Jumat, 31 Oktober 2014

Akhir Cerita Kami

Kalau ada yang perlu disebut “akhir” dari cerita kami, mungkin semalam kami telah benar-benar mendeklarasikannya.

Aku menulis ini tanpa iringan musik apa-apa, tidak seperti kebanyakan gadis yang terlampau gundah hingga satu lirik lagu saja mampu membuatnya meneteskan air mata sambil mengetik ceritanya. Aku menulis ini hanya ditemani desau kipas angin dan dua bungkus roti isi untuk sarapan.

Pertama aku akan mengenalkan pada kami pada kalian para pembaca. Aku adalah perempuan muda, mahasiswa, yang selalu bingung dengan apa yang aku rasakan. Dia adalah lelaki muda, mahasiswa, yang mudah tertawa dan baik hatinya. Tulisan ini akan menutup cerita yang pernah kami susun selama lima tahun, sejak kami masih sepasang junior di sekolah menengah atas hingga kini kami di tengah perjalanan kuliah tingkat tiga.

Aku akan bercerita dari sisiku. Sejak awal aku dekat dengannya, impresiku belum berubah. Dia masih humoris dan dia masih baik. Ia (kurasa) sangat mengayomiku, anak sulung, yang selalu merindukan posisi seorang kakak. Lima tahun lalu kami memulai cerita ini, dengan kejutan-kejutan manis darinya untukku yang jarang sekali menerima kejutan. Ia sedikit banyak merubah duniaku.

Menggandengku menuju dunia baru yang memberikan pengalaman-pengalaman yang tak akan kurasakan jika aku tak keluar dari duniaku. Aku benar-benar merasakan naik turun perasaan. Meskipun aku selalu mengaku sebagai perempuan tak berperasaan, tapi sesungguhnya aku sadar betul kalau perasaanku selalu terombang-ambing selama bersamanya. Aku merasakan setiap emosi yang biasa dirasakan oleh para remaja. Aku menikmati jalan kami.
Namun, seperti biasanya pula aku lebih sering mengacuhkan perasaanku, berusaha sok kuat sampai menyakitinya berkali-kali. Aku mengakhiri hubungan kami dengan akhir yang tak nyata yang dengan mudah bisa disambungnya kembali. Aku dan dia juga mengisi hati kami dengan figur-figur lain yang membuat kami saling menyakiti. Siklus kebodohan itu berlangsung terus sampai sekarang, ketika kami sudah hidup tanpa status dan hubungan jelas yang mengikat kami. Ketika kami sama-sama bebas namun terikat.

Aku tahu ia sudah lama dekat dengan gadis lain, tanpa adanya status, aku santai saja. Toh,  itu hidupnya. Tak pernah kucoba memikirkan sejauh apa kedekatan mereka, walau kadang alam bawah sadarku tetap berusaha menguak kenyataan yang ada. Dan aku melihat foto serta tulisan yang entah kenapa membuat dada kiriku nyeri, jantungku terasa berdetak lebih keras dari biasanya. Aku melihat foto itu lagi, dan lagi, mencari jejak lain yang akan membuat dadaku sakit lagi. Tapi rasa sakit itu seperti biasa hanya kusimpan sendiri. Kubungkus rapi-rapi agar tak ada yang mengetahui.

Lalu dua minggu kebelakang aku mulai bingung lagi, ternyata mulutku kadang tak kuat. Aku bercerita pada dua temanku tentang apa yang kurasa dan mereka bahagia. Entah kenapa.. Disaat aku sudah melangkah maju, sepasang gadis centil itu melancarkan serangan bayangan, mereka bercakap-cakap dengan dia menggunakan akunku. Bertanya padaku untuk tiap pertanyaan yang dia ajukan agar semuanya betul terkesan seperti jawabanku. Hingga akhirnya muncul kalimat mengerikan darinya, yang membuat temanku itu bingung mau melanjutkannya atau tidak karena di titik itu ia tidak mungkin lagi berlaku sebagai pirator. Ia harus memberitahuku yang sebenarnya. Aku menelusuri bilik obrolan itu pelan-pelan, membaca tiap kata dan meresapi maksudnya dengan lamat. Tak usah temanku, aku pun tercengang membaca bunyi teks terakhir yang dia kirimkan. Aku protes, dia juga, dia bilang kamu harus mengaku bahwa ini kamu, ini terlalu jauh untuk sekadar aksi pembajakan. Lalu aku mengalah.
Sejak hari itu aku mulai hidup dengan bayang-bayang perasaan “aku menyukainya lagi”. Perasaan bodoh yang harusnya sama sekali tidak aku mulai, tak perlu ada deklarasi yang menyatakan apa yang kurasakan, cukup aku saja yang menikmatinya bersama hatiku. Tanpa deklarasi, aku harus sekuat tenaga menyembunyikan hal yang tak seharusnya diketahuinya, aku dengan gengsiku yang terlalu tinggi selalu menutupi apa pun yang aku rasakan. Karena aku tahu, ketika dia tahu, pertahananku akan runtuh. Seperti kemarin.

