna dan  mawar putih di tangan kiri

-Ratna-
Uhm...
Aku wanita yang selalu bahagia dengan kebersamaan kita
Kita selalu bertukar cerita, bercanda riang, dan berjalan-jalan ke tempat mana saja yang kita inginkan

-Galih-
(bareng Ratna jalan kerumah)
Roda berputar
Cinta kita yang terlahir lagi berada di atasnya
Terguncang jalan yang tak rata
Menghindari lubang dan mobil lain dari arah berlawanan
Membuat kita saling genggam, meski sejujurnya tak kedinginan
             Kamu selalu melihat jalan
             Meski hanya dapat angka 7 dari 9..
             Kamu tetap cantik secantik anggrek bulan di taman belakang
     
“Tapi segalanya tak selalu berjalan sesuai harapan. Terkadang Tuhan menakdirkan hal yang tak disangka, memberikan ujian agar manusianya mampu berjuang sekuat tenaga dan sepenuh jiwa demi memperoleh yang terbaik.”

(Galih dan Ratna nyampe depan rumah, Ayah sedang duduk sambil minum kopi. Langsung berdiri ketika lihat mereka berdua, Ratna pindah posisi)
- Ayah-
Ratna! Ihwal apa yang membuatmu mengizinkan lelaki mengantarkanmu pulang!
Tidakkah kau ingat apa yang Pak Kyai ceritakan di surau tentang sepasang muda-mudi yang berkeliaran tanpa muhrimnya
(menuding Galih, memerintahkan pergi hanya dengan gesture)

-Galih-
(berbalik dari hadapan ayah dan anak, berjalan sendirian. Ratna dan ayah tetap di tempatnya, menatap kepergian Galih. Ratna sedih, ayah biasa aja)
Hari ini kehormatanku tercabut dari sematan Tuhan
Dengan konsistensi ambisil yang berabad rakaat
Aku mengakui setiap mata yang mulai kerlap kerlip di persimpangan
Dan aku mulai menyapa ilalang, bergumam, dan menyalahkan diriku sendiri

-Ratna dan Ayah-
“segera setelah Galih keluar stage”
-Ratna-
Ayah, apa yang salah dari sekedar diantar pulang ke rumah oleh laki-laki semalam?
Apakah kau tega aku sebagai anak perempuanmu berjalan pulang sendirian hanya ditemani lampu-lampu jalanan?

-Ayah-
Dimana kau taruh harga dirimu hingga kau mau diantar jemput lelaki macam itu?
Ayah tahu apapun tentangmu
Lelaki itu hanya anak tukang bengkel di kampung sebelah
Sungguh tidak sepadan denganmu, Ratna

-Ratna-
Tapi ayah... Aku mencintainya.

-Ayah-
Awan gelap berarak
Angin kencang dan rintik hujan mulai ramai di luar
Ayah tetap tidak setuju
Sekarang semuanya terserahmu, kamu pilih ayah atau lelaki miskin itu

“Luka goresan pedang tak akan begitu sulit diseka bila dibandingkan dengan sayatan lidah yang terlanjur tertoreh pada hati yang mendamba. Kenyataan tak pernah semudah itu diterima.”

- Galih-
Mimpi melayang tak tergapai oh nona di seberang
Aku berlari dengan pincang, terpagut-pagut, tertatih.. dan jatuh.
Semasa matahari dan miliaran keluh adalah bisu.
Adalah tuli.
Adalah buta.
(Ratna lewat, berdiri di jarak jauh)
Dan kini semuanya merambat lumpuh.
Kenapa masih memeluk lutut jik kau terbakar?
Kenapa masih coba bernafas jika nafas diambang?
Masih saja mencari arah, meski kompas di tangan kanan

(Galih Ratna pisah, Ratna langsung berbalik pergi, jalan pelan-pelan keluar stage)
Engkau merpati
Yang putih yang tak pernah kugenggam
Tak melihatkah engkau aku?
Saban senja di barat bendungan

“Selama cinta itu masih ada, masih banyak perjuangan yang akan selalu siap dilakukan. Pejuang cinta tak perlu ragu, jodoh telah ditetapkan, manusialah yang mengusahakan”

-Ratna-
(dirumah, duduk sendiri disamping telepon)
Di halaman, salju mencair dibasuh garam
Menjadi air asin tanpa kemasan
Aku.. harus bisa jadi jendral bintang empat
Yang bisa sombong di singgasana lautan merakit strategi tingkatan kostrad

-Galih -
(nelpon Ratna pake HP, di sisi lain stage)
Aku, perangku, darah, dan keringatku. Pilu juga diamku yang seakan tak terbaca
Waktu senja, aku hembuskan ke udara
Agar ayahmu mengerti, kemana jiwa dan hati ini dibawa
Atau kah matahari menghancurkan semuanya?
Sehingga ayahmu tak dapat membaca

“Selalu ada ksatria penyelamat di setiap kisah perjuangan cinta. Tinggal para pencintanya yang harus siap berjuang, berjalan dari hati ke hati menemukan orang yang tepat. Pejuang itu pun menemukannya.”

-Tante Ratna dan Ratna-
-Tante-
Berjalanlah..
Biarkan waktu menenggelamkan semua pikiran ayahmu
Kadang hidup harus dilanjutkan dengan cara yang tidak kita inginkan
Kadang, membakar keadaan juga cara paling memyakitkan
Pergilah.. Tetaplah bersama. Semua akan baik-baik saja

-Ratna-
Jadi... Tante ijinkan aku bertemu dengannya lagi?
-Tante dan Ratna pelukan-

“Kasih sejati takkan terpisah hanya oleh sebuah gertakan. Jodoh telah ditetapkan, tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Cepat atau lambat semua akan indah pada waktunya”

-Galih-
(di perjalanan, sendirian)
Kekasih, aku akan memanggilmu lagi dan lagi
Akan meraih lenganmu lagi dan lagi
Lalu bersandar di pundakmu lagi dan lagi
Sampai keadaan ini tak bisa berkata lagi

“Tiba waktunya semua menunjukkan sisi baiknya. Tuhan selalu mempersiapkan babak terindah dalam skenario kehidupan tanpa pernah manusia tahu kapan datangnya. Manusia hanyalah pelakon dalam sandiwara hidup yang telah terplot dengan sangat sempurna oleh Dalang yang MahaKuasa.”

-Galih-
(siap ketemu lagi setelah pisah. Ratna datang dari sisi yang berlawanan atau menunggu di sebuah bangku)
Pagi ini, semakin tak terasa, bahwa hatiku telah menembus waktu
Meloncati dimensi yang berbaris-baris
Tapi.. Aku tak pernah ragu
Karena senja nanti, lagi, kunikmati kepakan sayapmu


The End


(masih) KITA :)


Hari ini lewat tengah malam
Keluarga kecil kami berdiri di bawah temaram jingga lampu jalan
Dinaungi kerlip bintang dan cahaya rembulan
Lanjutnya kami terus melaju
Lagu-lagu persahabatan mengiringi tiap langkah kami
Kerokok suara kodok bersahutan
Jalanan sepi terasa ramai
Karena kita bersama
Semua tetap indah walau raga kita penat

Jumat, 22 Februari 2013

sedikit mengingat masa alay

aku dulu juga sempat jadi alay loh, kawan. haha, lucu juga kalo inget cerita-cerita zaman itu. baca komen-komen alay yang aku jadiin respon ke cowok-cowok yang waktu itu lagi pedekate ama aku (aku yakin kalian sulit opercaya ini, tapi plis percaya plis...). sama baca postingan di blog lama yang aku sendiri pun udah lupa apa password-nya.
eh, tapi setelah dibaca-baca lagi, ternyata aku nggak sehina yang aku pikirin. haha. masih ada juga postingan waras di blog itu. postingan semacam ini :

aku inget banget gimana kejadiannya pas aku nulis postingan itu. bener-bener nostalgic deh :')

Surat Untuk Kamu

Palembang, 23 Februari 2013

Manusia berubah, Sayang. Aku berubah. Kamu berubah. Kita berubah.

Kamu sudah tak seperti yang aku harapkan lagi, begitu pun aku. Namun, kita berdua masih saja ingin cerita lama itu terjadi lagi. Aku disini masih saja menanti kejutan-kejutan manis yang biasa kamu berikan padaku masa itu. Kamu disana juga masih merindukan sapa hangatku tiap pagi, siang, sore, dan malammu.

