Kamis, 20 Desember 2012

Sudah, begitu saja. (Bag. I)


Dia masih saja bercerita tentang Laras, selalu Laras. Seakan di dunia ini hanya Laras yang tampak di matanya tiap ia menatap. Laras yang selalu acuh padanya. Laras yang bahkan tak pernah tampak menggubrisnya. Dia tak pernah peduli pada apapun yang telah beribu bahkan berjuta kali kukatakan. Lepaskan Laras. Dua kata itu hanya dianggap angin lalu. Seandainya kalimat itu masuk ke telinga kanan lalu keluar di telinga kiri, itu masih lebih baik daripada kenyataan saat ini. Setidaknya sempat lewat sebentar dalam otaknya meskipun mungkin tak akan di proses. Namun, dunia bukan dunia jika hanya memberikan apa yang kita harapkan. Kalimat itu hanya sekadar mencoba masuk ke dalam telinganya, lalu terpantul kembali. Tanpa pernah masuk ke bagian temporal dalam serebrum-nya.
Laras adalah kiblatnya. Laras yang menghidupkan jiwanya, Laras pula yang mematikannya. Sungguh tak ada yang bisa menerka arah pikiran lelaki itu. Sikap acuh Laras tak pernah dianggapnya sebagai penolakan, malah dijadikannya pijakan untuk maju. Ini tantangan, katanya.
Mereka bukanlah sahabat karib sejak lama. Mereka hanya sekadar kenal, lalu hatinya yang coba mengenal malah terpental. Membal. Tak mampu menembus dinding pembatas yang dipasang Laras hanya untuknya yang datang pada waktu dan ruang yang tidak tepat. Tidak pernah tepat.
Rani tahu Laras menyimpan rasa yang sama padanya. Ia tahu itu. Mungkin Laras hanya menunggu waktu dan ruang yang tepat untuk semuanya. Untuk hatinya.
Setiap ada yang bertanya, apa yang membuatnya begitu menggilai Laras. Lidahnya terasa kelu, dia pun tak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia menyukai Laras. Sudah, begitu saja. Sesederhana itulah cinta menurutnya.
Semakin kuat ia menjauh, energi radiasi yang dipancarkan Laras malah terasa semakin kuat. Membuatnya terikat, erat. Laras telah merampas hidupnya. Segala cara telah diusahakannya, hanya demi menjauhi Laras, membuang Laras-Laras yang terus saja berkelebat di hatinya, mengacaukan fungsi otaknya.
Studinya kacau, sesuatu yang dari dulu diidamkannya dengan suka rela dilepaskan. Hanya untuk pergi dari hidup Laras. Sebenarnya bukan. Bukan pergi dari hidup Laras, melainkan menjaga hatinya agar tak terlampau jauh pergi meninggalkan logikanya. Hidup dalam dunia empat dimensi memang menyakitkan. Membuat dunia yang sesungguhnya sederhana terasa rumit dan irrasional. Laras dengan begitu mudah membuat dunianya indah dan mencekiknya ketika lengah. Laras adalah tokoh protagonis sekaligus antagonis dalam skenario hidupnya.

******

Tio masuk dengan menenteng gitar kebanggaannya. Pada pelajaran kesenian, ia akan menunjukkan sesuatu pada dunia dan mungkin pada Laras. Di bangku kedua dari depan, mata Rani dan Anggra mengikuti langkah Tio yang dramatis ketika maju ke depan kelas. Mereka sudah mampu menebak hal apa yang akan terjadi. Seperti biasanya Tio berubah menjadi gitaris dadakan dan dengan ringan mengalunkan melodi akustik, nada-nada ritmis yang manis.

Cube dulu ku mada, kalo ku renyek kek ka
Cube dulu ka mada, ka renyek kek ku
Ngape kite dak sua, nek ngumong kearah tu
Ngape kite bedue malu-malu

Baru kini ku tau dari kawan akrab ka
Rupe e ka agik galek nanyak ku
Baru kini ka tau, dari kawan akrab ka
Ku galek nanya ape kabar ka

Agik ku simpen buku, ade tulis tangan ka
Agik galek ku bace waktu ku rindu
Agik ku simpen buku, ade tulis tangan ka
Waktu kite agik sekolah dulu

Kini kite betemu
Tapi ka lah punya jie
Kini kite betemu
Ku lah punye ge
(Nyesel, Klaki Band)
Suara Tio mengalir merdu memancarkan romantisme cinta tersembunyi pada semua gadis di kelas ini, kecuali Laras. Ia yang duduk di bangku paling depan bahkan sama sekali tidak terlihat tertarik memalingkan beberapa derajat kepalanya demi menyaksikan konser tunggal Tio. Rani tahu pasti Laras menyimpan sesuatu dalam hatinya. Rani tahu Laras menyadari tingkah Tio yang sesekali mencuri pandang sambil tersenyum di tengah lagu yang tadi dinyanyikannya. Rani tahu dengan jelas bahwa Laras hanya berpura-pura tidak tahu karena merasa bersalah pada seseorang di masa lalunya.

******

            16 Desember 2012
“Kamu tahu nggak sih sekuat apa usaha yang sudah aku keluarkan hanya untuk melupakan perempuan itu? Aku sudah berusaha, Ran. Namun, setiap aku bertatap muka dengannya, semua poin yang telah kuraih dalam pencapaian tujuan besarku itu seakan berguguran ke dasar jurang, kembali ke posisi nol. Usahaku sia-sia saja, Ran!”
            Tio terengah-engah, wajahnya merah, menahan segala rasa dengan pasrah. Rani terdiam menatap sahabatnya yang untuk kesekian kali masih terus menyampaikan isi hatinya. Laras adalah candu baginya dan sekarang gadis itu telah membuatnya sakau, batin Rani. Dia masih diam, menunggu Tio selesai, ia tak terbiasa menginterupsi kalimat seseorang, apalagi yang sedang dalam emosi tertingginya. Tio tak pernah main-main dengan perkataannya. Semua yang ia katakan selalu datang dari hatinya, dan kali ini, dari relung tergelap di sana.
            “Ran, aku lelah. Aku menyesal menyukai dia. Entah kenapa perempuan itu sulit sekali aku lupakan. Sekeras apa pun aku berusaha, sekuat apapun aku menjauh, dia terus muncul, Ran. Ketika aku sedang tidak siap, bayangnya malah terus menerus menari di depan mataku, bukan hanya di benakku. Aku mulai bosan dengan perasaan ini, tapi aku belum mampu melepasnya. Aku hampir putus asa.”
            Tatapannya yang tadi berapi-api sekarang berubah. Sayu. Sendu. Matanya tak lagi memancarkan semangat yang selalu muncul dari dirinya setiap kali bercerita tentang Laras. Sekarang ia butuh suntikan endorfin yang ia tahu bisa datang dari lidah Rani.
            “Sudahlah Yo, kamu itu normal kok. Perasaanmu itu memang akan bisa kau bohongi, tapi aku tahu kamu selalu bisa jadi orang optimis. Aku percaya kamu mampu merubah perasaan yang selama ini kau seret ke kutub negatif itu menjadi energi positif yang malah membuatmu semakin berani menganggap semuanya hanya tantangan seperti dulu. Tuhan pasti punya maksudNya sendiri dengan menakdirkan dirimu terjebak dalam kisah seperti ini. Akan selalu ada pelajaran dalam setiap ujianNya, termasuk pengalaman hatimu ini.”
           
*****

(cinta mereka masih ada...)

4 komentar:

  1. Wah lg nyari lirik lagu klaki band yg ni. Nemu blog kamu. Anak unsri juga ya. Aku juga unsri 2012

    BalasHapus