Obrolan di media sosial itu membuatku kembali dekat dengannya, hal yang seharusnya tak pernah lagi kulakukan. Aku tahu jelas ia sudah dekat dengan orang lain, itulah yang membuatku sempat resah lalu bercerita pada dua temanku yang akhirnya mengantarkanku ke sisi yang lain. Dia yang masih baik selalu berusaha menyelamatkanku dari tiap situasi awkward, yang membuat kami kembali pada rutinitas bodoh yang selalu kami lakukan di tiap pertemuan kami, dulu. Rutinitas yang membuatku semakin hanyut dalam perasaan yang tak seharusnya kurasakan. Aku merasa menjadi pengganggu hubungan orang. Posisiku sebagai ‘mantan’ akan memperburuk keadaan. Aku jadi cemburu pada gadis yang dekat dengannya sekarang, merasa iri pada apapun yang ia dapatkan darinya, apalagi jika dulu aku tidak merasakannya. Buruk sekali, bukan?

Karena itu aku terus berusaha menyiksa diriku dengan kenyataan. Aku terus mencoba mengorek sejauh apa hubungan mereka hingga satu demi satu kenyataan makin mengoyak hatiku. Sebut aku melankolis lebay, tapi memang itu yang aku rasakan.
Dan pada pertemuan kami yang terakhir, saat rutinitas bodoh itu kembali kami lakukan, aku sadar bahwa aku telah mengkhianati seseorang. Aku telah mengotori hati yang sebelumnya tulus. Aku tahu ia tak menyayangiku sebesar dulu, atau mungkin tak menyayangiku lagi. Sebenarnya aku telah manyadari ini dari pertemuan pertama kami, ia sudah berbeda, aku saja yang pura-pura lupa dan menikmati arus perasaan yang semakin menenggelamkanku dalam kabut kebohongan. Tapi sejak aku sadar, aku selalu mencoba menyakinkan betapa ia menyayangi gadisnya. Sampai semalam aku tahu jelas, aku sadar diri.

Sayangnya pada gadis itu bukan sedikit. Semuanya hasil pemupukan yang laamaa, dan keacuhanku adalah pupuk yang membuat sayang itu semakin tumbuh subur hingga sekarang mulai berbunga. Bunga yang sangat cantik. Ia benar-benar menjadi dirinya bersama gadis itu, gadis yang selalu mengerti, yang selalu mengatakan keinginannya secara blak-blakan, gadis yang selalu bisa ia manjakan, adik perempuan yang selalu ia rindukan. Sekarang aku bahagia. Bukan klise, tapi sungguhan. Aku bahagia bisa membuatnya menemukan gadis yang lebih baik untuknya, dan bahagia karena akhirnya aku juga menemukan siapa cintaku sebenarnya. Cinta yang seharusnya tak pernah kutinggalkan hanya untuk menghabiskan lima tahun bersama dia. Cinta yang harusnya aku pupuk tanpa kubiarkan membusuk. Cinta suci yang sebenarnya selalu ada meski selama berapa waktu terkubur cinta semuku.

Wahai Cinta, maafkan aku yang melupakanMu untuk waktu yang begitu lama. Maafkan aku yang tak menyadari keberadaanMu, teguranMu, agar aku selalu kembali padaMu. Izinkan aku untuk kembali mencintaiMu dengan segala kemampuanku.