Jumat, 22 Februari 2013

Surat Untuk Kamu

Palembang, 23 Februari 2013

Manusia berubah, Sayang. Aku berubah. Kamu berubah. Kita berubah.

Kamu sudah tak seperti yang aku harapkan lagi, begitu pun aku. Namun, kita berdua masih saja ingin cerita lama itu terjadi lagi. Aku disini masih saja menanti kejutan-kejutan manis yang biasa kamu berikan padaku masa itu. Kamu disana juga masih merindukan sapa hangatku tiap pagi, siang, sore, dan malammu.

Aku sadar sesadar-sadarnya kalau cerita kita sudah cukup panjang. Tiga tahun bukanlah waktu sebentar untukku, mungkin pula untukmu. Aku dan kamu yang memulai cerita hanya dengan kalimat singkatmu aku jawab dengan satu kata, “Ya,” di hadapan teman-teman sekamarku ketika  malam itu kita belajar bersama di serambi Diklat. Masih ingatkah kamu, esoknya kelas kita akan menghadapi ulangan Kimia dan Geografi sekaligus, untuk pertama kalinya? Aku tak pernah bisa membaca pikiranmu.

Kikuknya dirimu ketika menyanyikan lagu dengan diiringi gitar untuk pertama kalinya di kelas ketika kita ulangan praktek Kesenian masih terekam jelas di memoriku. Masih terasa panasnya pipiku saat kau kembali ke depan kelas dan berkata dengan penuh percaya diri kalau kau baru berlatih gitar tiga hari dan tetap tampil supaya bisa menunjukkannya padaku. Aku tersentuh, aku bahagia, itu pertama kalinya dalam hidupku mendapat kejutan dari seorang laki-laki selain ayahku.

Tapi aku dan kamu masing-masing juga punya kisah bersama  pemain lain. Aku masih gemas tiap mengingatnya, pun merasa bersalah padamu. Gadis-gadis yang mengagumimu dan para lelaki yang ku kagumi silih berganti mengisi cerita kita. Menjadi bukit dan lembah yang harus kita hadapi untuk terus saling percaya, meski hanya sedikit yang tersisa dari kita.

Ingatkah kau pada prahara besar yang menghempaskan kita, aku dan kamu kedalam palung terdalam kehidupan. Aku masih ingat tetes bening yang mengalir di wajah ibuku, pesan tengah malam yang aku kirimkan pada kedua orangtuaku, juga cerita ibuku tentang rintihan tengah malam ayahku. Aku sudah cukup menyakiti mereka, Sayang. Terlampau cukup bahkan untuk membuat sakit itu terasa terus menusuk-nusuk jiwaku sendiri.

Sayang, kurasa cerita kita terlalu indah untuk dilupa dan terlalu sakit pula untuk dikenang. Mungkin aku adalah perempuan berhati dingin yang terlalu sering menyakiti hatimu yang perasa. Maafkan aku. Sungguh, aku malu. Aku adalah perasa yang tak mudah merasa.

Sekarang semua berakhir sudah. Keputusanku lah yang membuatmu terpaksa menyetujui keadaan ini. Maafkan aku yang selalu egois. Aku hanya berpikir bahwa inilah yang terbaik untukku, untukmu, untuk kita. Aku hanya ingin kita bisa berjalan di jalan kita masing-masing untuk menggapai impian kita tanpa tersandung batu-batu yang akan terus kita buat jika kita terus bersama. Mungkin jalan kita tak bersimpangan, setidaknya untuk sekarang. Biarlah Tuhan dan waktu yang menunjukkan bagaimana akhir cerita yang terbaik untuk kita.

Kamu lelaki baik, sangat baik. Tuhan tentu sudah menyiapkan hal yang baik pula untukmu. Kau selalu rela melakukan apa pun untukku yang terkadang terlalu sering meminta hal-hal konyol. Aku masih menyayangimu, karena itu aku tak mau membuatmu terus tersakiti dengan perasaanmu sendiri. Aku tak bisa membiarkanmu terus berharap pada perempuan yang bahkan belum bisa memamhami hatinya sendiri, pada perempuan sepertiku. Meskipun aku tahu kalau kau akan terus bersikukuh menungguku seperti yang selama ini selalu kau ucapkan, mungkin aku akan sedikit meralat pemikiranmu. Bukan kau yang akan menunggu, kalian para lelaki harus mengusahakan waktu dan cara agar orangtua kami bisa menerima kalian. Akulah yang mungkin akan menunggumu. Oh, bukan, bukan hanya kamu. Tapi aku akan menunggu seorang lelaki datang menemui ayahku dan memintaku menjadi pendampingnya.

Kalau masih serius, mungkin kamu juga akan jadi salah seorang yang kutunggu.

Sampai jumpa,


Aku, yang masih menyayangimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar