Rabu, 12 Agustus 2020

Jatuh vs Bangun

Jatuh cinta itu pilihan, bangun cinta itu komitmen.

Seperti yang pernah saya ceritakan dalam postingan saya sebelumnya, untuk jatuh satu orang pun cukup, tapi untuk membangun, minimal dua orang harus bekerja sama. Kenapa saya bilang dua orang? Karena sesungguhnya hubungan bukan hanya sekadar sang perempuan dengan lelakinya, tapi bagaimana mengikatkan tali cinta mereka pada kedua keluarga. Menjadikannya satu untuk menggenapkan bahtera demi mengarungi samudera.

Lalu mengapa saya menuliskan tentang ini?

Bukan karena saya ingin bersegera menikah, mungkin ingin, tapi belum sekarang. Saya menulis ini karena saya pegal melihat linimasa setiap media sosial yang saya miliki dipenuhi keluhan dan cacian anak-anak kecil yang mungkin belum tahu fungsi setumpuk rambut diatas kelopak matanya.

Kenapa harus alis?

Alis berada di sana sejak lahir, tidak hadir sebagai tanda seksual sekunder yang muncul setelah datang pubertas. Alis ada untuk melindungi kedua bola mata cantik kita dari tetesan keringat yang melulu turun dari pori-pori kepala. Alis tidak seperti bulu mata yang tepat melekat di kelopak. Alis menjaga jarak tepat untuk melindungi. Agar ia tak menjadi seperti bulu mata yang bisa menusuk-nusuk kornea saat tumbuh dengan posisi yang tidak tepat. Alis ada untuk melindungi dengan menjaga jarak ideal.

Lalu apa hubungannya dengan anak-anak itu?

Mereka yang mengoceh-ngoceh di dunia maya tentunya belum mengenal apa itu komitmen. Bahwa hati semestinya disimpan untuk satu yang akan mendampingi kita selamanya.

Kenapa saya bicara begini?

Karena saya juga pernah berada di posisi mereka. Hanya saja saya sedikit lebih tua saat pertama kali di sana. Dan setelah beberapa siklus berputar, entah siklus pendek atau panjang, saya sadar bahwa saya telah menyia-nyiakan waktu saya. Saya telah mengotakkan kehidupan saya dengan keberadaan seseorang yang belum sepatutnya masuk ke lingkaran itu. Saya pernah menjadi bodoh, atau mungkin sekarang masih begitu.

______________________________________________

Entah apa yang kupikirkan waktu itu ya. Tulisan ini awalnya kubuat sudah lama sekali, 9 Maret 2015. Wah, sudah lima tahun. Apalah yang ada dalam otak abege labil itu ya. Sok bijak kali omonganku. Tapi saat ini, aku sudah lebih dewasa. Sudah dua puluh lima tahun umurku. Sudah memiliki pengalaman yang lebih banyak lagi mengenai tema "Jatuh vs Bangun".

Sekarang aku semakin yakin untuk berkomitmen membangun cinta bersama dia yang hadir di waktu yang tepat. Dia yang namanya masih tanda tanya, yang akan mengajakku membangun dan menjadi dewasa bersama. Bertahun sudah menjalani hidup ini membuatku bisa menyeleksi mana yang ada untuk tinggal, mana yang hanya mau lewat. Di usia sekarang, prinsip "Halalkan atau tinggalkan" menjadi sangat penting untuk dipegang. Melihat prioritasnya, cara berpikirnya, menjadi faktor penting disamping ibadah dan akhlaknya. Karena menikah adalah janji untuk menghabiskan sisa umur bersama orang yang awalnya asing. 

Semoga aku dipertemukan dengan kamu yang mau membangun rumah penuh kebahagiaan dan keberkahan, bersama.

anxiety loop

I'm a big worrywart
My inner turmoil boiled deep inside
My self loathing tendency strike again
Self blaming is my regular meal
I couldn't stop feeling bad for myself

I think too much I feel too much
People's feeling burdened me
Too much human interaction hurts me
I feel the anxiety creeped inside me
Where would it go wrong
What should I do to avoid it
How could i survive this
Why did it go like this
Who can help me going through this
When will things get better
I stuck in this negative loop for nobody know how long

Hey, you
Please
Look at my bad side
Would you still accept me?
With my chiasm filled mind
With my ugly inner voice
Would you be the one to calm me down?
To reassure me that everything will be okay
To hug me tightly and pat my back
Then kiss my forehead to smoothen the crease
To make me believe that the world is not as bad as I think it is


(When my bad feelings started it's ministrations)

Jumat, 07 Agustus 2020

Chocolady


Bitter with a tad bit of sweetness. Tasted strong yet gently coat your tastebuds. Who said they hate chocolate?

The Chocolady stands in the dark, staring far ahead into nothingness. She keeps her silent. Not daring enough to start a conversation. People too, glaring at her from every corner. Eager to say hello, but afraid of her bitterness.

Chocolady just waited for someone to take her. To teach them a little sweetness that can't be tasted without connecting with her. 

(Kinda forgot in what occasion did I write this. Somewhere around Solo Raya, August 5 2019)