Jumat, 01 Desember 2017

Bukan Dering yang Kutunggu

Tik tok tik tok. Aku mematung di hadapan jam tua ini. Menunggu. Menunggu apa? Entah. Aku pun lupa. Sudah berapa lama? Tak bisa lagi rasanya kugunakan jemari untuk menghitungnya. Yang kutahu sekarang aku menyadari gagahnya jam tua ini. Sepertinya ia dipahat dari kayu jati kemudian di cat dengan warna lebih gelap dari kayu aslinya, sapuan tiner di akhir memendarkan cahaya jingga dari satu-satunya lampu yang menyala di ruangan berisikan sepasang kursi dan meja sama tinggi di tengahnya. Seakan didesain untuk duduk berdua menikmati apapun yang bisa dinikmati.

Aku merapikan dudukku. Kudongakkan kepala sekali lagi. Menatap lingkaran kaca dengan bingkai berwarna emas kusam berisi angka-angka Arab dan gerakan pelan jarum detik. Menyadari bahwa sudah lebih dari dua kali jarum pendek itu menunjuk ke masing-masing angka di sekitarnya. Sudah lewat satu hari sejak dia bilang akan meneleponku lagi.

Ya, dia. Laki-laki itu meneleponku dua hari lalu. Dengan nada yang terdengar lebih rendah dari biasanya, mengabarkan bahwa dia baru sampai di kampung halamannya, sebuah desa pertanian di lereng gunung. Katanya Dia pamit seminggu lalu, memelukku erat sembari membisikkan bujuk rayu yang entah sudah yang keberapa kalinya ditiupkan ke telingaku. Dia mengajakku untuk ikut mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan kota yang sesak dan penuh asap. Dia mengajakku pindah bersamanya, untuk tinggal di rumah yang baru saja ditinggalkan kedua orang tuanya karena kecelakaan. Aku menolak. Tentu saja. Kehidupanku berada di jantung kota ini. Aku masih memiliki akal sehat untuk mempertahankan karirku yang telah kubangun dengan susah payah. Aku tak cukup percaya diri dengan kemampuanku bertahan hidup di pedesaan.

Ah, dia benar-benar menyisakan kesan yang mendalam untukku. Satu dari sekian banyak lelaki yang mendekatiku. Dia punya cara yang berbeda, yang membuatku takluk -tapi tidak sampai membuatku mau menyusulnya ke lereng gunung.

Kring kring. Aku tersentak. Tersenyum lebar. Akhirnya telepon putih di sudut ruangan ini mengeluarkan suara. Aku segera beranjak dari tempat dudukku, menggapai gagang telepon itu untuk menghentikan deringnya.

"Halo." Ketika kuangkat, terdengar suara lembut seorang perempuan di seberang sana. Aku mengerenyit menerka-nerka. Namun, kebingunganku sirna seketika saat perempuan itu melanjutkan kalimatnya.

"Apakah benar ini Bu Indah? Keluarga Pak Adi?"

"Ya, benar. Siapa ini?"

"Saya perawat, Bu. Mohon maaf, orang yang sebelumnya mengantar beliau kemari baru saja menemukan nomor telepon Anda di saku celananya dan meminta kami untuk menghubungi Anda. Kami ingin memberitahu bahwa Pak Adi dirawat di rumah sakit kami dan belum sadarkan diri sejak dua hari lalu. Dia menderita luka bakar yang cukup parah. Meskipun masih belum sadar, saat ini keadaan beliau sudah mulai membaik dan bisa dibesuk. Maaf, Bu? Bu? Bu?"

Telingaku pengang. Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi.
______________________________
Soulscape is a 30 days online writing project. To join please contact to stardust-glitteryhoe or rainbowsmoke16

#SoulscapeDecember2017 #SoulscapeDay02 #PhoneCalls

Tidak ada komentar:

Posting Komentar