Aku sadar sesadar-sadarnya kalau cerita kita sudah cukup panjang. Tiga tahun bukanlah waktu sebentar untukku, mungkin pula untukmu. Aku dan kamu yang memulai cerita hanya dengan kalimat singkatmu aku jawab dengan satu kata, “Ya,” di hadapan teman-teman sekamarku ketika  malam itu kita belajar bersama di serambi Diklat. Masih ingatkah kamu, esoknya kelas kita akan menghadapi ulangan Kimia dan Geografi sekaligus, untuk pertama kalinya? Aku tak pernah bisa membaca pikiranmu.

Kikuknya dirimu ketika menyanyikan lagu dengan diiringi gitar untuk pertama kalinya di kelas ketika kita ulangan praktek Kesenian masih terekam jelas di memoriku. Masih terasa panasnya pipiku saat kau kembali ke depan kelas dan berkata dengan penuh percaya diri kalau kau baru berlatih gitar tiga hari dan tetap tampil supaya bisa menunjukkannya padaku. Aku tersentuh, aku bahagia, itu pertama kalinya dalam hidupku mendapat kejutan dari seorang laki-laki selain ayahku.

Tapi aku dan kamu masing-masing juga punya kisah bersama  pemain lain. Aku masih gemas tiap mengingatnya, pun merasa bersalah padamu. Gadis-gadis yang mengagumimu dan para lelaki yang ku kagumi silih berganti mengisi cerita kita. Menjadi bukit dan lembah yang harus kita hadapi untuk terus saling percaya, meski hanya sedikit yang tersisa dari kita.

Ingatkah kau pada prahara besar yang menghempaskan kita, aku dan kamu kedalam palung terdalam kehidupan. Aku masih ingat tetes bening yang mengalir di wajah ibuku, pesan tengah malam yang aku kirimkan pada kedua orangtuaku, juga cerita ibuku tentang rintihan tengah malam ayahku. Aku sudah cukup menyakiti mereka, Sayang. Terlampau cukup bahkan untuk membuat sakit itu terasa terus menusuk-nusuk jiwaku sendiri.

Sayang, kurasa cerita kita terlalu indah untuk dilupa dan terlalu sakit pula untuk dikenang. Mungkin aku adalah perempuan berhati dingin yang terlalu sering menyakiti hatimu yang perasa. Maafkan aku. Sungguh, aku malu. Aku adalah perasa yang tak mudah merasa.

Sekarang semua berakhir sudah. Keputusanku lah yang membuatmu terpaksa menyetujui keadaan ini. Maafkan aku yang selalu egois. Aku hanya berpikir bahwa inilah yang terbaik untukku, untukmu, untuk kita. Aku hanya ingin kita bisa berjalan di jalan kita masing-masing untuk menggapai impian kita tanpa tersandung batu-batu yang akan terus kita buat jika kita terus bersama. Mungkin jalan kita tak bersimpangan, setidaknya untuk sekarang. Biarlah Tuhan dan waktu yang menunjukkan bagaimana akhir cerita yang terbaik untuk kita.

Kamu lelaki baik, sangat baik. Tuhan tentu sudah menyiapkan hal yang baik pula untukmu. Kau selalu rela melakukan apa pun untukku yang terkadang terlalu sering meminta hal-hal konyol. Aku masih menyayangimu, karena itu aku tak mau membuatmu terus tersakiti dengan perasaanmu sendiri. Aku tak bisa membiarkanmu terus berharap pada perempuan yang bahkan belum bisa memamhami hatinya sendiri, pada perempuan sepertiku. Meskipun aku tahu kalau kau akan terus bersikukuh menungguku seperti yang selama ini selalu kau ucapkan, mungkin aku akan sedikit meralat pemikiranmu. Bukan kau yang akan menunggu, kalian para lelaki harus mengusahakan waktu dan cara agar orangtua kami bisa menerima kalian. Akulah yang mungkin akan menunggumu. Oh, bukan, bukan hanya kamu. Tapi aku akan menunggu seorang lelaki datang menemui ayahku dan memintaku menjadi pendampingnya.

Kalau masih serius, mungkin kamu juga akan jadi salah seorang yang kutunggu.

Sampai jumpa,


Aku, yang masih menyayangimu

Rabu, 20 Februari 2013

Ada ide lain??


Asmara di Asrama
Memori tentangnya melahirkan cinta.
Cinta yang tak terkira, tak terdefinisikan dengan kata.

Sudah, begitu saja. 
Aku Benci, Tapi …
Kucing Pecatur
Primadona 
Pengagum (bukan) Rahasia
Memendam Rasa
Raja Sedang Jatuh Cinta
Aku Percaya Kamu

54 Lembaran :)

Malam ini kami mengukir cerita baru bersama. Aku meninggalkan bilik nyamanku untuk menyapa manusia lain yang merengkuh hati menebar kasih. Hanya malam sederhana ditemani 54 lembar kartu, tiga gadis muda mengisi waktu berharga mereka. Aku yang terkantuk diruang sebelah kini menyala terang ditemani sahabat yang kini sibuk sendiri. Haha. Hidup ini menyenangkan, sobat. Selama kau tahu bagaimana harus bersikap dan menyikapi orang lain :)

Janji Untuk Purnama


Perempuan itu mengerang dalam tidurnya. Sepertinya ia dapat mimpi buruk lagi. Aku letih. Bersandar di tepi biliknya hanya demi memenuhi janjiku pada Umak, ibu kami. Perempuan itu tidak aku suka, ia terlalu sering mengumpat dalam kalimat yang tak pantas. Aku benci lidahnya yang selalu meliuk tanpa hati tiap melihat apa pun yang tak patut di matanya meski itu hal yang normal. Aku benci pada perempuan yang begitu dicintai Umak itu, satu-satunya anak kandung Umak di panti ini. Aku juga benci pada diriku sendiri yang menjadi anak laki-laki tertua Umak, pemuda tanggung yang mau tidak mau harus menerima tanggung jawab besar menjaga anak-anak Umak.

Ketika pertama bertemu Umak, aku berjanji untuk memberikan segala yang kupunya demi kebahagiaannya. Apapun itu. Termasuk tumbuh besar bersama perempuan itu, Purnama. Gadis picik yang selalu ingin memonopoli kasih sayang Umak, seperti namanya yang memonopoli segenap wajah rembulan. Tapi purnama tak akan muncul setiap hari, sepanjang hari. Selalu, akan selalu ada yang mampu menutupinya. Termasuk aku, Raditya, matahari yang menguasai siang.

Umak menyelamatkanku dari kesepian yang menggulung hariku sejak longsornya tanah dari tebing yang mengelilingi desa kami. Usiaku 8 tahun saat itu, ketika aku menatap tumpukan tanah menindih tubuh Ibu dan Bapak hingga tak ada lagi yang bisa kulihat selain sepatu hitam kebanggaan Bapak dan gelang dari tali yang kubuatkan untuk Ibu. Tangisku pecah. Umak merengkuhku dalam pelukannya yang hangat, menuntun tanganku ke tenda pengungsian. Mata-mata sedih lain menatapku kosong, banyak anak kecil lain yang menjadi korban. Kejadian itu seakan masih terekam jelas dalam memoriku, menjadi rekaman kaset tua yang selalu menunggu untuk diputar kembali.
****
Purnama masih mengerang. Aku mendekat, mencelupkan kain kompresnya yang sudah dingin ke air hangat lagi lalu kembali menempatkannya di kening perempuan itu. Ia menggeliat sedikit, aku menjauh. Kembali ke ruangan sebelah tempat Umak tertidur, menatapi wajah letihnya setelah seharian mencuci pakaian milik bocah-bocah di panti ini. Keadaan Pur yang seperti sekarang membuat Umak merelakan tubuh rentanya bekerja lebih kuat dari biasa, menanggung tugas gadis itu juga. 

Waktu Umak datang padaku perutnya sudah cukup besar. Ternyata ada Pur disana, perempuan yang sekarang kutunggui tidurnya. Dulu aku bahagia, karena Ayah dan Ibu dijemput ketika aku masih anak semata wayang. Melihat perut Umak membuatku membayangkan sosok bayi merah yang akan tersenyum sambil menggenggam satu jariku.

Selasa, 19 Februari 2013

Yang Merona Lalu Merana


nenek tua itu duduk sendiri 
wajah keriput ditutup jemari

menghadap jendela ia tercenung
air matanya mulai mengapung
serpih memori yang kini jadi debu
masa mudanya yang kelabu
nenek tua itu menangis tersedu

pagi dulu ia merona
kembang pujaan setiap kumbang
sungguh sayang beribu sayang
kembang cantik tanpa penjaga
dihinggapi kumbang setiap hari
hingga kelopaknya pucat pasi
senja kini ia merana

matanya telah basah
nenek itu makin resah
cucu perempuannya, dari anak angkatnya
tak bertameng pula

(19 Feb 2013)

Sabtu, 26 Januari 2013

Januari

3-1-13
Januari menjelang. Hujan masih merintih menepuk-nepuk kaca jendela. Aku masih di sini, menyepi, menanti.
Kau tak pernah datang. Tak pernah lagi sejak saat itu. Aku meninggalkanmu? Sungguhnya bukan begitu, kurasa kau salah memahami sikapku. Kau selalu bertindak sesuai keinginanmu tanpa perduli apa maknanya bagi orang-orang disekelilingmu. Manusia spontan.
Tapi apa peduliku? Aku menyukai semua yang ada pada dirimu. Sungguh, apapun itu.

Nesa dan Hujan


Rintik gerimis menipis. Gumpalan kelabu mulai berarak pergi meninggalkan Nesa yang masih termangu menerawang menembus kaca jendelanya. Dulu, ia dan Genta sering bersua di halaman itu. Halaman yang sekarang basah, berbau tanah. Hal itu membuat Nesa kian resah. Tepat hari ini, sudah dua kali tanggal sembilan Maret berlalu. Sampai saat ini pula ia masih menandai kalendernya. Ulang tahun Genta terlewatkan tanpa ada yang meniup lilin.
Masih dipandanginya halaman itu. Mengenang angsana tua yang dua tahun lalu berdiri kokoh disana. Angsana yang dibawahnya mereka sering bertukar cerita, membagi hidup yang saling berbeda. Angsana yang menjatuhkan dahannya ke tempat Nesa berdiri, Genta yang segera berlari, darah yang mengucur tanpa henti, dan ia yang tergugu melihat kawannya hampir mati dibawah hujan sore itu.
Angsana itu tak kenal mereka. Ia juga tak berniat merusak cerita mereka. Tapi siapalah yang punya daya jika Tuhan telah memutuskan hal yang tak mampu diterka manusia.
Masih terasa hangat rengkuhan Genta ketika menyelamatkannya, sehangat darah yang mengalir membasahi lengan bajunya.  Nesa menjerit sekuat tenaga, tak berdaya menahan dua bobot diatas tubuhnya, tak kuasa menatap mata Genta yang perlahan menutup setelah tersenyum kearahnya. Keluarga Nesa segera keluar, mengangkat dahan besar yang menindih tubuh mereka berdua, memindahkan Genta ke ruang tamu rumahnya.
Dokter yang segera datang setelah dihubungi orang tua Nesa berkata bahwa Genta sudah kehabisann banyak sekali darah. Beberapa saat setelah kalimat itu terucap, denyut nadi Genta menghilang. Peralatan yang dibawa sang dokter tidak cukup memadai untuk menyelamatkan Genta, dan banjir yang melanda kota ini membuat semuanya semakin buruk, Genta tak akan bisa dibawa ke rumah sakit. Nesa masih memeluk tubuhnya. ”Andai tadi aku tak mengajaknya bertemu dibawah deras hujan, andai aku tak begitu lama merespon saat dahan itu menimpanya, tentu Genta tak akan jadi begini.” Nesa menumpahkan tetes-tetes dari kelenjar lakrimalnya. Ia terus menyalahkan diri atas semua yang terjadi kepada Genta sore itu.

*bersambung*

Kamis, 03 Januari 2013

dulu dan kini

aku tergugu beku
kau mematung terpaku

aku tertatih ringkih
kau malah ikut merintih


saat itu kau seiring
sekarang kau menggiring


aku lagi berteriak
kau mendesah muak

kau pergilah
aku lelah