Kamis, 14 November 2013

Kelabu #1

Menurutku, tak ada makhluk yang benar-benar hitam selain iblis dan tak ada makhluk yang benar-benar putih selain malaikat. Kita manusia memang berdiri mengambang diantara kedua warna, terombang-ambing di gelombang abu-abu. –Namira D.

Sekelompok warga tampak merubungi sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. Aku menatap nanar kearah jasad yang terbujur kaku di atas aspal hitam, di bawah tubuhnya tampak genangan merah pekat. Lagi-lagi korban tabrak lari. Dunia tak pernah sebersih yang kita harapkan. Tindakan kotor oleh orang-orang kotor terjadi setiap detik di setiap belahan bumi. Termasuk saat ini, di depan mataku.

Aku tinggal di salah satu kota besar di Tanah Air tercinta ini, kota dengan komplotan bandit dengan koordinasi luar biasa apik. Bandit-bandit yang tidak hanya bercokol di gang-gang gelap di bawah jembatan, tetapi juga di meja-meja hijau dan kursi tinggi pemerintahan. Kisah ini bercerita tentang kota berisi makhluk yang menyebut dirinya manusia berhati iblis. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Rupiah menjadi hal yang begitu berharga. Beberapa rela mengamburkannya demi kekuasaan, memutuskan untuk menyiksa banyak jiwa yang lapar supaya batinnya terpuaskan dengan limpahan kertas merah bergambar. Kebobrokan kota ini sudah mendarahdaging. Pemimpin tak lagi menjalankan fungsinya yang sebenarnya. Mereka bukan melayani, mereka mencari pelayan.

Lagi-lagi koran memberitakan kerusuhan. Pemilihan pemimpin yang berantakan. Rakyat mengamuk menuntut keadilan. Para bandit terbahak senang, menertawai warta yang memberitakan penangkapan gembong besar. Padahal yang tampak diborgol dalam foto itu hanya cecunguk bodoh yang rela menerima gaji kecil meski harus mempertaruhkan nyawa, demi membeli susu dan membiayai sekolah anaknya.
Randi mengerenyitkan keningnya, letih menjadi penegak keadilan yang terlalu sering melihat ketidakadilan oleh kalangannya.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar