Minggu, 20 April 2014

Cobaan Untuk Indonesia


Untuk kesekian kalinya dalam sejarah Indonesia, bencana alam kembali mengguncang negeri ini. Di puncak musim penghujan, DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang, Karawang, Subang, Pati, Blitar dan beberapa kota lain di Indonesia dikepung banjir. Hal ini menyebabkan kegiatan masyarakat terhambat oleh air yang menggenangi jalanan dan rumah-rumah mereka. Bahkan ibukota negara kita tercinta, yang notabene sudah menjadi langganan banjir pun merasa bahwa banjir tahun ini jauh lebih deras, lebih tinggi, dan lebih menyebar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di sisi lain, ujung atas Sulawesi dilanda banjir bandang yang dilaporkan telah menelan 19 jiwa dan 2.091 orang mengungsi (22/01). Tidak ada yang mampu memprediksi, ketika Allah berkata jadi, maka jadilah, "Kun, fayakuun".

Selain air, lempeng tektonik Indonesia juga terguncang. Di Karo, Sumatera Utara, Gunung Sinabung yang sebelumnya berstatus Gunung Kategori B atau tidak aktif, secara mendadak pada 27 Agustus 2010 bergolak dengan aktivitas magma yang signifikan dibawah lapisan bumi dan menjadikan Sinabung Gunung Kategori A (aktif). Kemudian dinyatakan berada dalam kondisi waspada oleh Pusat Vulkanologi dan Mitifasi Bencana Geologi (PVMBG), yang membuat masyarakat terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal dan ladang mereka sejak September 2013.

Belum ada tanda berakhirnya erupsi Sinabung, 24 November 2013 hingga memasuki tahun baru merupakan masa-masa puncak erupsi, gunung ini dinyatakan berada pada level tertinggi. Peningkatan dan penurunan aktivitas gunung membuat hasil prediksi yang fluktuatif, sehingga tak ada yang bisa meramalkan kapan berakhirnya erupsi ini sementara Sinabung terus mngeluarkan awan panas dan abu vulkanik dari kawahnya. Bahkan beberapa hari lalu (07/02) untuk kesekian kalinya, gunung ini kembali mengeluarkan awan panas yang menyapu kaki gunung.

Indonesia terus menerus diguncang bencana. Apa maksud Allah dengan semua ini? Bagaimana kita hraus menyikapinya? Apakah benar pernyataan Ebiet G. Ade dalam "Berita Kepada Kawan", bahwa mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, atau bahwa alam mulai bosan bersahabat kepada kita? Lalu perlukah kita bertanya pada rumput yang bergoyang atau mulai mengetuk hati masing-masing yang mungkin telah jarang disapa. Menanyakan apa makna eksistensi kita di bumi-Nya yang telah Ia hamparkan dengan segala nikmat yang bisa kita akses sesukanya.

Mungkinkah kita manusia terlalu sombong untuk sekadar berterimakasih, bersyukur atas jutaan nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada kita selama kita menumpang di dunia yang fana ini. Dunia yang hanya dijejak sebentar, tempat bermain dan bersenda gurau semata. Hendaknya kita syukuri segala macam musibah yang terus menyapa, sebagai wujud kesadaran diri. Musibah dihadirkan Allah sebagai pengingat bagi yang lupa, untuk menghapus dosa-dosa, agar kita merasakan yang orang lain rasakan. Semoga kita semua dapat menjadi hamba-Nya yang bersyukur agar kehidupan kita yang sementara ini dapat bermanfaat di akhirat-Nya yang kekal. Aamiin.

Telah terpublikasi di Buletin Galaxy BPPM Ibnu Sina FK Unsri Edisi Februari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar