Selasa, 25 November 2014

KataBertaut

Medan terjal berbatu
Medan licin berlumpur
Lembah yg membekukan aliran darah
Nafas yg menggumpal putih
Mie instan yg menghangatkan
Embun yang menyambut di pagi hari
Tanaman panjang umur yg menyapa dgn hijau raganya
Patahan ranting yang menyangga raga lelah bantu melangkah
Oh, ternyata ragaku pun meronta, inginkan seteguk air yg berasal dri mata air di shelter dua
Tubuh dataran rendah ini mulai megap, menggapai oksigen yang terasa kian pengap
Ditambah sepasang kaki manja yg sudah merengek, seakan jiwa sudah ingin berpisah dgn raga
Namun semua terbayar lunas ketika lempeng bertanda puncak itu tampak
Sontak langsung ku meraung, melepaskan semua beban yg ada
Kepala terdongak menatap langit yang seakan kian dekat
Oh Tuhan, kenapa baru sekarang aku sadar kalau langitmu sungguh tiada bernoda?
Kenapa begitu terlambat kusadari betapa kecilnya diriku di mata-Mu?
Ah sudahlah, tiada guna meratapi penyesalan itu. Aku sdh terlanjur terpukau dgn keindahan lain, sebuah nelangsa dgn warna biru di tengahnya
Betapa keindahan dunia itu merupakan anugerah-Mu, dan mataku yang mampu menyaksikannya ini adalah karunia-Mu

P.S: Entah bisa digolongkan puisi entah bukan, tulisan ini saya (baris genap) buat bergantian bersama Ihsan Rasyid Yuldi (baris ganjil) dengan inspirasi foto saya (nomor dua dari kanan) bersama kawan-kawan di tengah pendakian Gunung Dempo, Pagaralam, Januari 2013 silam yang ditemani hujan dan tanah basah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar